Tuesday, July 22, 2014

Ramadhan – Keutamaan Puasa




أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦)  صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ  (٧)

یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا کُتِبَ عَلَیۡکُمُ الصِّیَامُ کَمَا کُتِبَ عَلَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَتَّقُوۡنَ ﴿۱۸۳﴾ۙ

“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa, seperti yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kalian bertakwa. "(QS.2:184)


D
engan rahmat Tuhan, Ramadhan dimulai di sini (Inggris) dari kemarin. Alhamdulillah Dia telah menganugerahkan kepada kita pengalaman Ramadhan sekali lagi. Dalam ayat di atas Allah Swt. menarik perhatian para mukmin sejati mengenai penting dan wajibnya puasa dan telah mengingatkan mereka bahwa umat nabi-nabi terdahulu juga diwajibkan berpuasa karena puasa sangat penting bagi kemajuan iman maupun kemajuan rohani. Meskipun puasa dalam agama-agama lain telah berubah seiring dengan berlalunya waktu, namun dalam beberapa bentuk konsepnya tetap bertahan. Kita mendapati puasa diwajibkan pada zaman Hadhrat Musa dan Hadhrat Daud a.s.. Umat Hindu juga memiliki puasa sebagai bagian dari agama mereka meskipun pantangan mereka hanya memakan makanan yang dimasak.
Kristen juga memiliki konsep puasa, beberapa sekte Kristen hanya berpantang makan daging saat puasa dan bisa makan sayuran. Baru-baru ini Hadhrat Khalifatul Masih mendapat pengalaman melihat seseorang puasa dengan cara ini. Seorang teman Kristen, yang nama atau negaranya Hudhur tidak mau sebutkan, duduk dekat Hudhur saat makan malam. Makanan disajikan di piring dan Hudhur melihat, teman tersebut belum dilayani. Ketika Hudhur menanyakan alasannya ia berkata, ia sedang berpuasa. Menghormati hal ini, Hudhur tetap diam dan kagum bahwa meskipun kedudukannya sebagai politisi ia menjalankan keyakinannya. Tidak berapa lama Hudhur melihat bahwa kepadanya disajikan sayuran dan nasi, dan berkata kepadanya bahwa dia bisa makan itu saat puasa dan dia mengatakan ya, dia akan makan. Selanjutnya, ayam disajikan di piring dan Hudhur melihat ada daging itu di piring teman tersebut. Karena Hudhur akrab dengan tamu tersebut, Hudhur bertanya apakah ia dibolehkan [oleh agamanya] untuk makan ayam selama puasa. Dia tertawa dan berkata, orang yang menyajikan makanan menawarkan kepadanya dan agamanya mengajarkan kepadanya bahwa jika tuan rumah menawarkan sesuatu, Anda harus memakannya.
Demikianlah keadaan puasa orang dari agama-agama terdahulu. Ayamnya lezat, ketika ia melihat semua orang di sekitarnya makan - ada sekitar dua orang yang melayani - ia mungkin telah menolak dari pelayan yang  satu dan menerima dari yang kedua karena kesopanan. Jadi kesopanan lebih diutamakan daripada perintah agama karena kitab yang memberikan ajaran agama tidak jelas. Namun, Allah sendiri berjanji untuk menjaga Al-Qur’an dan orang-orang mukmin diperintahkan bahwa jika mereka beriman maka berpuasa selama satu bulan adalah wajib bagi mereka di mana mereka harus berpantang dari semua makanan dan minuman untuk meraih ketakwaan, untuk meningkatkan ketakwaan, dan berusaha serta meraih keridhaan Tuhan. Memang, Alkitab memerintahkan para pengikutnya untuk berpuasa untuk mencari keridhaan Tuhan dan bukan memperlihatkan (riya). Puasa meningkatkan kerohanian seseorang tetapi konsep penebusan dosa telah mematikan ruh puasa, yaitu meraih ketakwaan. Dengan cara ini penebusan dosa telah menjadikan puasa kehilangan manfaatnya dan puasa hanya tinggal namanya, membawa seseorang dari sayuran mentah dan rebus sampai ke daging yang dimasak.
Al-Qur’an memerintahkan puasa dengan menjelaskan tujuannya dan telah memberikan kabar tentang pahalanya. Untuk menjaga ajarannya tetap hidup, para mujaddid dan wali-wali terus datang dalam Islam. Kemudian, dengan mengirimkan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Allah memberikan sarana kebangkitan ajaran agama untuk semuanya, Muslim dan non-Muslim.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: "Pilar ketiga Islam adalah puasa. Orang juga tidak memahami hakekat puasa. Kebenarannya adalah, seseorang tidak bisa bicara tentang suatu tempat yang dia belum pernah pergi ke sana dan tidak tahu mengenainya. Puasa bukan hanya tinggal lapar dan haus, melainkan hakekat dan dampaknya hanya dapat diperoleh melalui pengalaman. Sudah menjadi sifat manusia bahwa semakin sedikit dia makan, nafs/ruhnya menjadi semakin suci, dan kemampuannya untuk (menerima) kasyaf meningkat.
Kehendak Allah adalah untuk mengurangi satu jenis makanan dan meningkatkan [jenis makanan] yang lain [makanan rohaniah]. Orang yang berpuasa harus selalu sadar bahwa ia tidak hanya diminta untuk tetap lapar. Sebaliknya ia harus tetap sibuk dalam mengingat Allah sehingga ia dapat memutuskan ikatan keinginan-keinginan dan kesenangan duniawi dan sepenuhnya membaktikan diri kepada Tuhan (tabattal dan inqita’). Oleh karena itu, tujuan puasa adalah bahwa manusia meninggalkan satu jenis makanan yang hanya memelihara tubuh jasmani dan meraih makanan lain yang merupakan sumber ketenteraman dan kebahagiaan rohaniah. Mereka yang berpuasa hanya demi Allah, bukan karena adat kebiasaan, hendaknya terus sibuk dalam tahmid, tasbih (subhanallah) dan tahlil (Laa illaha illallaah) kepada Allah Ta’ala, yang melaluinya mereka akan mendapatkan makanan yang lain.”[1]
Kutipan di atas bisa memberi kesan bahwa kelaparan adalah satu-satunya cara pemurnian diri, karena itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. telah menjelaskan bahwa berlapar-lapar bukanlah tujuan puasa, tetapi, tujuannya adalah meraih ketakwaan. Jika seseorang berpuasa demi Tuhan, dia harus melewatkan waktu dalam dzikir Ilahi.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengatakan di tempat lain bahwa dengan berlapar-lapar bahkan para yogi mendapatkan kemampuan kasyaf, tetapi tujuan kehidupan seorang mukmin adalah untuk memutuskan hubungan dengan hal-hal duniawi dan penyerahan diri kepada Tuhan, yang untuk itu dzikir Ilahi sangat penting dan shalat adalah cara terbaik untuk itu.
Saat berpuasa, selain pengurangan asupan makanan, seseorang juga berpantang dari hal-hal lain yang halal dan lebih terfokus pada shalat dan dzikir Ilahi. Jika seseorang biasa menjamak shalat atau lambat mengerjakan shalat, perhatian khusus harus diberikan selama hari-hari ini untuk dzikir Ilahi dan ibadah kepada Tuhan, ini harus diutamakan atas segala sesuatu yang lain.
Ketika kita mengucapkan Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah), ini hendaknya bukan hanya pengakuan lisan belaka. Ketika kita mengucapkannya, kita harus sadar bahwa Hamd (pujian kepada Allah) adalah untuk Rabb Al-Jaliil (Tuhan Yang Maha Gagah) semata dan pujian hanya tertuju kepada-Nya saja. Kita memuji Tuhan itu, Yang memberi petunjuk orang-orang yang tersesat. Jika kita tidak berpaling kepada-Nya selama sisa waktu selebihnya dalam setahun [waktu di luar Ramadhan tiap tahun] sebagaimana seharusnya, semoga Dia membimbing kita dalam bulan ini sehingga kita diselamatkan dari kesesatan dan melalui kebaikan dari Hamd, mendapatkan ketakwaan.
Mengenai hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda bahwa ketika sibuk dalam tahmid (memuji Tuhan), orang harus sadar bahwa semua kehormatan ada di tangan Tuhan. Dalam Ramadhan ini kita harus berdoa bahwa kebajikan apapun yang kita lakukan semoga itu mendekatkan kita kepada Tuhan dan semoga kita tidak ditarik ke arah kehormatan dan kelalaian duniawi.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda bahwa seseorang harus memberikan perhatian pada tasbih (mengatakan Subhanallah untuk menguduskan Tuhan). Namun, tidak cukup hanya dengan mengucapkan Subhanallah. Ketika kekudusan Tuhan diakui, seseorang hendaknya berdoa dengan penuh kepedihan supaya dirinya dibebaskan dari semua jenis kekotoran dunia.
Kemudian beliau memerintahkan untuk membaca tahlil.  Seseorang harus menyembah Allah dengan cara bahwa Dia Sendiri yang layak disembah. Ketika seseorang membutuhkan bantuan, hendaknya hanya memohon bantuan Tuhan. Memang, manusia selalu membutuhkan bantuan Tuhan, oleh karena itu upaya harus dilakukan untuk selalu berpaling kepada Sang Kekasih Sejati. Ketika berpuasa kita hendaknya berdoa untuk tetap berada dalam perlindungan Tuhan dan mengambil bagian dari perubahan yang Tuhan tetapkan bagi mereka yang mencari kebaikan dari puasa, dan supaya perubahan ini memberi kita kebaikan selama sisa hidup kita.
Tahmid, tasbih dan tahlil menimbulkan kondisi 'Tabattal ilallaah’ yang berarti untuk memisahkan diri -demi Allah- dari segala macam keinginan duniawi dan menciptakan hubungan kesetiaan yang  sempurna dengan Tuhan, serta kondisi 'Inqita', yang berarti untuk memisahkan diri dari segala macam kesenangan duniawi dan ditarik ke arah ibadah kepada Tuhan. Ini membawa pada tujuan yang Tuhan telah nyatakan sebagai alasan berpuasa, yaitu, orang yang berpuasa akan meraih ketakwaan.
Ramadhan ini akan memberi manfaat kepada kita hanya jika kita memperhatikan hal ini. Ini adalah tujuan besar dan membutuhkan kerja keras. Ini menuntut kita memenuhi hak penuh ibadah kepada Tuhan serta hak-hak umat manusia karena memenuhi kedua hak ini pada gilirannya membawa pada ketakwaan. Kita harus berhati-hati, [tidak] seperti yang digambarkan dalam peristiwa tentang teman Kristen kita, orang dari agama lain meninggalkan puasa dan mengutamakan kesopanan lahiriah dan meninggalkan ruh puasa, seperti yang diperintahkan kepada mereka.
Puasa adalah satu bentuk ibadah dan tujuannya adalah untuk meraih ketakwaan dan keridhaan Tuhan yang telah hilang. Jika direnungkan, meninggalkan perintah Tuhan demi seorang tuan rumah juga merupakan satu  jenis syirik. Jika kita mengutamakan seseorang atas Tuhan, kita secara bertahap mengesampingkan Wujud Tuhan dan syirik mengambil alih. Orang-orang terdahulu melupakan ruh perintah puasa dan hanya tinggal riya (memperlihatkan pada orang lain).
Di sini ada pelajaran bagi umat Islam. Mereka, yang alih-alih memahami ruh puasa, menginginkan Tabattal, sibuk dalam tahmid dan dzikir Ilahi selama puasa dan mengerjakan shalat, melainkan hanya bangga pada puasa mereka, puasa mereka jatuh pada  puasa orang dari agama terdahulu. Beberapa orang suci yang hanya namanya saja, selain puasa wajib juga mengerjakan puasa nafal, tetapi menyebut-nyebutnya [menceritakan kepada orang lain secara tidak langsung], meskipun ibadah nafal umumnya ibadah yang tersembunyi. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. juga menyebutkan orang-orang seperti. Jika orang seperti ini mendapat tamu, mereka akan menawari tamunya makanan tetapi mereka sendiri tidak makan, atau mereka akan mengunjungi orang-orang pada waktu makan dan ketika tuan rumah menyajikan makanan, mereka akan mengatakan bahwa mereka tidak bisa makan atau minum karena beberapa alasan [yaitu berpuasa nafal].
Dengan kata lain, tujuannya adalah membiarkan orang lain tahu dengan cara licik bahwa mereka berpuasa. Lalu ada orang-orang yang tanpa perlu, menyebutkan lamanya puasa, karena hari-hari ini jangka waktu puasa ini panjang karena waktu musim panas. Untuk menyatakan kesalehan mereka mereka memberikan rincian betapa sedikit mereka makan waktu Sahur dan berbuka. Tentu saja, kadang-kadang seseorang secara spontan menyebutkan hal-hal seperti itu, tapi ada beberapa yang melakukannya dengan sengaja dan untuk suatu tujuan [supaya dianggap orang saleh dan suci]. Bahkan ada beberapa ulama yang hanya namanya dari ghair Ahmadi yang mengatakan bahwa kesedihan karena agama menyebabkan mereka hanya makan sangat sedikit.
Seorang teman non-Ahmadi telah menceritakan satu kejadian seorang ulama yang hanya namanya saja. Dia adalah seorang orator yang baik yang khusus melakukan pidato berapi-api menentang Jemaat kita. Teman Non-Ahmadi ini adalah pengikutnya dan sekali ulama ini pergi untuk menginap di tempatnya. Sarapan yang sangat mewah disajikan untuk tamu yang makan tiga ekor ayam panggang. Kemudian, mereka pergi ke sebuah pertemuan di mana ulama ini harus memberikan ceramah. Untuk memberi pengaruh, ia mulai dengan mengatakan bahwa karena kesedihan terhadap umat, hamba agama (dirinya) tidak bisa makan sebutir nasi pun sejak pagi!
Teman Non-Ahmadi mengatakan dia terkejut mendengar dia (ulama) mengatakan hal itu di hadapannya, yang dari rumahnya dia baru saja makan tiga ekor ayam utuh. Bagaimanapun, ulama itu benar, dia belum makan nasi, ia makan tiga ekor ayam. Ada orang-orang Muslim semacam ini, yang puasanya  -- yang merupakan ibadah -- bukan untuk mencari keridhaan Allah tetapi untuk memperlihatkan (riya) pada orang lain, padahal Allah telah menyatakan bahwa tujuan dari setiap ibadah hendaknya ketakwaan.
Jika seseorang ingin mendapat ganjaran karena kesalehan dan puasa, hal itu tidak mungkin tanpa ketakwaan dan hanya Tuhan yang memutuskan siapa bertakwa dan siapa yang tidak. Jika seorang mukmin mematuhi pola pikir ini dan berpuasa untuk meraih keridhaan Tuhan, penyucian jiwa akan terjadi dan orang seperti ini akan dimasukkan di antara orang-orang yang mengenainya  Hadhrat Muhammad Rasulullah s.a.w. bersabda, bahwa barangsiapa yang berpuasa selama bulan Ramadhan dalam keadaan iman sambil mengoreksi diri, dosa-dosanya yang telah lampau akan diampuni.[2]
Allah telah menyatakan bahwa puasa adalah untuk-Nya dan Dia Sendirilah ganjarannya.[3]
Masing-masing dari kita harus berusaha dan berpuasa dengan cara ini dan bukan hanya sebagai adat kebiasaan dengan hanya berlapar-lapar dan haus. Puasa kita harus menjadi perisai dan menyelamatkan kita dari segala kejahatan dan membuka pintu kepada setiap kebaikan. Malam-malam kita harus dihiasi dengan ibadah nafal kepada Allah. Memang, Hadhrat Rasulullah s.a.w. sangat menekankan pentingnya ibadah nafal selama bulan Ramadhan dan bersabda bahwa orang yang mengerjakan shalat nafal selama bulan Ramadhan dosa-dosanya diampuni.[4]
Salah satu aspek positif dari puasa yang sekarang diakui oleh sebagian ilmuwan adalah bahwa diet kontrol setahun sekali bermanfaat bagi kesehatan manusia. Jika tujuannya adalah untuk membuat Tuhan ridha, maka manfaat fisik juga didapat dan ada banyak manfaat lainnya. Ketika puasa didasarkan pada ketakwaan, itu menciptakan masyarakat yang indah, menciptakan semangat pengorbanan satu sama lain. Seseorang ditarik kepada kebutuhan saudaranya yang kurang beruntung, dan ini sangat penting karena ini adalah teladan beberkat Hadhrat Rasulullah s.a.w. bahwa selama Ramadhan sedekah dan amal beliau akan mendapatkan momentum  kencang seperti tiupan angin.[5]
Ini menjadi sumber untuk menghapus kegelisahan dari masyarakat dan menciptakan perasaan empati (peduli) kepada yang kurang mampu di antara mereka yang kaya, dan perasaan cinta dan rasa syukur dalam hati orang mukmin yang kurang mampu kepada saudara-saudara mereka yang kaya. Ketika puasa (dilakukan) demi meraih ketakwaan, itu menanamkan praktek menanggung kesulitan.
Makan lebih sedikit saat sahur dan buka puasa bukan untuk disiarkan kepada orang lain, tetapi dirancang untuk mengurangi asupan makan seseorang dan ditarik ke penyucian diri. Di dalamnya ada pelajaran bagi mereka yang mungkin berpikir bahwa kurang makan dapat merugikan kesehatan mereka, mereka harus mengontrol diet (berpantang makan) mereka.
Hadhrat Rasulullah s.a.w. memerintahkan bahwa dalam situasi di mana ada bahaya kekacauan atau pertengkaran meningkat, dia hendaknya hanya mengatakan, 'Aku sedang berpuasa'. Di dalamnya ada isyarat kepada jalan-jalan ketakwaan, bahwa mengendalikan emosinya juga penting. kita harus menghindari pertengkaran sehingga tujuan puasa terpenuhi. Kita harus menghindari menggunjing agar tujuan puasa terpenuhi, kita harus menghindari kebohongan dan ketidakjujuran agar tujuan puasa terpenuhi.
Praktek mengendalikan lidahnya selama satu bulan, yang penting untuk ketakwaan, menanamkan kebiasaan menghindari banyak dosa dan kesalahan dalam kehidupan masa mendatang dan seseorang mengembangkan kebiasaan konstan (tetap) menjalankan ketakwaan, dan kebiasaan tersebut memang tujuan puasa dan Ramadhan. Jika tidak, mematuhi semua yang diperintahkan Allah dalam bulan ini, tetapi melanggar serta terlibat dalam dosa selama sisa tahun ini maka tidak mencapai tujuan apapun.
Setiap orang perlu mengintrospeksi diri merenung dalam bulan ini. Kita perlu mancari ruh bulan Ramadhan. Kita perlu mencari jalan-jalan ketakwaan. Kita perlu memanfaatkan pengalaman meninggalkan hal-hal yang halal selama bulan Ramadhan untuk menimbulkan perubahan akhlak secara umum dalam diri. Kita perlu mempertahankan praktek memenuhi hak-hak umat manusia dan membantu saudara-saudara yang kurang mampu. Kita perlu mempertahankan suasana khas ibadah kepada Tuhan dan pengorbanan di bulan Ramadhan sehingga dapat terus maju ke arah orang-orang yang termasuk di antara orang bertakwa. Kita perlu mengusahakan yang terbaik untuk meraih kedekatan dengan Tuhan selama bulan ini. Ini adalah karunia Tuhan pada kita bahwa Dia membuka pintu surga dan menutup pintu neraka selama bulan ini.[6]
Kita harus berusaha  melalui ibadah kepada Tuhan, untuk meraih pensucian diri, dan melalui pemenuhan hak-hak umat manusia untuk memasuki pintu surga yang tetap terbuka selamanya.
Kita harus bertobat dan sibuk dalam istighfar sehingga kita termasuk di antara orang-orang yang pertobatan mereka membuat Tuhan senang lebih dari kesenangan seorang ibu yang menemukan anaknya yang hilang. Semoga kita memberikan Tuhan kebahagiaan lebih dari kebahagiaan seorang ibu dalam menemukan anaknya hilang! Namun, untuk itu kita harus menjalankan ketakwaan dan meningkatkan standar mengerjakan shalat wajib dan nafal (tambahan) kita, dan memberikan perhatian kepada memenuhi hak-hak umat manusia. Semoga Allah dengan rahmat-Nya memberi kita taufik untuk meraih hal ini selama bulan Ramadhan ini.


12 Juli 2013

[1] Malfuzat, Vol 9, hlm 122 -. 123.
[2] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, bab Shaum Ramadhan
[3] Shahih al-Bukhari, Kitab at-Tauhid, bab Dzikr Nabi wa riwayatihi
[4] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, bab Tathawwu’ Qiyam Ramadhan
[5] Shahih al-Bukhari, Kitab bad’il Wahyi
[6] Shahih al-Bukhari, Kitab ash-Shaum, bab hal yuqaalu Ramadhan au syahr Ramadhan