أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا
اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
(١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣)
مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥)
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا
کُتِبَ عَلَیۡکُمُ الصِّیَامُ کَمَا کُتِبَ عَلَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ
لَعَلَّکُمۡ تَتَّقُوۡنَ ﴿۱۸۳﴾ۙ
“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
berpuasa, seperti yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kalian
bertakwa. "(QS.2:184)
D
|
engan rahmat Tuhan, Ramadhan dimulai di
sini (Inggris) dari kemarin. Alhamdulillah
Dia telah menganugerahkan kepada kita pengalaman Ramadhan sekali lagi. Dalam
ayat di atas Allah Swt. menarik perhatian para mukmin sejati mengenai penting dan wajibnya puasa dan telah mengingatkan mereka bahwa umat nabi-nabi terdahulu
juga diwajibkan berpuasa karena puasa sangat penting bagi kemajuan iman maupun kemajuan rohani. Meskipun puasa dalam agama-agama
lain telah berubah seiring dengan berlalunya waktu, namun dalam beberapa bentuk
konsepnya tetap bertahan. Kita mendapati puasa
diwajibkan pada zaman Hadhrat Musa dan Hadhrat Daud a.s.. Umat Hindu juga
memiliki puasa sebagai bagian dari
agama mereka meskipun pantangan
mereka hanya memakan makanan yang dimasak.
Kristen juga memiliki konsep puasa, beberapa sekte Kristen hanya
berpantang makan daging saat puasa dan bisa makan sayuran. Baru-baru ini
Hadhrat Khalifatul Masih mendapat pengalaman melihat seseorang puasa dengan cara ini. Seorang teman
Kristen, yang nama atau negaranya Hudhur tidak mau sebutkan, duduk dekat Hudhur
saat makan malam. Makanan disajikan di piring dan Hudhur melihat, teman
tersebut belum dilayani. Ketika Hudhur menanyakan alasannya ia berkata, ia
sedang berpuasa. Menghormati hal ini, Hudhur tetap diam dan kagum bahwa
meskipun kedudukannya sebagai politisi ia menjalankan keyakinannya. Tidak
berapa lama Hudhur melihat bahwa kepadanya disajikan sayuran dan nasi, dan berkata
kepadanya bahwa dia bisa makan itu saat puasa dan dia mengatakan ya, dia akan
makan. Selanjutnya, ayam disajikan di piring dan Hudhur melihat ada daging itu
di piring teman tersebut. Karena Hudhur akrab dengan tamu tersebut, Hudhur
bertanya apakah ia dibolehkan [oleh agamanya] untuk makan ayam selama puasa.
Dia tertawa dan berkata, orang yang menyajikan makanan menawarkan kepadanya dan
agamanya mengajarkan kepadanya bahwa jika tuan rumah menawarkan sesuatu, Anda
harus memakannya.
Demikianlah keadaan puasa orang dari agama-agama terdahulu. Ayamnya lezat, ketika ia
melihat semua orang di sekitarnya makan - ada sekitar dua orang yang melayani -
ia mungkin telah menolak dari pelayan yang
satu dan menerima dari yang kedua karena kesopanan. Jadi kesopanan
lebih diutamakan daripada perintah agama
karena kitab yang memberikan ajaran agama tidak jelas. Namun, Allah sendiri berjanji
untuk menjaga Al-Qur’an dan
orang-orang mukmin diperintahkan bahwa jika mereka beriman maka berpuasa selama
satu bulan adalah wajib bagi mereka di mana mereka harus berpantang dari semua makanan dan minuman untuk meraih ketakwaan, untuk meningkatkan ketakwaan, dan berusaha serta meraih keridhaan Tuhan. Memang, Alkitab
memerintahkan para pengikutnya untuk berpuasa untuk mencari keridhaan Tuhan dan bukan memperlihatkan (riya). Puasa
meningkatkan kerohanian seseorang
tetapi konsep penebusan dosa telah mematikan
ruh puasa, yaitu meraih ketakwaan. Dengan cara ini penebusan dosa telah menjadikan puasa
kehilangan manfaatnya dan puasa hanya
tinggal namanya, membawa seseorang
dari sayuran mentah dan rebus sampai ke daging yang dimasak.
Al-Qur’an memerintahkan puasa dengan menjelaskan tujuannya dan
telah memberikan kabar tentang pahalanya. Untuk menjaga ajarannya tetap
hidup, para mujaddid dan wali-wali terus datang dalam Islam.
Kemudian, dengan mengirimkan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Allah memberikan sarana kebangkitan
ajaran agama untuk semuanya, Muslim
dan non-Muslim.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: "Pilar ketiga Islam adalah puasa. Orang juga tidak memahami hakekat puasa. Kebenarannya
adalah, seseorang tidak bisa bicara tentang suatu tempat yang dia belum pernah
pergi ke sana dan tidak tahu mengenainya. Puasa bukan hanya tinggal lapar dan
haus, melainkan hakekat dan dampaknya hanya dapat diperoleh melalui pengalaman. Sudah menjadi sifat manusia
bahwa semakin sedikit dia makan, nafs/ruhnya
menjadi semakin suci, dan kemampuannya untuk (menerima) kasyaf meningkat.
Kehendak Allah adalah untuk mengurangi
satu jenis makanan dan meningkatkan [jenis makanan] yang lain [makanan
rohaniah]. Orang yang berpuasa harus selalu sadar bahwa ia tidak hanya diminta
untuk tetap lapar. Sebaliknya ia
harus tetap sibuk dalam mengingat Allah
sehingga ia dapat memutuskan ikatan keinginan-keinginan
dan kesenangan duniawi dan sepenuhnya
membaktikan diri kepada Tuhan (tabattal dan inqita’). Oleh karena itu, tujuan
puasa adalah bahwa manusia meninggalkan satu jenis makanan yang hanya memelihara tubuh jasmani dan meraih makanan lain yang merupakan sumber ketenteraman dan kebahagiaan rohaniah. Mereka yang berpuasa hanya demi Allah, bukan
karena adat kebiasaan, hendaknya terus sibuk dalam tahmid, tasbih
(subhanallah) dan tahlil (Laa illaha
illallaah) kepada Allah Ta’ala, yang
melaluinya mereka akan mendapatkan makanan
yang lain.”[1]
Kutipan di atas bisa memberi kesan bahwa kelaparan adalah satu-satunya cara pemurnian diri, karena itu Hadhrat Masih
Mau’ud a.s. telah menjelaskan bahwa
berlapar-lapar bukanlah tujuan puasa,
tetapi, tujuannya adalah meraih ketakwaan.
Jika seseorang berpuasa demi Tuhan,
dia harus melewatkan waktu dalam dzikir
Ilahi.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengatakan di tempat lain bahwa dengan berlapar-lapar bahkan para yogi
mendapatkan kemampuan kasyaf, tetapi
tujuan kehidupan seorang mukmin
adalah untuk memutuskan hubungan
dengan hal-hal duniawi dan penyerahan diri kepada Tuhan, yang untuk
itu dzikir Ilahi sangat penting dan shalat adalah cara terbaik untuk itu.
Saat berpuasa, selain pengurangan asupan makanan, seseorang
juga berpantang dari hal-hal lain
yang halal dan lebih terfokus pada shalat dan dzikir Ilahi. Jika seseorang biasa menjamak shalat atau lambat mengerjakan shalat, perhatian
khusus harus diberikan selama hari-hari ini untuk dzikir Ilahi dan ibadah
kepada Tuhan, ini harus diutamakan atas segala sesuatu yang lain.
Ketika kita mengucapkan Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah),
ini hendaknya bukan hanya pengakuan lisan belaka. Ketika kita mengucapkannya,
kita harus sadar bahwa Hamd (pujian
kepada Allah) adalah untuk Rabb Al-Jaliil
(Tuhan Yang Maha Gagah) semata dan pujian
hanya tertuju kepada-Nya saja. Kita memuji
Tuhan itu, Yang memberi petunjuk
orang-orang yang tersesat. Jika kita
tidak berpaling kepada-Nya selama sisa waktu selebihnya dalam setahun [waktu di
luar Ramadhan tiap tahun] sebagaimana seharusnya, semoga Dia membimbing kita
dalam bulan ini sehingga kita diselamatkan dari kesesatan dan melalui kebaikan
dari Hamd, mendapatkan ketakwaan.
Mengenai hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda bahwa ketika sibuk dalam tahmid (memuji Tuhan), orang harus sadar
bahwa semua kehormatan ada di tangan
Tuhan. Dalam Ramadhan ini kita harus berdoa bahwa kebajikan apapun yang kita lakukan semoga itu mendekatkan kita kepada Tuhan dan semoga kita tidak ditarik ke arah
kehormatan dan kelalaian duniawi.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda bahwa seseorang harus memberikan perhatian pada tasbih (mengatakan Subhanallah untuk
menguduskan Tuhan). Namun, tidak cukup hanya dengan mengucapkan Subhanallah. Ketika kekudusan Tuhan diakui, seseorang hendaknya berdoa dengan penuh kepedihan
supaya dirinya dibebaskan dari semua jenis kekotoran
dunia.
Kemudian beliau memerintahkan untuk
membaca tahlil. Seseorang harus menyembah Allah dengan cara
bahwa Dia Sendiri yang layak disembah. Ketika seseorang membutuhkan bantuan, hendaknya hanya memohon bantuan Tuhan. Memang, manusia selalu
membutuhkan bantuan Tuhan, oleh
karena itu upaya harus dilakukan untuk selalu berpaling kepada Sang Kekasih
Sejati. Ketika berpuasa kita hendaknya berdoa untuk tetap berada dalam perlindungan Tuhan dan mengambil bagian
dari perubahan yang Tuhan tetapkan
bagi mereka yang mencari kebaikan
dari puasa, dan supaya perubahan ini
memberi kita kebaikan selama sisa
hidup kita.
Tahmid, tasbih dan tahlil
menimbulkan kondisi 'Tabattal ilallaah’ yang
berarti untuk memisahkan diri -demi
Allah- dari segala macam keinginan
duniawi dan menciptakan hubungan
kesetiaan yang sempurna dengan
Tuhan, serta kondisi 'Inqita', yang berarti untuk memisahkan diri dari segala macam kesenangan duniawi dan ditarik ke arah ibadah kepada Tuhan. Ini membawa pada tujuan yang Tuhan telah nyatakan sebagai alasan berpuasa, yaitu, orang yang berpuasa akan meraih ketakwaan.
Ramadhan ini akan memberi manfaat kepada kita hanya jika kita
memperhatikan hal ini. Ini adalah tujuan besar dan membutuhkan kerja keras. Ini menuntut kita memenuhi
hak penuh ibadah kepada Tuhan serta
hak-hak umat manusia karena memenuhi kedua hak
ini pada gilirannya membawa pada ketakwaan.
Kita harus berhati-hati, [tidak] seperti yang digambarkan dalam peristiwa
tentang teman Kristen kita, orang dari agama lain meninggalkan puasa dan mengutamakan kesopanan lahiriah dan meninggalkan ruh puasa, seperti yang diperintahkan kepada mereka.
Puasa adalah satu bentuk ibadah dan tujuannya adalah untuk meraih
ketakwaan dan keridhaan Tuhan yang telah hilang. Jika direnungkan, meninggalkan
perintah Tuhan demi seorang tuan rumah juga merupakan satu jenis syirik.
Jika kita mengutamakan seseorang atas
Tuhan, kita secara bertahap mengesampingkan
Wujud Tuhan dan syirik mengambil
alih. Orang-orang terdahulu melupakan ruh
perintah puasa dan hanya tinggal riya
(memperlihatkan pada orang lain).
Di sini ada pelajaran bagi umat Islam.
Mereka, yang alih-alih memahami ruh
puasa, menginginkan Tabattal, sibuk
dalam tahmid dan dzikir Ilahi selama puasa dan mengerjakan shalat, melainkan hanya bangga pada puasa mereka, puasa mereka jatuh pada puasa
orang dari agama terdahulu. Beberapa orang
suci yang hanya namanya saja,
selain puasa wajib juga mengerjakan puasa nafal, tetapi menyebut-nyebutnya [menceritakan kepada orang lain secara tidak
langsung], meskipun ibadah nafal
umumnya ibadah yang tersembunyi.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. juga
menyebutkan orang-orang seperti. Jika orang seperti ini mendapat tamu, mereka
akan menawari tamunya makanan tetapi
mereka sendiri tidak makan, atau
mereka akan mengunjungi orang-orang
pada waktu makan dan ketika tuan
rumah menyajikan makanan, mereka akan mengatakan bahwa mereka tidak bisa makan
atau minum karena beberapa alasan [yaitu berpuasa nafal].
Dengan kata lain, tujuannya adalah membiarkan orang lain tahu dengan cara licik bahwa mereka berpuasa. Lalu ada orang-orang yang
tanpa perlu, menyebutkan lamanya
puasa, karena hari-hari ini jangka waktu puasa ini panjang karena waktu musim
panas. Untuk menyatakan kesalehan
mereka mereka memberikan rincian betapa sedikit
mereka makan waktu Sahur dan berbuka.
Tentu saja, kadang-kadang seseorang secara spontan menyebutkan hal-hal seperti
itu, tapi ada beberapa yang melakukannya dengan sengaja dan untuk suatu tujuan [supaya dianggap orang saleh dan
suci]. Bahkan ada beberapa ulama yang
hanya namanya dari ghair Ahmadi yang
mengatakan bahwa kesedihan karena agama menyebabkan mereka hanya makan sangat sedikit.
Seorang teman non-Ahmadi telah
menceritakan satu kejadian seorang ulama
yang hanya namanya saja. Dia adalah
seorang orator yang baik yang khusus
melakukan pidato berapi-api menentang
Jemaat kita. Teman Non-Ahmadi ini adalah pengikutnya dan sekali ulama ini pergi untuk menginap di
tempatnya. Sarapan yang sangat mewah disajikan untuk tamu yang makan tiga ekor ayam panggang. Kemudian,
mereka pergi ke sebuah pertemuan di mana ulama
ini harus memberikan ceramah. Untuk memberi pengaruh, ia mulai dengan
mengatakan bahwa karena kesedihan
terhadap umat, hamba agama (dirinya) tidak bisa makan sebutir nasi pun sejak pagi!
Teman Non-Ahmadi mengatakan dia terkejut
mendengar dia (ulama) mengatakan hal itu di hadapannya, yang dari rumahnya dia baru
saja makan tiga ekor ayam utuh.
Bagaimanapun, ulama itu benar, dia belum makan
nasi, ia makan tiga ekor ayam.
Ada orang-orang Muslim semacam ini, yang puasanya -- yang merupakan ibadah -- bukan untuk mencari keridhaan
Allah tetapi untuk memperlihatkan
(riya) pada orang lain, padahal Allah telah menyatakan bahwa tujuan dari setiap
ibadah hendaknya ketakwaan.
Jika seseorang ingin mendapat ganjaran karena kesalehan dan puasa, hal
itu tidak mungkin tanpa ketakwaan dan
hanya Tuhan yang memutuskan siapa bertakwa
dan siapa yang tidak. Jika seorang mukmin mematuhi pola pikir ini dan berpuasa
untuk meraih keridhaan Tuhan, penyucian jiwa akan terjadi dan orang
seperti ini akan dimasukkan di antara orang-orang yang mengenainya Hadhrat Muhammad Rasulullah s.a.w. bersabda, bahwa barangsiapa yang
berpuasa selama bulan Ramadhan dalam keadaan iman sambil mengoreksi diri,
dosa-dosanya yang telah lampau akan
diampuni.[2]
Masing-masing dari kita harus berusaha
dan berpuasa dengan cara ini dan bukan hanya sebagai adat kebiasaan dengan hanya berlapar-lapar
dan haus. Puasa kita harus menjadi perisai dan menyelamatkan kita dari segala kejahatan
dan membuka pintu kepada setiap kebaikan.
Malam-malam kita harus dihiasi dengan ibadah
nafal kepada Allah. Memang, Hadhrat Rasulullah s.a.w. sangat menekankan pentingnya ibadah nafal selama bulan Ramadhan dan bersabda bahwa orang yang
mengerjakan shalat nafal selama bulan
Ramadhan dosa-dosanya diampuni.[4]
Salah satu aspek positif dari puasa yang
sekarang diakui oleh sebagian ilmuwan adalah bahwa diet kontrol setahun sekali bermanfaat bagi kesehatan manusia. Jika tujuannya adalah untuk membuat Tuhan ridha, maka manfaat fisik juga didapat
dan ada banyak manfaat lainnya. Ketika puasa
didasarkan pada ketakwaan, itu
menciptakan masyarakat yang indah, menciptakan semangat pengorbanan satu sama lain. Seseorang ditarik kepada kebutuhan saudaranya yang kurang
beruntung, dan ini sangat penting karena ini adalah teladan beberkat Hadhrat Rasulullah s.a.w. bahwa selama Ramadhan sedekah
dan amal beliau akan mendapatkan
momentum kencang seperti tiupan angin.[5]
Ini menjadi sumber untuk menghapus kegelisahan dari masyarakat dan
menciptakan perasaan empati (peduli)
kepada yang kurang mampu di antara mereka yang kaya, dan perasaan cinta dan rasa syukur dalam hati orang mukmin yang kurang mampu kepada
saudara-saudara mereka yang kaya. Ketika puasa (dilakukan) demi meraih ketakwaan, itu menanamkan praktek
menanggung kesulitan.
Makan lebih sedikit saat sahur dan buka puasa bukan untuk disiarkan
kepada orang lain, tetapi dirancang untuk mengurangi
asupan makan seseorang dan ditarik ke penyucian
diri. Di dalamnya ada pelajaran bagi
mereka yang mungkin berpikir bahwa kurang makan dapat merugikan kesehatan
mereka, mereka harus mengontrol diet
(berpantang makan) mereka.
Hadhrat Rasulullah s.a.w. memerintahkan bahwa dalam situasi di mana ada bahaya
kekacauan atau pertengkaran meningkat, dia hendaknya hanya mengatakan, 'Aku
sedang berpuasa'. Di dalamnya ada isyarat kepada jalan-jalan ketakwaan, bahwa mengendalikan emosinya juga penting. kita harus
menghindari pertengkaran sehingga
tujuan puasa terpenuhi. Kita harus
menghindari menggunjing agar tujuan puasa terpenuhi, kita harus menghindari kebohongan dan ketidakjujuran agar tujuan puasa
terpenuhi.
Praktek mengendalikan lidahnya selama satu bulan, yang penting untuk ketakwaan, menanamkan kebiasaan menghindari
banyak dosa dan kesalahan dalam kehidupan masa mendatang dan seseorang
mengembangkan kebiasaan konstan (tetap) menjalankan ketakwaan, dan kebiasaan tersebut memang tujuan puasa dan Ramadhan. Jika tidak, mematuhi semua yang diperintahkan Allah
dalam bulan ini, tetapi melanggar
serta terlibat dalam dosa selama sisa tahun ini maka tidak mencapai tujuan apapun.
Setiap orang perlu mengintrospeksi diri merenung dalam bulan ini. Kita perlu mancari ruh bulan Ramadhan. Kita perlu mencari
jalan-jalan ketakwaan. Kita perlu
memanfaatkan pengalaman meninggalkan
hal-hal yang halal selama bulan
Ramadhan untuk menimbulkan perubahan
akhlak secara umum dalam diri. Kita perlu mempertahankan praktek memenuhi hak-hak umat manusia dan membantu saudara-saudara yang kurang
mampu. Kita perlu mempertahankan suasana
khas ibadah kepada Tuhan dan pengorbanan
di bulan Ramadhan sehingga dapat terus maju ke arah orang-orang yang termasuk
di antara orang bertakwa. Kita perlu
mengusahakan yang terbaik untuk meraih kedekatan
dengan Tuhan selama bulan ini. Ini adalah karunia
Tuhan pada kita bahwa Dia membuka
pintu surga dan menutup pintu neraka
selama bulan ini.[6]
Kita harus berusaha melalui ibadah
kepada Tuhan, untuk meraih pensucian
diri, dan melalui pemenuhan hak-hak
umat manusia untuk memasuki pintu
surga yang tetap terbuka selamanya.
Kita harus bertobat dan sibuk dalam istighfar
sehingga kita termasuk di antara orang-orang yang pertobatan mereka membuat
Tuhan senang lebih dari kesenangan seorang ibu yang menemukan anaknya
yang hilang. Semoga kita memberikan
Tuhan kebahagiaan lebih dari kebahagiaan seorang ibu dalam menemukan
anaknya hilang! Namun, untuk itu kita harus menjalankan ketakwaan dan meningkatkan standar
mengerjakan shalat wajib dan nafal (tambahan) kita, dan memberikan
perhatian kepada memenuhi hak-hak
umat manusia. Semoga Allah dengan rahmat-Nya memberi kita taufik untuk meraih
hal ini selama bulan Ramadhan ini.
12 Juli 2013
[2]
Shahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, bab Shaum Ramadhan
[3]
Shahih al-Bukhari, Kitab at-Tauhid, bab Dzikr Nabi wa riwayatihi
[4]
Shahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, bab Tathawwu’ Qiyam Ramadhan
[5]
Shahih al-Bukhari, Kitab bad’il Wahyi
[6]
Shahih al-Bukhari, Kitab ash-Shaum, bab hal yuqaalu Ramadhan au syahr Ramadhan