Thursday, August 30, 2012

Ciri Khas Orang Mumin

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُوَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ
وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ
وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ




artinya, ‘Sesungguhnya, orang-orang yang karena takut kepada Tuhan mereka, mereka gemetar untuk menjaga diri dari segala dosa. Dan orang-orang yang kepada Tanda-tanda dari Tuhan mereka, mereka pun beriman, Dan orang-orang yang kepada Tuhan mereka, mereka tidak mempersekutukan, Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan, sedang hati mereka penuh ketakutan bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka — Mereka itulah yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan mereka untuk itu berlomba-lomba.’ (Q.S. 23 / Al Muminun : 58 hingga 62)
جَزَاؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
‘Pahala mereka ada di sisi Tuhan mereka, Kebun-kebun Abadi, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka akan menetap di dalamnya untuk selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya, Itulah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya.’ (Q.S. 98 / Al Bayyinah : 9).

Pada Khutbah Jummah yang lalu, telah saya sampaikan mengenai hikmah Ramadhan, yakni telah dijelaskan di dalamnya, bahwa untuk memperoleh faedah sepenuhnya dari bulan Ramadhan, perubahan suci, yakni, selarasnya ucapan dengan perbuatan, sangatlah penting. Telah dijelaskan pula, bahwa hanya puasa [yang haqiqiI] seperti itulah yang akan memperoleh berbagai keberkatan bulam Ramadhan, yakni, yang dikerjakan dengan sikap Khashiyyat (takut dan takjub) terhadap Allah Taala, bergetar di dalam qalbu.
Setiap ketaqwaan akan menjadi taqwa yang haqiqi hanya apabila dikerjakan dengan sikap Khashiyyat kepada Allah Taala. Maka pada hari [Jummah] ini, materi [Khutbah] akan menerangkan dengan merujuk kepada pengertian Khashiyyat kepada Allah Taala. Kata Khashiyyat telah umum digunakan. Namun, jika hikmahnya dapat difahami, maka niscaya akan dapat meningkatkan sikap atau ciri khas [sebagai Mumin haqiqi].. Arti kata Khashiyyat secara loghat, umumnya difahami sebagai ‘takut’, dan itu adalah benar. Sebab, takut kepada Allah Taala akan membawa manusia kepada sifat [yang baik]. Akan tetapi, rasa takutnya kepada Allah tersebut tidaklah sama dengan jiwa yang ketakutan. Sebab, berbagai Lexicon [Kamus Bahasa Arab] menerangkan, bahwa kata Khashiyyat lebih menekankan kepada ketakjuban dibandingkan rasa takut. Khashiyyat inipun menekankan kepada ketakjuban yang timbul disebabkan keagungan suatu Wujud. Sedangkan takut lebih berkonotasi kepada kelemahan manusia yang merasa ketakutan.
Imam Raghib mengatakan: ‘Khashiyyat’ adalah sikap yang timbul setelah memperoleh ilmu mengenai sesuatu yang membuatnya takjub. Inilah mengapa sebabnya di dalam ayat Al Quran ini [dinyatakan]:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ
yakni, ‘…Sesungguhnya. yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah al-‘ulamaa’u, atau para ulama Allah…’ (Q,S. 35 / Al Fatir : 29). Yakni, Khashiyyat telah dikaitkan secara khas dengan ‘ulamaa’u, atau orang-orang yang berilmu. Sebagai tambahan, Imam Raghib berkata: ‘Mereka yang takjub kepada keagungan Allah Taala, adalah mereka yang Al Qur’an telah menyatakan, bahwa:
وَخَشِيَ الرَّحْمَٰنَ بِالْغَيْبِ
…dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dalam keadaan tidak tampak…’ (Q.S. 36 / Ya Sin : 12). Yakni, sikap takut [dan takjub] terhadap Allah Taala tersebut memerlukan ilmu dan pemahaman yang tepat mengenai Wujud-Nya. Khashiyyat adalah takut yang timbul dari keagungan sesuatu atau suatu Wujud; dan disebabkan mengakui keagungan-Nya itu, maka berimanlah ia, bahwa Allah Taala adalah sungguh Al Aziz, dan meliputi atas segala sesuatu. Seorang insan hanya dapat memperoleh faedah dari kekuasaan Allah Taala manakala ia telah memiliki iman sepenuhnya kepada Kemahakuasaan-Nya itu, dan juga sikap Khashiyyat di dalam qalbunya. Namun, ayat Al Quran yang menyatakan, bahwa mereka yang memiliki sikap Khashiyyat itulah ‘ulaama’ tidak berarti orang yang dianggap berilmu memiliki sikap Khashiyyat, dan mereka yang bukan ‘ulaama, kurang sikap Khashiyyat-nya.
Pada kenyataannya, ada ratusan atau bahkan ribuan ulama sekarang ini yang berbagai ucapannya bertentangan dengan perbuatannya, dan tidak memahami Al Qur’an. Dan bukan saja mereka itu tidak mau menerima [kebenaran] Imam Zaman, bahkan tidak mengendurkan sikap penentangan mereka. Sehingga, kesemua itu menyimpulkan orang untuk berpendapat, bahwa definisi [kaum] ulama di sini haruslah berbeda dengan ‘ulaama’u (atau orang-orang yang berilmu) sebagaimana yang dimaksudkan oleh ayat Al Quran tersebut. Yakni, pada kenyataannya tidak sama dengan ulama sebagaimana pada umumnya yang difahami orang. Mereka itu melalui pendidikan berbagai [sekolah] seminary agama, dan mereka yang difahami oleh orang-orang duniawi sebagai ulama, serta banyak ilmuwan besar yang berhasil mendapatkan ilmu yang tinggi di bidangnya masing-masing. Namun banyak di antara mereka itu yang bahkan tidak mempercayai keberadaan Tuhan, jangankan lagi memiliki sikap Khashiyyat.(atau takut dan takjub) kepada Allah. Oleh karena itu, kita harus jeli melihat ‘ulaama’u’ sebagaimana yang dirujuk di sini. Yakni, harus diklarifikasikan di sini, bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dan mereka yang memiliki ilmu agama Islam menyatakan diri bahwa mereka adalah ulama (atau berilmu). Padahal, [meluasnya] syiar Islam hanyalah berkat kehendak dan iradah Allah Swt saja. Tidak akan pernah terjadi melalui kaum ulama yang memiliki berbagai pamrih duniawi di dalam hatinya.
Sebagaimana telah saya sampaikan sebelumnya: ‘Pada perjalanan dinas saya belum lama ini ke USA, bertanyalah seorang pewawancara sebuah stasiun TV [CNN] mengenai prospek syiar Islam di bumi Amerika Serikat ? Saya menjawab: ‘Islam akan menyebar luas di mana-mana. Bukan hanya di USA, tetapi juga di seluruh dunia. Namun, hal ini tidak akan terjadi melalui apa yang dinamakan ‘care-taker [atau ulama] Islam’; melainkan melalui Jamaat Ahmadiyah, yakni dengan cara memikat qalbu manusia, dan menyampaikan pesan perdamaian, bukan extrimisme yang bertentangan dengan ajaran Al Qur’an; yang untuk itu, hanya Jamaat Ahmadiyah ini sajalah yang mempraktekkan ajaran Islam yang sebenarnya.
Hadhrat Imam Mahdi a.s. telah memberi kita pendalaman dan pemahaman hikmah ajaran Al Quran Karim, serta menjelaskan realita Khashiyyat kepada Allah, yakni, ‘tak ada satupun pihak yang dapat memonopoli Khashiyyat (atau takut dan takjub) kepada Allah; dan hal ini tidak dibatasi. Melainkan, Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw ‘datang untuk membawa setiap orang di dunia ini dekat kepada Allah Swt; dan menjadikan mereka sebagai jamaah Ilahi. Namun, ‘tak ada seorang pun dapat menjadi insan Ilahi sebelum mereka memiliki sikap Khashiyyat kepada Allah.
Sesungguhnya, banyak Penyamun Besar menjadi insan-insan yang memiliki Khashiyyat kepada Allah setelah mereka masuk ke dalam pangkuan Islam. Di dalam suatu Pernyataan beliau, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. meriwayatkan berbagai kisah para sufi, menuliskan tentang Fuzail bin Iyaz, [sebagai berikut]: ‘Pada suatu hari, ia mendengar seseorang menilawatkan ayatul Quran ini:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ
yang artinya, ‘Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang beriman, bahwa hati mereka tunduk untuk mengingat Allah…’ (Q.S. 57 / Al Hadid : 17). Demi mendengar tilawat ayat tersebut, Fuzail pun bergemetar sedemikian rupa, lalu dengan penuh penyesalan ia menyatakan: ‘Tidak akan menyamun lagi ! Kinilah saatnya untuk berderap di jalan Allah Taala ! Lalu dengan penuh haru, ia mulai hidup merendahkan diri. Menyesali perbuatannya di masa lalu. Kemudian menjadi sufi. Pada suatu hari, ketika ia sedang melintasi suatu padang gurun, berpapasan dengan satu kafilah yang sedang berkemah. Ia mendengar salah satu di antara mereka berkata: ‘Ini adalah jalur lintasan [komplotan] Fuzail biasa menyamun !’ Maka beliau pun menghampiri mereka seraya berkata: ‘Janganlah kalian takut. Karena kini aku telah bertaubat dan meninggalkan perbuatan menyamun. Aku memohon maaf kepada semua orang yang telah menjadi susah disebabkan perbuatanku !’
Begitulah, seorang Penyamun Besar seperti beliau akhirnya mendapat julukan rahimatullah alaih (semoga Allah senantiasa mengasihani diri mereka). Sementara itu ada orang-orang yang memakai jubbah panjang namun tenggelam dalam sikap ketakaburan, sementara masyarakatnya menganggap mereka sebagai orang yang shalih, padahal mereka itu tidak memiliki sikap Khashiyyat kepada Allah. Mereka yang bersikap takabbur kepada orang lain artinya tidak memiliki sikap Khashiyyat. Maka apakah Khashiyyat itu ? Dan siapakah yang memiliki Khashiyyat ?
Kita adalah suatu kaum yang sangat beruntung telah menerima kebenaran pendakwaan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Sehingga kita pun dapat memahami definisi Khashiyyat yang haqiqi. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ‘Orang yang ber-Khashiyyat kepada Allah adalah mereka yang telah memiliki ilmu yang sempurna mengenai keagungan Ilahi, Kekuasaan, Karunia Rahmat dan Keelokan-Nya. Berdasarkan konotasi yang dikandungnya, Khashiyyat dan Islam sesungguhnya adalah satu dan sama bagi satu sama lain; karena hakekat Khashiyyat yang sempurna terkait erat dengan hakekat Islam.’ Maka sangat penting bagi setiap orang Mumin untuk memperoleh derajat [Khashiyyat] ini, sebab hanya dengan inilah ia dapat memperoleh kemajuan iman dan ber-ta’aluq billah. Dengan menyebut Islam dan Khashiyyat satu dan sama bagi satu sama lain, maka setiap orang Muslim telah diposisikan sebagai salah seorang dari al-‘ulaama’u itu.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ‘Lebih atau kurangnya, sifat alami manusia adalah, mereka mendapatkan ilmu yang sempurna tentang Allah Swt, sebagaimana yang Dia nyatakan: ‘…..innama yakhsallaha min ibadihil ‘ulamaa’u…..’‘, yakni, ‘…Sesungguhnya. yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah al-‘ulamaa’u,…’. Maka mereka yang bersikap syaithani, yakni, bertentangan dengannya, adalah berada di luar kaidah tersebut.’
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pun bersabda: ‘Ilmu tidak hanya [ilmu] logika dan [ilmu] filsafat. Melainkan, ilmu yang haqiqi adalah ilmu yang diberikan oleh Allah Swt dan semata-mata atas karunia-Nya. Sebab, ilmu tersebut adalah menjadi sumber kesadaran akan keberadaan Allah dan menimbulkan sikap Khashiyyat, kepada-Nya sebagaimana dinyatakan di dalam Al Quran: ‘…..innama yakhsallaha min ibadihil ‘ulamaa’u…..’ Jadi, jika ilmu tersebut tidak meningkatkan Khashiyyat kepada Allah, maka ingatlah hal tersebut tidak akan menjadi sumber peningkatan ilmu tentang Tauhid Ilahi.’ Lalu, ada lagi mereka yang [ucapan] lidahnya tiada lain hanya melontarkan kata-kata penghinaan. Maka dapatkah ulama yang suka menggunakan kata-kata penghinaan terhadap Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan juga kepada Jama’at kita ketika mereka Khutbah Jummah di Pakistan maupun di [Inggris] sini, memiliki sikap Khashiyyat terhadap Allah ?
Ingatlah selalu, hanya mereka yang pandir yang mudah tergelincir. Yakni, manakala Syaithan berhasil menggelincirkan seseorang bukan dikarenakan ilmunya, melainkan kepandirannya. Sebab, jika benar ia berilmu [atau ‘alim], tentulah ia pun tak akan tergelincir. Al Qur’an tidak mencerca sesuatu ilmu, melainkan menegaskan, bahwa: ‘…..innama yakhsallaha min ibadihil ‘ulamaa’u…..’. yakni, ‘…Sesungguhnya. yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah al-‘ulamaa’u,…’ Maka kaum mullah yang berguru kepalang-ajar itulah yang disebut membahayakan agama.’
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pun bersabda: ‘Ulama Ilahi tidaklah menunjukkan mereka yang mahir mengolah ucapan dan logika saja, melainkan mereka yang senantiasa bersikap takut kepada Allah; dan lidahnya pun tidak mengutarakan hal-hal yang tak masuk di akal. Akan tetapi sayang, sekarang ini, bahkan tukang memandikan jenazah pun mulai menamakan dirinya ulama, lalu bersikap inklusif di dalamnya. Begitulah kata [ulama] tersebut telah kehilangan artinya yang sangat bermakna. Telah dibawa ‘ke arah yang bertentangan dengan kehendak dan tujuan Allah Swt. Padahal Al Quran Karim telah menegaskan, bahwa inilah kwalitas orang yang berilmu:, yakni, ‘…..innama yakhsallaha min ibadihil ‘ulamaa’u…..’. Yakni, hanya mereka yang sungguh-sungguh ‘ulaama’ itu saja-lah yang bersikap takut kepada Allah.
Maka kini menjadi sangat penting untuk dapat mengamati, bahwa mereka yang tidak memiliki sikap Khashiyyat dan Taqwa kepada Allah, sungguh tak patut untuk disebut dengan julukan [‘ulaama’] tersebut. Ilmu adalah sesuatu yang jelas dan pasti. Dan ilmu yang haqiqi adalah apa yang dapat ditemukan di dalam Al Quran Karim. Tidak di dalam filsafat Yunani ataupun Inggris kontemporer. Ilmu yang haqiqi hanya ada di dalam filsafat ajaran agama [Islam]. Jadi, keistimewaan dan titik puncak seorang mukmin adalah mencapai status ‘ulaama, dengan ilmu yang haqiqi, yang merupakan titik puncak ilmu yang tertinggi. Maka bagi mereka yang tidak dikaruniai ilmu yang haqiqi, yang mengarah kepada ilmu Ilahi dan hikmahnya tidak dibukakan, boleh saja menganggap dirinya ulama, tetapi kenyataannya mereka itu sungguh telah dimahrumkan dari warisan dan kwalitas ilmu [yang haqiqi] tersebut. Mereka tak memiliki nur yang dapat ditemukan di dalam ilmu yang haqiqi. Pada kenyataannya mereka itu telah sesat dan merugi. Mereka mengisi Akhirat mereka dengan kabut asap dan kegelapan. Sedangkan mereka yang telah dikaruniai ilmu yang haqiqi dan hikmahnya yang menghasilkan sikap Khashiyyat adalah sebagaimana yang dipermisalkan sebagai para nabi Bani Israil di dalam Hadith.’
[Namun], sebuah Hadith lain meriwayatkan: ‘Akan tiba saatnya ketika kaum ulama Muslimin akan menjadi makhluk yang sejahat-jahatnya di kolong langit. Segala macam keburukan akan ‘datang dari mereka. Tetapi akan kembali lagi kepada diri mereka sendiri. Dengan demikian, akan terbukti bagi setiap orang, bahwa [kaum] ulama tersebut tidak memiliki sikap Khashiyyat [atau takut dan takjub] kepada Allah.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ‘Taqwa dan takut kepada Allah timbul karena adanya ilmu sebagaimana dinyatakan oleh Allah Swt: ‘…..innama yakhsallaha min ibadihil ‘ulamaa’u…..’, yakni, hanya mereka yang takut kepada Allah Swt yang berilmu [atau alim].’ Hal ini jelas menunjukkan, bahwa ilmu yang haqiqi menimbulkan sikap Khashiyyat; dan Allah Swt telah mengaitkan Taqwa dengan adanya ilmu. Yakni, orang ‘alim yang sesungguhnya tentulah akan memiliki sikap Khashiyyat kepada Allah.
Adapun yang dimaksud dengan ilmu, yang aku maksudkan adalah ilmu Al Qur’an. Bukan ilmu filsafat, sains, ataupun berbagai gelar kontemporer. Sebab, untuk dapat mencapai derajat Taqwa [bukan itu], Taqwa tidak bersyarat [kepada hal itu]. Karena si pendosa dan biadab pun dapat mempelajarinya, demikian pun orang yang beragama. Akan tetapi ilmu Al Qur’an tidak diberikan kepada sembarang orang yang tidak muttaqi dan tidak beragama. Jadi, yang dimaksud dengan ilmu di sini, adalah ilmu Al Qur’an yang menimbulkan sikap Taqwa dan Khashiyyat kepada Allah.’
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. lagi bersabda: ‘Ummat hendaknya jangan sampai tertipu dengan istilah ‘ulama’. Ingatlah, ‘ulaama’u adalah mereka yang takut kepada Allah Swt, yakni, ‘…..innama yakhsallaha min ibadihil ‘ulamaa’u…..’ Jadi, tak diragukan lagi, dari antara para abdi-Nya yang bersikap takut kepada Allah, adalah mereka yang memiliki ilmu [haqiqi] tersebut. Yakni, pengkhidmatan dan Khashiyyat mereka sedemikian tinggi, sehingga mereka pun langsung memperoleh ilmu dan hikmahnya dari Allah Swt, serta mendapatkan faedahnya. Status dan derajat mulia ini hanya dapat diperoleh melalui keitaatan dan kecintaan yang sempurna kepada Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw sedemikian rupa, sehingga jati dirinya pun larut sepenuhnya kepada rona akhlak beliau Saw.’ Inilah realita sesungguhnya insan yang alim dan memiliki sikap Khashiyyat kepada Allah Taala.
Berbagai ikhtisar [tulisan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.] ini pun menarik perhatian kita untuk menanamkan sikap Khashiyyat , sehingga dapat menjadi seorang mumin yang haqiqi. Hal ini tidak bersifat exclusive hanya untuk suatu firqah ataupun suatu Jamaah saja, melainkan amar atau perintah untuk setiap orang Muslim. Maka selama di bulan Ramadhan ini faedah sepenuhnya hendaknya diperoleh berkat pintu-pintu qurb Ilahi yang telah dibukakan, dan nuansa kebangunan rohani telah ditingkatkan melalui berbagai Dars yang diselenggarakan. Maka Al Qur’an hendaknya dibaca dengan pemahaman untuk mencari jalan ilmu Ilahi yang mengarah kepada Khashiyyat kepada Allah.
Berbagai ayat [Quran] yang telah ditilawatkan di awal Khutbah membicarakan mengenai kaum Mu’minin haqiqi yang takut kepada Tuhan mereka; yang beriman kepada Tanda-tanda Ilahi. Adapun Tanda-tanda Ilahi ini merujuk kepada semua perintah-Nya. Semua ayat Qurani berikutnya yang sangat penting. Iman yang sempurna dicirikan dari praktek pelaksanaannya; yakni yang dapat menjadi sumber peningkatan Khashiyyat kepada Allah Taala. Mereka yang memiliki sikap Khashiyyat tidak akan berbuat syirik. Namun, adakalanya syirik kahfi ini timbul juga, Inilah mengapa sebabnya kelurusan, siddiqiyah sangat diperlukan. Yakni, jagalah ucapan senantiasa sesuai dengan perbuatannya. Teguhlah setiap saat dalam kejujuran.
Kemudian ciri khas ke-empat yang disebutkan di dalam ayat Al Quran tersebut adalah: Mereka yang mengkhidmati agama dengan pengorbanan waktu dan harta bendanya, namun qalbu mereka diliputi rasa` takut: Apakah kiranya [pengorbananku] ini diterima ataukah tidak. Atau, jangan-jangan menjadi [aku] tergelincir pada satu titik tertentu. Sebuah Hadith meriwayatkan: ‘Hadhrat Siti ‘Aisyah r.ha suatu kali bertanya kepada Hadhrat Rasulullah Saw, apakah ayat: yakni, ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan, sedang hati mereka penuh ketakutan bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.’; artinya insan dapat melakukan [pengorbanan] apa yang disukainya, tapi takutlah kepada Allah. Hadhrat Rasulullah Saw menjawab: ‘Tidak. Melainkan, praktekkanlah ketaqwaan, dan bersikap takutlah kepada Allah.
Allah Taala itu Al Qayyum, tak bergantung kepada segala sesuatu. Dia berkenan menerima apa yang Dia kehendaki; dan menolak apa yang Dia tak kehendaki. Senantiasalah takut dan takjub kepada-Nya. Hadhrat Ummi Salmah r.ha meriwayatkan doa Hadhrat Rasulullah Saw ini: ‘[Ya Mukallibul qulubi tsabbit qalbi ala dinnika], yakni, ‘Wahai Engkau Pengubah qalbu, teguhkanlah qalbuku atas agama-Mu.’
Hadhrat Ummi Salmah r.ha bertanya: ‘Ya Rasulullah, mengapa doa ini perlu secara dawam dipanjatkan ? Hadhrat Rasulullah Saw menjawab: ‘Wahai Ummi Salmah, qalbu setiap insan berada di antara dua jari Allah. Dia meneguhkan mereka yang dikehendaki, dan membalikkan mereka yang Dia kehendaki.’ Maka jika begitulah doa Hadhrat Rasulullah Saw, yang adalah contoh berberkat untuk mencapai Taqwa dan Khashiyyat, apalah lagi bagi kita untuk memperhatikan hal ini. Di antara berbagai ihsan Hadhrat Rasulullah Saw yang paling afdhol bagi kita, adalah mengajari kiat doa-doa, antara lain, yang semua kita hendaknya banyak membacanya, ialah: [Allahumma inni a’udzubika min qalbin laa yakhsya’u, wa do’ain laa yasma’u, wa min nafsin laa tasybi’u, wa min ilmin laa yanfa’u. A’udzubika min kha’ulail arba’], yakni, ‘Wahai Allah, aku berlindung kepada Engkau dari hati yang tidak mau merendah; dari doa-doa yang tak maqbul; dari jiwa [atau nafs] yang tak pernah terpuaskan; dan dari ilmu yang tidak mendatangkan faedah. Aku berlindung kepada Engkau dari ke-empat hal tersebut.’
Adapun doa Hadhrat Rasulullah Saw yang sempat menyentuh arasy kerendahan hati dan Khashiyyat kepada Allah, ialah doa yang beliau panjatkan pada Hajj-tul Wida, yakni: ‘‘Wahai Allah, Engkau mendengar apa yang aku ‘katakan. Dan melihat kondisiku. Engkau Maha Mengetahui segala hal yang tersembunyi maupun berbagai perkara-ku yang tampak. ‘Tak ada sedikitpun tentang diriku yang tersembunyi dari [pandangan] Engkau. Aku ini fakir dan miskin yang senantiasa memerlukan pertolongan dan perlindungan Engkau; dari ketakutan maupun kekecutan. Aku menghadap kepada Engkau dengan mengakui segala dosaku.
Oleh karena itu, aku pun memohon kepada Engkau layaknya orang yang rendah dan tawadhu; dan aku mengiba kepada Engkau sebagaimana orang yang dhoif dan berdosa. Aku memanjatkan doa kepada Engkau seperti si buta yang ketakutan. Leherku tunduk di hadapan Engkau. Air mataku mengalir atas Kehadiran Engkau. Tubuhku senantiasa bersujud di hadapan Engkau, hingga hidungku penuh dengan debu. ‘Wahai Allah, janganlah sia-siakan diriku dengan doa-doaku ini. Perlakukanlah diriku dengan kasih dan sayang. Wahai Engkau yang mendengar rintihan si pemohon, dan Maha Pemberi Karunia, terimalah doa-doaku ini.’ Begitulah sikap seorang Nabi Besar, yang telah memberi kita contoh teladan besar sikap Khashiyyat kepada Allah. Yakni, setiap doa yang beliau praktekkan, merupakan citra Khashiyyat, meskipun beliau itu adalah insan yang paling dekat dengan Allah Taala. Dan mereka yang berhasil mengaitkan dirinya dengan beliau Saw, mendapat sebutan ‘raziAllah’ (semoga Allah senantiasa meridhoi mereka).
Begitulah contoh teladan berberkat beliau dengan Khashiyyat–nya, yang jika kita berhasil mempraktekkannya, niscaya kita pun akan memperoleh karunia Allah itu pula. Semoga Allah Taala memberi taufik kepada kita semua untuk memahami ruh dan sari pati Khashiyyat ini selama bulan Ramadhan. Dan semoga pula Ramadhan ini berhasil meng-inqillab haqiqi diri sendiri. Amin !
oo0O0oo MMA/LA/08082012
Catatan:
Terjemahan ayat Al Quran Karim di bawah ini adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Huzur Aqdas dan team penterjemah Khutbah dari Urdu ke English (agak sedikit berbeda dengan Edisi Bahasa Indonesia kita): ‘Sesungguhnya, orang-orang yang karena takut kepada Tuhan mereka, mereka gemetar untuk menjaga diri dari segala dosa.