أَشْهَدُ
أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ
وَ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا
بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ
مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ
نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلا
بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ *
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ
وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ
فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ
وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ *
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ
وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (الأنعام: 152-154)
“Katakanlah, ‘Marilah aku akan bacakan
kepada kamu apa yang Tuhan kamu telah haramkan untukmu: yakni jangan menjadikan
sesuatupun sebagai sekutu bagi-Nya, dan kamu harus memperlakukan kedua orangtua
dengan penuh ihsan, dan janganlah membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan -
Kamilah yang memberikan rezeki kepada kamu dan juga kepada mereka
- dan jangan mendekati perbuatan tak bermalu, baik terbuka maupun tersembunyi;
dan jangan membunuh suatu jiwa yang Allah telah haramkan, kecuali dengan hak.
Inilah yang Dia telah perintahkan kepadamu, supaya kamu menggunakan akal.
Dan janganlah mendekati harta anak yatim,
kecuali dengan cara yang terbaik, sampai ia mencapai kedewasaannya. Dan berikanlah
takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebankan suatu jiwa melebihi
kemampuannya. Dan ketika kamu berbicara, maka berbicaralah dengan adil,
meskipun jika orang yang bersangkutan adalah kerabat, dan penuhilah
perjanjian dengan Allah. Itulah yang Dia perintahkan kepadamu, supaya kamu
mengambil nasehat.’
Dan (Dia) juga memerintahkan, 'Ini adalah
jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah itu, dan jangan mengikuti jalan-jalan lain,
karena itu menjauhkanmu dari jalan-Nya. Itulah yang Dia perintahkan kepada
kamu, supaya kamu mungkin bertakwa.’” (QS Al-An'am,
ayat 152-154).
S
|
ebagaimana dijelaskan dalam khotbah Jumat lalu, bulan Ramadhan dan Al-Qur’an memiliki pertalian
khusus karena pewahyuan Al-Qur’an
dimulai pada bulan ini. Namun hubungan
ini hanya dapat memberi manfaat jika
kita membaca Al-Qur’an selama bulan
Ramadhan dengan merenungkan
perintah-perintahnya kemudian menjadikan perintah-perintah ini bagian dari kehidupan kita. Jika tidak,
kita tidak akan memenuhi tujuan
diturunkannya Al-Qur’an di bulan Ramadhan.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: "Tujuan Al-Qur’an adalah untuk mengubah manusia dari kondisi liar menjadi kondisi manusiawi dan kemudian melalui adab yang baik (sopan santun, tata
krama) menjadikan orang beradab,
sehingga bersama dengan pengamalan batas-batas
dan hukum-hukum syar’i (agama) yang
telah ditentukan kemudian menjadikan mereka manusia
bertuhan.”
Beliau juga bersabda: "Hal ini juga
hendaknya diingat bahwa Al-Qur’an membawa petunjuk
untuk kesempurnaan ilmu dan amal. demikianlah, ”tunjukilah kami ke jalan yang benar” mengisyaratkan mencari
pengetahuan, sementara “jalan
orang-orang yang Engkau Engkau telah beri nikmat
atas mereka ...” mengacu pada kesempurnaan
amal, sehingga hasil yang terbaik dan sempurna dapat dicapai. Kecuali tunas
itu tumbuh dan berkembang dengan baik, ia tidak akan dapat berbunga atau berbuah.
Demikian pula, suatu petunjuk yang
tidak memiliki hasil yang paling baik adalah petunjuk yang mati.”
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: "Al-Qur’an adalah petunjuk yang melaluinya pengikutnya mencapai keunggulan dan ia menjalin hubungan
dengan Allah Ta’ala. Perbuatan
baiknya, yang sesuai dengan perintah Al-Qur’an
akan tumbuh seperti pohon yang beberkat (syajarah thayyibah), sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an.
Mereka menghasilkan buah yang
memberikan rasa manis dan rasa yang khas."
Sebuah perubahan yang khas
terjadi pada orang yang membaca Al-Qur’an sebagaimana seharusnya dibaca dan mengamalkan perintah-perintahnya. Nilai-nilai akhlak tinggi tercipta, dan seseorang
menjadi orang yang beradab dan bertuhan, dan Allah telah memisalkan
kondisi ini dengan pohon yang beberkat اَلَمۡ تَرَ کَیۡفَ ضَرَبَ اللّٰہُ مَثَلًا کَلِمَۃً طَیِّبَۃً کَشَجَرَۃٍ
طَیِّبَۃٍ اَصۡلُہَا ثَابِتٌ وَّ فَرۡعُہَا فِی السَّمَآءِ '... ini seperti pohon yang baik, yang akarnya
kuat dan yang cabang-cabangnya sampai ke langit. (Ibrahim, 14:25)
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: "Dengan menguraikan hal ini Allah Ta’ala di sini mengibaratkan keimanan dengan benih dan pohon,
sedangkan amalan dengan pengairan. Al-Qur’an memberikan perumpamaan seorang petani yang menabur benih dan menyebut menabur benih ini sebagai iman. Pengairannya berjalan, dan disini (maksudnya) amal. Karena itu hendaknya diingat bahwa
iman tanpa amal adalah seperti sebuah taman
tanpa air. Sebuah pohon akan kering jika setelah menanamnya
pemiliknya tidak memperhatikan pengairannya.
Demikian pula dengan iman. وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا (العنكبوت 70) "Dan adapun orang-orang yang berjihad di jalan kami ... '(QS.
29:70), yaitu, tidak cukup dengan upaya
kecil, jalan ini membutuhkan perjuangan
keras."[1]
Memang, Ramadhan menarik perhatian kita ke arah perjuangan [rohaniah]. Sementara merenungkan Al-Qur’an dan berusaha memahaminya, kita juga harus mengamalkan
ajaran-ajarannya sehingga kita menjadi cabang-cabang
segar dan hijau yang sampai
(menjangkau) ke langit dan yang terhubung dengan Tuhan.
Dalam ayat-ayat yang dibacakan di awal
khotbah, Allah telah menarik perhatian pada beberapa perintah. Perintah ini membimbing kita menuju ketakwaan dan memenuhi hak-hak
Allah dan hak-hak umat manusia.
Meskipun terjemahan ayat-ayat menjadikan perintah
ini sangat jelas, tetapi Hudhur menyebutkannya sekali lagi sebagai pengingat:
Pertama, suatu keharusan bagi kalian
untuk tidak menyekutukan seseorang
atau sesuatu dengan Allah.
[Kedua], dikarenakan memperlakukan orang
tua dengan ihsan (baik) adalah suatu
hal yang sangat penting, maka selama-lamanya janganlah melupakan hal ini, diharamkan atas kalian memperlakukan
mereka dengan buruk (menyakiti mereka).
Perintah ketiga, janganlah membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan dan takut berkurangnya rezeki.
Perintah keempat, hindari setiap fawaahisy (ketidaksenonohan, hal-hal
menyangkut perzinaan) yang tersembunyi dan nyata, bahkan jangan mendekatinya.
Perintah kelima, jangan membunuh jiwa,
kecuali yang telah Allah tetapkan sebagai jaiz (boleh). Penjelasan kebolehannya
akan dirinci kemudian.
Perintah keenam, jangan mendekati harta
anak yatim.
Perintah ketujuh, ketika anak yatim itu
telah dewasa, serahkan harta mereka kepada mereka.
Perintah kedelapan, berikanlah takaran
secara penuh dan timbanglah dengan adil
Perintah kesembilan, berlakulah jujur dan adil dalam segala situasi dan
kondisi, kekerabatan, kedekatan hendaknya tidak menjadi penghalang dalam hal
menegakkan keadilan ini.
Perintah kesepuluh, penuhi janji kamu.
Kemudian, dalam segala kondisi
berusahalah untuk tetap terus-menerus berada di jalan yang lurus (shiratal mustaqim).
Perintah pertama melarang menyekutukan sesuatu dengan Allah. Orang
berakal mana yang akan menyekutukan
Tuhan Yang telah menciptakan kita dan
Yang memelihara kemampuan mental,
fisik dan keruhanian kita dan memberi kita semua nikmat?
Namun, orang tidak mengerti juga, dan
mereka menyekutukan Allah. Mereka
tidak berusaha memahami makna syirik
secara mendalam. Setiap era dan zaman terdapat orang yang memiliki kecenderungan ini dan inilah mengapa pesan pertama dari nabi Allah
mengajarkan melawan syirik; memang syirik adalah dosa tak terampunkan.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Setiap dosa bisa dimaafkan tetapi menyekutukan Allah merupakan dosa yang tidak terampuni. اِنَّ الشِّرۡکَ
لَظُلۡمٌ عَظِیۡمٌ "...
Sesungguhnya, menyekutukan Allah adalah
kedzaliman besar." (QS.31:14). Dan لَا
يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ '... ‘Dia tidak akan mengampuni bahwa sesuatu
disekutukan dengan-Nya ...’ (QS.4:48). Di sini, syirik tidak hanya berarti menyembah
berhala yang terbuat dari batu. Bahkan memuja
pada sarana duniawi dan
sedemikian mendalam dalam hal menyintai dunia
(yaitu manusia memusatkan perhatian pada benda-benda duniawi yang
menurutnya bermanfaat) juga adalah syirik.
Sungguh ini adalah termasuk syirik.
Perumpamaan dosa adalah seperti
menghisap huqqah (merokok),
meninggalkannya tidaklah terlalu sulit dan berat sedangkan perumpamaan syirik adalah seperti menggunakan candu, yang merupakan kebiasaan tidak
mungkin dihentikan”. [2]
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, "Syirik ada tiga macam. Jenis yang pertama adalah penyembahan berhala yang umum dan menyembah pohon. Ini adalah syirik yang jelas dan
umum. Syirik jenis kedua adalah ketika terlalu bergantung pada sarana,
yaitu, mengatakan 'kalau ini dan itu tidak terjadi, aku pasti sudah mati', ini
adalah syirik. Jenis ketiga adalah syirik dimana seseorang menganggap dirinya sesuatu yang sebanding dengan Tuhan. Tidak ada yang terlibat dalam jenis syirik yang jelas (nyata) di era pencerahan, namun di masa kemajuan
material ini, syirik sarana telah
sangat meningkat.”[3]
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan ibadah
sebagai: “Wahai manusia, sembahlah
Tuhan yang telah menciptakan kamu, yaitu, pahamilah bahwa semua pekerjaan kamu
terjadi melalui-Nya, dan bertawakallah pada-Nya."
"Hai manusia, sembahlah Tuhan yang telah menciptakan kamu ... hanya Dialah yang
layak disembah dan Dia Maha Hidup dan
kamu hendaknya hanya menyintai-Nya.
Kesetiaan adalah dalam menjaga hubungan khusus dengan Allah, dan segala
sesuatu yang lain dianggap tidak bernilai
dibandingkan dengan-Nya. Seseorang yang begitu menyayangi anak-anaknya atau orangtuanya sehingga ia terus khawatir tentang mereka sepanjang waktu,
juga melakukan semacam penyembahan
berhala. Penyembahan berhala tidak
hanya berarti menyembah berhala
seperti Hindu, terlalu menyintai
(sesuatu) juga merupakan satu jenis penyembahan."
'Wahai manusia, sembahlah Tuhan, Yang Esa
dan tanpa sekutu, yang menciptakan kamu dan nenek moyangmu. Kamu hendaknya takut pada Tuhan Maha Kuasa, Yang
menjadikan bumi tempat beristirahat bagi kamu dan langit (sebagai) atap. Yang
menurunkan air dari langit untuk membuat berbagai macam rezeki bagi kamu dari
buah-buahan. Jangan secara sengaja menyekutukan
hal-hal tersebut dengan-Nya yang telah diciptakan-Nya untuk kamu.’”[4]
Menjelaskan lebih lanjut hakikat ibadah, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: "Alasan sebenarnya
penciptaan manusia adalah ibadah.
Sama seperti yang dinyatakan di tempat lain: وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS.51:57). Ibadah
sejati adalah ketika manusia menghapus
semua kekerasan dan kebengkokan hatinya, dan menjadikan ladang hatinya sebersih petani
membersihkan ladangnya ... seperti celak yang digerus (ditumbuk) dengan sangat
halus sehingga dapat dipakai di mata.
Demikian pula, keadaan ibadah adalah ketika ladang hati bebas dari batu, kerikil serta ketidakrataan
dan begitu bersih sehingga mewujudkan
jiwa yang murni. Jika cermin
dibersihkan dengan cara ini maka kita dapat melihat
wajah seseorang di dalamnya, dan jika tanah
diperlakukan demikian maka semua jenis buah-buahan
tumbuh di dalamnya.
Oleh karena itu, jika seseorang, yang
telah diciptakan untuk menyembah
Tuhan, membersihkan hati dan tidak membiarkan batu, kerikil atau ketidakrataan apapun tetap tinggal di
situ, Allah akan terlihat di
dalamnya. Aku katakan sekali lagi bahwa kecintaan
Tuhan akan tumbuh dan berkembang di
dalamnya serta memberikan buah yang
manis dan sehat yang akan abadi.”
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. juga bersabda, bahwa hanya mungkin berdiri di hadapan Allah dalam keadaan kerendahan hati yang khas ketika ada hubungan yang luar biasa dengan-Nya. Dan cinta ini harus dua arah, antara Pencipta dan manusia.
Kecintaan Tuhan harus begitu kuat dan begitu benar sehingga itu membakar kelemahan diri manusia, seperti
petir membakar habis apapun yang
disambarnya, dan kerohanian mengambil
alih.
Ini adalah alasan penciptaan kita dan ini adalah alasan merasakan Ramadhan, dan ini adalah standar ibadah yang Hadhrat Masih Mau’ud
a.s. telah ajarkan kepada kita.
Ketika standar ini dicapai, manusia
bebas dari segala macam syirik.
Semoga Tuhan memberi taufik kepada
kita untuk beribadah dengan cara ini
di Ramadan ini.
Perintah
kedua adalah tentang berbuat baik kepada orangtua. Urutan perintah ini wajar karena setelah Tuhan, sebab orangtualah
yang menjaga kita dan memelihara kita. Tuhan telah menyatakan: وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ
أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ
لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا 'Tuhan kamu telah
memerintahkan: Jangan menyembah selain Dia, dan berbuat baiklah kepada orang tua. Jika salah satu dari mereka atau
keduanya mencapai usia tua dengan engkau, jangan pernah mengatakan kepada
mereka kata yang mengisyaratkan jijik atau mencela mereka, tapi beribacaralah
kepada mereka dengan kata-kata yang sangat baik. "(QS. 17:24)
Kadang-kadang diterima keluhan orangtua dari orang yang
berpendidikan dan maju, bahwa tidak hanya mereka (anak-anak mereka yang
berpendidikan tinggi) tidak memenuhi hak-hak
orangtua mereka tetapi bahkan berbuat zalim
kepada mereka (orang tua mereka). Saudara perempuan mereka menulis bahwa
saudara laki-laki bahkan mengangkat tangannya kepada orang tua terutama dalam
hal pengaturan harta (warisan). Jika orang tua mengelola pengaturan harta
(warisan) di masa hidup mereka, keturunan mereka berbuat jahat. Contoh-contoh
ini juga ditemukan di antara kita dan orang tua ditinggalkan tanpa apapun.
Di negara ini (Inggris atau Barat) remaja
melakukan kekasaran atas nama kebebasan. Secara umum di sini setelah
usia tertentu anak-anak dianggap mandiri, tetapi kebebasan di sini tidak memperhatikan tingkat senioritas (penghormatan kepada yang lebih tua), sebenarnya
merupakan kebodohan. Ajaran indah Islam adalah tidak mengungkapkan perasaan jijik apapun kepada orangtua, melainkan harus membalas kebaikan mereka dengan kebaikan meskipun mungkin mustahil membalas jasa kebaikan orang tua.
Ajaran indah Islam mengajarkan doa: رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا "Ya Tuhanku,
kasihanilah mereka seperti saat mereka memeliharaku ketika aku kecil."
(QS.17:25). Ini memang harus menjadi standar
kita. Doa ini dapat dipanjatkan untuk
orangtua bahkan setelah mereka telah meninggalkan dunia ini untuk meninggikan
kedudukan mereka di akhirat.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: "Allah telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah siapa pun kecuali Dia dan berbuat baiklah kepada orangtua kamu. Rabbubiyyat (sifat Allah merawat dan memelihara)
adalah sebuah keajaiban!
Seorang bayi tidak memiliki kekuatan apapun dan ibunya merawatnya dalam
kondisi itu, dan ayah memberikan dukungan kepada ibu dalam usahanya.
Semata-mata dari rahmat-Nya Allah Ta’ala telah menjadikan dua sumber untuk merawat makhluk yang rapuh dan telah menanamkan nur kecintaan di dalam diri mereka dari Nur kecintaan-Nya. Namun, hendaknya
diingat bahwa kecintaan orangtua itu terbatas sedangkan kecintaan Allah itu hakiki.
Kecuali hati diilhami oleh Allah Ta’ala, tidak ada seorangpun -- entah
dia seorang teman, pir (guru
spiritual) atau penguasa -- bisa menyintai
orang lain. Ini adalah rahasia dari Rabbubiyyat
Allah yang sempurna, sehingga orangtua
begitu menyintai anak-anak mereka
sampai-sampai mereka menanggung segala macam rasa sakit dengan tulus
ketika merawat mereka, sedemikian rupa, sehingga mereka bahkan tidak ragu untuk
mati demi kehidupan anak
mereka." فَلا تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا – “Jangan berbicara yang menyakitkan hati orangtua kamu dan
jangan mengatakan sesuatu kepada mereka yang tidak menghormati kedudukan
mereka.”
Ayat ini ditujukan kepada Rasulullah s.a.w. tetapi dalam kenyataannya pesan ini ditujukan kepada umat, karena orangtua dari Rasulullah s.a.w. telah meninggal pada masa kecil
beliau. Perintah ini mengandung pesan
tersembunyi dan itu adalah orang yang bijak
dapat menguraikan, bahwa di sini Rasulullah s.a.w.
diberitahu dan diminta untuk menghormati
orang tua beliau dan memperhatikan kemuliaan
mereka dalam segala tutur kata beliau
kepada mereka, jadi berapa banyak (lebih-lebih) lagi orang lain harus menghormati dan memuliakan orang tua mereka!
Dan ini juga yang diisyaratkan oleh ayat
kedua, وَقَضَى رَبُّكَ
أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا – “Tuhan kamu telah memerintahkan agar kamu menyembah-Nya saja dan berbuat baik kepada orangtua kamu.”
Ayat ini memerintahkan orang-orang yang menyembah berhala bahwa berhala itu bukan apa-apa dan berhala tidak melakukan ihsan (kebaikan) apapun kepada mereka, berhala tidak menciptakan mereka dan tidak merawat
mereka ketika bayi.
Jika
Allah berkehendak mengizinkan untuk menyembah
yang lain selain Dia, tentu Dia akan memerintahkan orang tua untuk disembah karena mereka merawat dan memelihara secara lahiriah, dan setiap orang, bahkan burung dan
binatang, melindungi anak-anak mereka
ketika bayi. Oleh karena itu, setelah Rabbubiyyat
Allah, mereka [orang tua] juga memiliki Rabbubiyyat
dan kekuatan Rabbubiyyat ini juga
dari Allah Ta’ala.”[5]
Demikianlah kedudukan orang tua yang
harus diperhatikan. Hadis menceritakan bahwa Nabi s.a.w. mengatakan bahwa celakalah orang yang mendapati orangtuanya
di masa tua dan tidak masuk surga karena tidak merawat mereka. [6]
Perintah
berikutnya adalah: وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ wa
laa taqtuluu aulaadakum min imlaak “... janganlah membunuh anak-anak kamu karena
takut miskin.“
Ini memiliki banyak pengertian. Keindahan dari ajaran Islam adalah bahwa
anak diperintahkan untuk
memperlakukan orangtua dengan baik dan tidak mengatakan sesuatu yang kasar kepada mereka, meskipun jika dia
tidak menyukai apa yang mereka (orangtua) katakan, dia hendaknya bersikap baik dan patuh.
Selanjutnya, orang tua diperintahkan untuk memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anak
mereka dan tidak membiarkan kemiskinan
menghalangi. Perhatikan pendidikan
dan pelatihan anak-anak sehingga
mereka tidak berakhir mati secara ruhani.
Ketika Tuhan memberikan orang tua kedudukan Rabbubiyyat,
Dia mewajibkan mereka untuk merawat anak-anak mereka dan tidak membunuh mereka. Tentu saja, tidak
ada orang berakal akan membunuh
anak-anaknya, kecuali orang yang kurang
akal atau orang yang telah melupakan
Tuhan.
Di sini (Inggris), orang terus mendengar
mengenai ibu yang membunuh anak-anak mereka dengan bantuan
pacar mereka, dan di negara-negara terbelakang orang mendengar orang tua membakar diri sampai mati bersama dengan
anak-anak mereka karena putus asa dan
pikiran yang tidak stabil.
Salah
satu arti '... jangan membunuh
anak-anakmu...' adalah tidak memberi mereka pendidikan yang baik. Sebagian orangtua tidak memberikan cukup waktu dan perhatian kepada anak-anak mereka karena urusan bisnis, dan ibu mengeluh bahwa karena
ayah tidak di rumah anak-anak telah keluar jalur.
Ketika anak-anak mencapai remaja, mereka sangat membutuhkan kehadiran dan persahabatan ayah, ketika mereka mempelajari hal-hal yang salah dari pengaruh luar. Ini adalah pembunuhan akhlak anak-anak sendiri.
Ayah mungkin mengatakan bahwa waktu mereka habis dengan bekerja keras untuk
mencari nafkah bagi anak-anak mereka,
tetapi apa gunanya kekayaan yang
menyebabkan anak-anak tersesat dari
jalan mereka?
Contoh
lain dari ini [contoh lain dari makna membunuh anak-anak] yang lazim di dunia Barat dan
juga dapat ditemukan dalam Jemaat kita adalah bahwa para ibu pergi bekerja atau tidak memperhatikan keluarga di rumah dan
menghabiskan waktu mereka di tempat lain. Ketika anak-anak pulang ke rumah
tidak ada orang untuk merawat mereka. Para wanita mengatakan bahwa mereka
bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga, dan ketika mereka kembali ke rumah dalam kondisi lelah, mereka tidak memperhatikan keluarga dan mengabaikannya, yang sangat berpengaruh
buruk pada anak-anak. Ada beberapa perempuan bekerja hanya untuk
mendapatkan uang untuk diri mereka sendiri.
Beberapa perempuan dan kaum ibu yang
bekerja mengatakan bahwa mereka terpaksa pergi keluar untuk bekerja karena
suami mereka menganggur (karena malas
berusaha). Para suami semacam itu
hendaknya takut kepada Tuhan karena
menjadi sumber penyebab 'membunuh
anak-anak mereka."
Bila
suami tidak memperhatikan istrinya dengan cara yang tepat maka itu
juga termasuk 'membunuh anak-anak mereka’. Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiyallaahu Ta’ala ‘anhu pernah
bersabda menyampaikan contoh, jika seorang suami
tidak memperhatikan secara sempurna
dengan memberikan makanan yang cukup
kepada istrinya yang sedang hamil
sehingga melemahkan janin yang ada di
dalamnya juga semacam 'membunuh anak-anak'.
Makna
lain dari 'membunuh anak-anak' ialah sengaja melakukan penghentian kehamilan karena takut kemiskinan. Penghentian kehamilan hanya diperbolehkan dengan dasar bila kesehatan
sang ibu berada dalam bahaya (terancam oleh kematian), atau di beberapa keadaan
berdasarkan nasehat dokter dengan menggugurkan janin atas dasar pandangan
bahwa keberadaan janin tersebut
menjadikan si ibu terancam jiwanya
(bisa menimbulkan kematian si ibu). Adapun menggugurkan janin karena takut miskin
tidak diperbolehkan. Allah menyatakan: نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ '... Kamilah memberikan rezeki kepada kamu dan kepada mereka
...' dan إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا
كَبِيرًا '... sungguh, pembunuhan mereka adalah dosa besar.' (17:32)
Muslim sejati tidak mungkin dapat mengambil langkah-langkah seperti itu.
Jangankan dosa besar, mereka bahkan menghindari dosa terkecil. Anak harus
diberi waktu dan perhatian. Pendidikan mereka pertalian dengan Jemaat, karena itu pendidikan
yang baik dan saleh harus diutamakan.
Lingkungan rumah harus dibuat kondusif
untuk pendidikan yang saleh, sehingga
anak bisa tumbuh menjadi anggota
masyarakat yang berguna.
Hal ini tentu menjadi tanggung jawab orang tua untuk membesarkan mereka dengan cara yang baik dan mendidik mereka dengan baik. Daripada mengutamakan diri mereka sendiri, orang tua hendaknya memberikan waktu dan perhatian kepada anak-anak mereka. Ayah tidak bisa mengatakan itu
adalah tugas seorang ibu untuk merawat anak-anak, dan ibu-ibu tidak
bisa mengatakan itu adalah tugas
seorang ayah. Hal ini tentu saja tugas
mereka berdua untuk merawat
anak-anak mereka bersama-sama. Anak-anak menerima asuhan terbaik jika itu dilakukan berdua, dimana ibu dan ayah
memainkan peran masing-masing.
Di sini [di Barat] ada banyak keluarga
orang tua tunggal (anak-anak hanya bersama ibunya atau ayahnya) dan anak-anak
menjadi rusak. Sekolah lelah dengan
keluarga seperti ini demikian juga polisi. Anak-anak yang menempuh jalan yang salah di awal kehidupan sering pergi bergabung dengan kelompok kriminal.
Ini menjadi penyebab keprihatinan di sini bahwa tingkat perceraian juga meningkat di antara kita, dan ketika perceraian terjadi dalam sebuah keluarga
dengan anak-anak itu merusak
anak-anak. Orang tua harus mengorbankan
ego dan kepentingan mereka demi
anak-anak mereka.
Semoga Tuhan memberi taufik kepada kita semua untuk mengamalkan perintah-perintah Al-Qur’an
selama bulan Ramadhan.
26 Juli 2013
[1]
Dikutip dari buku Tafsir Alquran karya Hadhrat Masih Mau’ud as [buku tafsir
yang disusun setelah wafat beliau as berisi kutipan-kutipan dari tafsir beliau
as yang ada dalam buku-buku beliau as], vol. 2 hal. 757-758
[2]
Malfuzhat, vol. 6, hal. 18-19
[3]
Tafsir Alquran, vol. 3, hal. 657
[4]
Tafsir Alquran, vol. .. hal. 454-455
[5]
Haqiqatul Wahyi dan Dikutip dalam buku Tafsir Alquran karya Hadhrat Masih
Mau’ud a.s. (buku tafsir yang disusun setelah wafat beliau a.s. berisi
kutipan-kutipan dari tafsir beliau a.s. yang ada dalam buku-buku beliau a.s.),
vol. 3, hal. 59-60.
[6]
Hadits dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhainya, dia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda: “Celakalah dia, celakalah dia”,
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam ditanya: Siapa wahai Rasulullah? Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam : “Orang yang menjumpai salah satu atau kedua
orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga (karena tidak menjaganya)”.(Diriwayatkan
oleh Imam Muslim dalam Shahihnya.
عَن
النَّبِيِّ r قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ
رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ مَنْ
أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ
يَدْخُل الْجَنَّةَ.