Wednesday, July 1, 2009

Sifat Al-Rafi (Maha Pengangkat Derajat) Allah Swt

Al Rafi (Maha Pengangkat Derajat) adalah salah satu sifat Allah Swt, yang artinya Dia-lah Dzat Yang Mengangkat derajat kaum mukminin sejati. Dia mengangkat derajat mukmin sejati atas dasar amal shalih mereka yang dikerjakan dengan dawam; yang itupun berkat karunia Allah semata. Namun, Dia menganugerahkan karunia-Nya untuk memuliakan kaum mukminin itu dengan cara yang luar biasa, diluar jangkauan pikiran manusia. Allah memberikan qurb-Nya kepada para hamba pilihan-Nya itu sehingga memperkokoh kemuliaan derajat mereka. Dia mengaruniakan sebagian kemulian-Nya dan mengirimkan ilmu tarbiyat-Nya melalui para rasul-Nya. Di dalam Al Qur’an Karim dinyatakan,

اِلَيْهِ يَصْعَدُ الْـكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهٗ

‘…Kepada-Nya naik segala perkataan yang baik, dan amalan-shalihan membantu mengangkat derajat mereka…’ (Surah Al Fatir, 35:11).

Huzur menerangkan, hal ini menunjukkan bahwa Allah Swt suka menerima amal shalih. Yakni, amal shalih yang mendatangkan pahala. Sebab, tanpa adanya amal shalih, manusia tak akan memperoleh taqabuliat-Nya.
Huzur bersabda, Allah itu Al Rafi, namun Dia pun bersifat Al Qadir (yakni Pemilik Kekuasaan dan Kewenangan), yang dapat Dia berikan kepada hamba-Nya yang diridhoi. Namun, kaidah utama untuk memperoleh anugerah derajat kemuliaan-Nya itu adalah dengan cara banyak beramal shalih. Hadhrat Masih Mau'ud a.s. telah mengingatkan Jamaah beliau, hal yang dapat menarik taqubuliyat Allah Swt adalah amalan-shalihan.
Ayat Al Quran yang tadi telah dibacakan menyatakan kepada kaum jahiliyah Arabia pra-Islam, dengan kekuatan quwat-qudsiyah Rasulullah Saw, segala sifat biadab mereka bukan hanya akan dibersihkan, akan tetapi juga akan diangkat derajat ketaqwaan dan kemuliaannya. Kehormatan ini sebagai hasil dari keikhlasan keimanan, ketinggian akhlak dan amalan-shalihan mereka......
Akan tetapi sayang, dunia Islam kini sudah berubah menjadi serba materialistik; melupakan contoh kemuliaan akhlak leluhur mereka. Kondisinya sudah memburuk sedemikian rupa, sehingga orang Muslim membunuh sesama Muslim lainnya dengan mengatas-namakan Islam. Maka beberapa kaum non-Muslim pun dapat mendikte gerak langkah mereka. Berbagai negara Muslim meminta bantuan kekuatan beberapa negara non-Muslim untuk mengatasi permasalahan mereka. Bila suatu negara Islam menghadapi kesulitan, mereka pun cepat-cepat meminta bantuan Amerika Serikat atau negara-negara Eropa, alih-alih berkonsultasi dengan sesama negara Islam lainnya. Sehingga, beberapa negara non-Muslim itu pun dapat memaksakan kehendak mereka; bersikap aniaya terhadap kebijakan negara mereka, sehingga meningkatkan berbagai aksi protes di kalangan kaum Muslimin lainnya. Sebagai akibat sudah tidak sesuai dengan falsafah ajaran Islam tersebut, maka mereka pun jatuh ke jurang kehinaan alih-alih menjadi mulia..
Allah Taala telah menyatakan, kaidah utama cara beramal-shalih yang paling diridhoi-Nya adalah hanya dengan mengikuti contoh berberkat Rasulullah Saw. Namun, meskipun kaum Muslimin sekarang ini menyadari berbagai perbuatan munkar mereka sendiri yang membuat mereka menjadi terhina, tetapi tetap saja mereka tidak mau beramal-shalih sebagaimana dinasehati [Rasulullah Saw] untuk zaman akhir ini. Yakni, Allah Taala telah mengutus Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani sebagai Mahdi-Nya disebabkan beliau-lah seorang hamba dan pecinta Rasulullah Saw yang sejati. Namun sungguh malang, mereka bukan hanya menolak kebenaran beliau a.s., tetapi bahkan juga melontarkan berbagai perkataan fitnah.
Membacakan satu contoh betapa Hadhrat Masih Mau'ud a.s. memuliakan junjungannya, Rasulullah Saw, dalam suatu syair gubahan beliau, Huzur bersabda, di abad sekarang ini, tak ada, atau bahkan tak akan pernah ada seorang insan yang memiliki daya penglihatan rohani yang tepat dan mendalam mengenai kemuliaan rohani Hadhrat Rasulullah Saw, selain dari Hadhrat Masih Mau'ud a.s.. Cara beliau a.s. mengungkapkannya demikian elok, sebagaimana ikhtisar tulisan beliau ini:
'‘Al Qur’an Karim telah menyatakan kemuliaan derajat Rasulullah Saw dengan ungkapannya yang indah ini,
اللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ‌ؕ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌ‌ؕ الْمِصْبَاحُ فِىْ زُجَاجَةٍ‌ؕ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّىٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍۙ يَّـكَادُ زَيْتُهَا يُضِىْٓءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ‌ؕ نُّوْرٌ عَلٰى نُوْرٍ‌ؕ يَهْدِىْ اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَآءُ‌ؕ وَ يَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ‌ؕ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيْمٌۙ‏
Allah adalah Nur seluruh langit dan bumi. Misal nur-Nya adalah bagai sebuah relung yang di dalamnya ada sebuah pelita. Pelita itu berada di dalam suatu semprong kaca. Semprong kaca itu seperti bintang yang gemerlapan. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon - yang diberkati - zaitun yang tidak Timur tak pula Barat, yang minyaknya nyaris bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya. Nur di atas nur ! Allah memberi bimbingan menuju nur-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mengemukakan permisalan-permisalan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Surah Al Nur, 24:36).
Maksudnya, Allah adalah Nur seluruh langit dan bumi, yakni, setiap cahaya yang terlihat di ketinggian langit maupun di kedalaman perut bumi; di alam rohani ataupun di dunia jasmani; di dalam diri orang pribadi ataupun jamaah; yang zahir maupun yang ghaib, yang tersirat maupun yang tersurat, semuanya itu berasal dari rahmat karunia Allah semata.
Hal ini menunjukkan, karunia Allah Rabbul Alamin meliputi segala sesuatu. Tak ada satupun yang tak memperoleh karunia-Nya. Dia-lah sumber segala rahmat. Nur ala nur; sumber segala karunia. Allah-lah penyangga seluruh alam semesta. Menjadi empat berlindung bagi mereka yang berada di ketinggian maupun mereka yang berdiam di tempat-tempat yang rendah. Dia-lah yang mengeluarkan segala sesuatu dari kegelapan dan ketiadaan menjadi untaian indah mutu manikam. Tak ada sesuatu yang mewujud karena dirinya sendiri kemudian berlangsung terus menerus; melainkan disebabkan karena menerima karunia-Nya semata.
Bumi, langit, manusia, hewan, bebatuan, tanaman, rohani maupun jasmani, semuanya mewujud atas karunia-Nya semata.
Inilah yang dimaksud dengan karunia umum sebagaimana yang tercantum di dalam ayat, Allahu nurrusamawati wal-ardh. Ialah Karunia Allah meliputi segala sesuatu bagai sebuah lingkaran. Karunia-Nya diterima tanpa syarat. Kalau pun ada yang bersyarat, adalah semata atas karunia-Nya juga, yang dikhususkan bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk menerimanya; yakni, para rasul Allah; dan wujud yang paling afdhol untuk dapat menerima karunia-Nya yang terbesar itu, ialah Muhammad, Rasulullah Saw......
Terjemahan kalimat berikutnya di dalam ayat tersebut, ...almisbahu fii judzadjah, ajjudzadzah ka-annaha kaukabun durriyyuy-yuqodhu min syajaratim-mubarakatin zaitun-natil-laa-syarkiyatiw-walaa ghorbiyyah, ialah, pelita-Nya tersebut dipancarkan [oleh insan paripurna, ialah Rasulullah Saw] dalam perumpamaan sebuah relung yang gemerlapan [yakni, dada Rasulullah Saw]. Di dalam relung itulah pelita tersebut berdiam, dilindungi oleh sebuah semprong kaca yang berkilauan [ialah, dada Rasulullah Saw yang suci murni bagai kristal yang gemilang, tak bernoda, tak pula bercacat; dan hanya mendambakan Allah Swt saja]. ...ajjudzadzah ka-annaha kaukabun durriy..., Semprong kaca kristal itu seperti bintang yang gemerlapan, bersinar di langit dengan penuh keagungan [yakni, qalbu Rasulullah Saw yang besih dan bersinar hingga tampak mengalir keluar bagai mata air]. ...durriyyuy-yuqodhu min syajaratim-mubarakatin..., Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon - yang diberkati, [yakni, pribadi Rasulullah Saw yang merupakan kumpulan dari berbagai rahmat dan karunia yang tidak membawa pesan dari suatu wilayah, zaman, ataupun kecenderungan arah; yang akan terus mengalir, tak akan terputus]. ...syajaratim-mubarakatin zaitun-natil-laa-syarkiyatiw-walaa ghorbiyyah..., pohon yang diberkati tersebut tidak Timur tak pula Barat [yakni, missi Rasulullah Saw tak berlebihan tak pula mengandung kekurangan. Disiapkan dengan sebaik-baiknya. ...yakadu dzaituha yudiyy'u walawlam tamsashu narun..., minyak pohon yang diberkati tersebut, mampu menyalakan pelita wahyu Ilahi, yakni, gemerlap akal sehat yang dibawakan Rasulullah Saw ditambah dengan akhlakul karimah beliau, membuat mata air kehidupan rohani tersebut senantiasa mengalir yang sesuai dengan akal pikiran.
Karunia Wahyu Ilahi itu ternyalakan dengan kemuliaan akhlak fadillah Rasulullah Saw; dikaruniakan-Nya dikarenakan memang cocok untuk menerimanya. Khususnya lagi dikarenakan sifat corak wahyu Ilahi tersebut sesuai dengan fitrat Rasulullah Saw. Misal perbandingannya adalah fitrat Hadhrat Musa a.s., yang merupakan gabungan kegagahan dan suka menghukum; maka seperti itu pula-lah corak syariat Taurat diwahyukan. Jesus Kristus berfitrat lembek dan kasih, maka seperti itulah syariat Al Kitab mengajarkan ajaran yang dipenuhi dengan kelembutan dan kasih. Sedangkan fitrat Rasulullah Saw sangat tegas tetapi juga istiqamah. Tidak menyukai sikap serba membolehkan, tetapi tak juga suka menghukum. Nasehat dan keputusan beliau senantiasa bijaksana sesuai dengan situasi dan kondisinya. Oleh karena itu, Al Qur’an pun berisi syariat ajaran yang bersifat moderat (jalan tengah), gabungan antara ketegasan dan pengasih, menuntut dan membimbing, keras tetapi juga ada lembutnya......
Fitrat beliau gabungan antara keras dan lembut, hukuman dan pengampunan, sederhana dan keagungan, ketegasan dan keindahan. Kemuliaan akhlakul karimah Rasulullah Saw dinyatakan di tempat lain di dalam Al Qur’an, ialah: ...wa innaka la'ala khuluqi adhim..., yang artinya, (Ya Rasul) Sesungguhnya engkau telah diciptakan yang disertai dengan keberkatan memiliki akhlak yang agung.(68:5).
...yakadu dzaituha yudiyy'u walawlam tamsashu narun..., minyak pohon yang diberkati tersebut nyaris bercahaya walupun api tidak menyentuhnya [yakni, akal sehat dan kemuliaan semua sifat Rasulullah Saw demikian sempurna, patut, halus dan bercahaya, ialah, nyaris bersinar memberi petunjuk walaupun belum menerima wahyu Ilahi]. Nur ala nur, artinya berbagai macam nur kebaikan ada di dalam diri Rasulullah Saw; dan kepada wujud yang sudah dipenuhi corak cahaya kehidupan tersebutlah nur wahyu Ilahi diturunkan, sehingga beliau pun menyandang gelar ‘Khatamul-Anbiya’; Nur ala nur ! (Barahin Ahmadiyah, Vol. I, hlm. 191-195, catatan kaki No. 11).
Huzur bersabda, maka berkat kesempurnaan sifat cahaya Rasulullah Saw itulah, beliau mampu memancarkan kembali nur wahyu Ilahi bagi seluruh umat manusia. Hanya nur Ilahi inilah yang mampu memberikan berkat keselamatan sampai Hari Kiamat; yang untuk akhir zaman kini, sebagian dari Nur ala nur tersebut berhasil diperoleh kembali oleh seorang hamba Rasulullah Saw yang sejati, [yakni Masih Mau'ud a.s.]; sehingga beliaupun mampu melanjutkan missi penyebaran nur hidayah Ilahi ini, dan dunia memperoleh keberkatannya.
Untuk kelanjutan missi [Rasulullah Saw] inilah beliau mendapat julukan Khatamul-Khulafa (Khalifatullah yang paling afdhol). Sebab, para Khalifatullah lain yang datang sebelum beliau bertugas hanya untuk suatu wilayah tertentu. Akan tetapi bagi Masih Muhammadi a.s. ini, nur pelita wahyu Ilahi tersebut telah memancar [ke seluruh dunia] karena telah ditempatkan di puncak suatu Myskat, tiang yang tinggi....
Setelah masa Khatamul-Khulafa, dengan bantuan dan bimbingan Allah Taala, kini hanya nizam Khilafat yang mampu menjalankan tugas risalah ini. Ayat berikutnya di dalam Surah An Nur tersebut adalah sebagai berikut,
فِىْ بُيُوْتٍ اَذِنَ اللّٰهُ اَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهٗۙ يُسَبِّحُ لَهٗ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِۙ‏
‘Nur tersebut kini menyinari rumah-rumah yang Allah telah mengizinkan supaya ditinggikan dan diingat di dalamnya nama-Nya, dia bertasbih kepada-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang.’ (24:37).
Huzur bersabda, maksud buyutin (rumah-rumah) di dalam ayat ini adalah rumah-rumah yang di dalamnya berbagai perintah Allah dijalankan. Rumah-rumah semacam itulah yang akan dimuliakan. Setiap langkah yang membantu memperkuat keimanan adalah dzikir Ilahi dan mendirikan Salat. Ingatlah seorang wujud yang telah memiliki nur Ilahi dengan ungkapan syairnya, “Kesejukan mata rohani-ku hanyalah terletak di dalam Salat”.
Huzur bersabda, kebiasaan menjamak Salat Zuhr dan Asar yang tidak beralasan kuat hendaknya ditinggalkan. Huzur mengingatkan sebuah Hadith menyebutkan Rasulullah Saw bersabda, beliau biasa mendirikan salat Sunnat empat rakaat qobla Zuhur, karena saat itulah pintu-pintu surga dibukakan. Sehingga bahkan beliau pun berdoa agar dapat diterima. Oleh karena itu, kaum pengikut Hadhrat Imam Mahdi a.s. kini hendaknya pun melaksanakannya.
Ayat berikutnya adalah,
رِجَالٌ ۙ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَّلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَاِقَامِ الصَّلٰوةِ وَ اِيْتَآءِ الزَّكٰوةِ‌ۙ يَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَالْاَبْصَارُۙ
‘Kaum lelaki yang tidak melalaikan mereka perniagaan dan tidak pula jual-beli dari mengingat Allah dan mendirikan Salat, dan membayar Zakat. Mereka takut pada hari, ketika terbalik di dalamnya hati dan mata.’ (24:38).
Huzur bersabda, para Sahabah Rasulullah Saw biasa melaksanakan Sunnah beliau Saw, disamping mendirikan berbagai salat Fardhu lainnya. Mereka tidak pernah melalaikan kewajiban mereka terhadap Allah dalam hal membayar Zakat, yang adalah haququl-ibad. Amal shalih mereka bagai nur yang memberi contoh berberkat hingga hari ini.
Menerangkan perbedaan pengertian antara tijarah (perniagaan) dan bai’ah (jual-beli) di dalam ayat ini, Huzur bersabda, tijarah, atau perniagaan lebih menekankan adanya interaksi jual-beli. Sedangkan bai’ah bersifat hanya menjual (sales). Maka adanya pelayanan purna-jual hendaknya termasuk di dalam kategori bai’at ini. Di dunia Barat kaidah yang baik ini (after sales service) telah meluas [di berbagai jenis penjualan]. Agar urusan bai'at (penjualan) mereka dapat diselesaikan tepat waktu, mereka pun berdaya upaya untuk melaksanakan kewajiban mereka......
transldByMMA / LA062209