Thursday, August 2, 2012

Ramadhan, Ibadah dan Amalan Shalihan


أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُوَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ(v)
‘Dengan karunia Allah Taala, sekarang ini kita tengah menjalani [ibadah] bulan suci Ramadhan. Maka sungguh beruntunglah mereka yang akan memperoleh faedah dari bulan yang diberkati ini. Namun, berbagai keberkatan bulan Ramadhan dapat diperoleh dengan cara memahami hakekat berpuasa dan memperoleh manfaat sepenuhnya [dari ibadah ini] . Sama sekali tak diragukan, bahwa Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw bersabda: ‘Di bulan [Ramadhan] ini, pintu-pintu Surga dibukakan; sedangkan pintu-pintu Neraka ditutup; dan Syaithan dibelenggu.
Akan tetapi, apakah pintu-pintu Surga tersebut terbuka untuk setiap insan, dan Syaithan terbelenggu bagi setiap manusia ? Serta pintu-pintu Neraka tertutup bagi setiap insan orang ? Sesungguhnya, hal ini tidaklah untuk setiap manusia, melainkan untuk orang mukmin sebagaimana ditujukannya [perintah berpuasa] ini. Namun, apakah mereka itu pun dapat memperoleh faedahnya tersebut hanya melalui kulit dan iman yang hanya tampak di luarnya saja ? Bila memang seperti itu, mengapa amalan shalihan berkali-kali diperintahkan ? Dan pada kenyataannya, dikatakan kepada kita, bahwa penganut agama lain yang berbuat baik pun, akan memperoleh ganjaran pahalanya.
Jadi, seorang insan belum tentu menjadi pewaris ‘surga [Al-Jannah] hanya disebabkan ia rajin berpuasa dan menjalani bulan Ramadhan. Maka sangat penting untuk memenuhi tuntutan dan persyaratan hal [berpuasa] ini, serta memusatkan perhatian kepada amalan shalihan. Jika tidak, banyak orang di dunia ini yang hanya makan di pagi hari lalu tak makan apa-apa lagi hingga petang. Yakni, mereka yang disebut fakir (ascetics), yang tak makan minum selama beberapa hari, berbaring beralaskan seadanya, tetapi tak mempedulikan ibadah.
Ada lagi mereka yang tak makan disebabkan sesuatu pembatasan; ada pula yang disebabkan oleh perintah dokter untuk diet berpantang makan sesuatu, sementara yang lainnya, khususnya kaum wanita, tak mau makan disebabkan semangat mereka untuk merampingkan badan.

Baru beberapa hari yang lalu ada seorang ibu yang sengaja datang bermulaqat disebabkan anak perempuannya yang masih remaja tak mau makan karena terobsesi untuk menurunkan berat badannya Ia hanya mau makan sekali sehari, itupun hanya sedikit, hingga kehilangan berat badan 15 pounds (kl. 6 kg) dalam sebulan. Di lain pihak ada pula mereka yang berpuasa, tetapi tidur sepanjang hari agar dapat bertahan [hingga petang].
Padahal, maksud Hadhrat Rasulullah Saw sangat menganjurkan [ummat] untuk berpuasa, dan mengatakan, bahwa: Syaithan dibelenggu di bulan Ramadhan; dan pintu-pintu Surga dibukakan, sementara pintu-pintu Neraka ditutup, artinya hal ini menekankan, bahwa [ummat] haruslah banyak mengerjakan amal shalih. Dan sudah barang tentu, juga dengan [mengikuti Sunnah] makan Sahur di pagi dini hari lalu berbuka [Iftar di waktu Maghrib]. Maka mereka yang berpuasa tanpa bangun di waktu dini hari, lalu makan Sahur, tak boleh dianggap memperoleh faedah berpuasa, dan Syaithan telah dibelenggu baginya. Sebab, hanya mereka yang banyak meengerjakan amalan shalihan sajalah yang akan memperoleh manfaat dari puasanya. Mereka menjaga puasanya dengan penuh rasa takut kepada Allah dan menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala apa yang dirdhoi Allah Swt.
Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Puasa yang diterima adalah yang disertai dengan keimanan yang teguh serta introspeksi diri.' Puasa yang dikerjakan sambil banyak beramal-shalih itulah yang artinya dapat menutup perbuatan buruk mereka. Orang mukmin haqiqi senantiasa berusaha untuk meningkatkan tahapan ibadah mereka kepada Allah Taala, yakni, meningkatkan ibadah Salat-salat Nafal mereka sebagai tambahan atas Salat wajib lima waktu; meningkatkan pemenuhan kewajiban haququl-ibad; pengorbanan harta benda dan terhadap fakir-miskin. Hanya dengan melalui cara itulah seorang insan dapat memperoleh berbagai keberkatan dari puasanya.
Hadhrat Rasulullah Saw biasa berinfaq dan bersadaqah sepanjang tahun dalam jumlah yang ‘tak ada bandingannya. Tetapi di bulan Ramadhan bahkan lebih banyak lagi hingga bagaikan angin kencang. Lalu beliau Saw pun meningkatkan segala peribadatan kepada Allah Swt hingga ke tahapan yang setinggi-tingginya.
Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Jangan menganggap tanpa melakukan usaha keras akan mendapatkan sesuatu kebaikan bulan Ramadhan; melainkan, senantiasalah mencari berbagai faedahnya yang haqiqi.' Allah Taala tak memerlukan perut yang kosong menahan lapar dan dahaga, yakni mereka yang tetap berkata atau bersikap dusta. Sesungguhnya, puasa mereka itu tak mendatangkan manfaat.’ Yakni, manakala beliau Saw memohon perhatian kita, bahwa puasanya orang yang berdusta tak diterima, beliau mengingatkan pula perbuatan dosa yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya. Manakala beliau menasehati agar dusta, dan besiteguhlah dalam kejujuran, maka berbagai kelemahan akhlak dan rohaniah ummat pun dilenyapkan.
Sesungguhnya, kedustaan setara dengan perbuatan syirik, sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur’an Karim:
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
yang artinya. ‘…..maka jauhilah kenajisan berhala, dan jauhilah ucapan-ucapan dusta,’ (Q.S. 22 / Al Hajj : 31). Menjelaskan ayat di atas, Hadhrat Imam Mahdi a.s. bersabda: ‘Kenajisan berhala dan kenajisan dusta, haruslah dihindarkan. Kedustaan adalah berhala. Barangsiapa yang mengandalkannya berarti ia meninggalkan Allah Taala.
Di satu pihak – orang yang mengatakan bahwa ia berpuasa itu – taat kepada perintah Allah sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
yakni, ‘Hai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atasmu berpuasa…..,’ (Q.S. 2 / Al Baqarah : 184); ‘akan tetapi di lain pihak disebabkan kebohongannya, ia menempatkan kedustaan sama pentingnya dengan Wujud yang memerintahnya untuk berpuasa. Maka pernyataan bersyarat: ‘[Ibadah] Puasa adalah bagi-Ku. Aku sendirilah yang akan menjadi ganjaran pahalanya.’, tak akan dapat terpenuhi. Bukan hal yang mustahil orang beramal sesuatu, dengan lillahi Taala, untuk menarik kecintaan-Nya. Dan Allah Taala yang menjadi ganjarannya. Akan tetapi kedustaan dicampurkan di dalam amalnya itu. Hadhrat Rasulullah Saw menasehati agar menutup segala corak kedustaan ucapan maupun perbuatan. Misalnya, mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak lakukan. Beliau pun menasehati: ‘Bila ada yang memancing untuk bertengkar, jawablah: ‘Aku sedang berpuasa’. Maka, bila reaksinya bertentangan [dengan nasehat beliau Saw] tersebut, artinya ia dusta dalam prakteknya. Orang yang tidak melaksanakan tugas kewajibannya dengan semestinya, juga dusta dalam praktek pelaksanaannya.
Suami dan istri yang terus menerus cek-cok, ‘tak ada perubahan selama di bulan,Ramadhan, ‘tak ada pikiran untuk saling memperbaiki diri, serta tak mempedulikan sikap silih-asih, silih-asuh, sehingga menjadi sumber bagi kecintaan Allah Taala, maka mereka itu boleh jadi mengaku berpuasa lillahi Taala, tetapi tidak dalam prakteknya. Dan kondisi yang terburuk adalah mendahulukan urusan perniagaan atau bisnis ketimbang ibadah, meskipun tahu bahwa ini adalah bulan Ramadhan.
Bahkan di antara mereka itu sudah keterlaluan, yakni, bergelimang dalam kedustaan demi mendapatkan keuntungan, seolah-olah kedustaan mereka itu lebih bermakna dibandingkan Allah Taala. Maka berpuasa bagi mereka itu tak lebih dari sekedar berlapar-lapar belaka.
Sesungguhnya, Ramadhan dapat menjadi sumber inqillab yang haqiqi, namun hal itu hanya dapat terjadi bagi mereka yang mau mengadakan perubahan suci di dalam dirinya. Yakni, mereka yang senantiasa berusaha untuk menyelaraskan ucapan dengan perbuatannya dengan kehendak dan keridhaan Allah Taala. Mereka berikhtiar untuk menegakkan kerajaan Allah [di dalam dirinya] sehingga mereka pun berhasil memperoleh maghfirah selama bulan Ramadhan. Mereka hancur-leburkan segala kepalsuan diri (nafs), yang hanya akan berhasil apabila inqillab haqiqi sudah terjadi.
Jika selama bulan Ramadhan segala peribadatan kepada Allah Taala meningkat, dan tilawat atau talimul Qur’an dilaksanakan dengan seksama serta dianggap penting, maka penting pula dampak positif dari segala peribadatan dan talim-nya tersebut akan tampak jelas pada kondisi akhlak orangnya.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. suatu kali bersabda: ‘Adakalanya aku tak perlu menasehati agar jangan menumpahkan darah terkecuali bagi orang yang biadab, yang membunuh orang yang tak berdosa. Aku menasehati agar kebenaran jangan sampai dibunuh dengan cara memaksakan ketidak-adilan. Bersiteguhlah dalam kebenaran. Bersaksilah dengan benar, sebagaimana Allah Taala telah menyatakan: ‘…..maka jauhilah kenajisan berhala, dan jauhilah ucapan-ucapan dusta,’ (Q.S. 22 / Al Hajj : 31).
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menerangkan: ‘Kenajisan berbagai berhala dan kenajisan kedustaan haruslah dihindari. Karena kedustaan tak kurang berbahayanya sebagaimana menyembah berhala. Apapun yang membelokkan insan dari jalan lurus yang lugas, adalah berhala yang menghalanginya di jalan tersebut.
Kerusakan yang diakibatkan oleh [ucapan] lidah adalah sangat berbahaya. Inilah mengapa sebabnya orang mukmin sangat berhati-hati dalam menjaga lidahnya.’ Jadi, seandainya setiap diri anda sekalian mawas diri, maka mereka pun dapat menyadari sesiapakah yang sebenarnya mengikuti nasehat penting Hadhrat Masih Mau’ud a.s. ini, khususnya lagi bagi para anggota Jama’at beliau. Yakni, mentaati perkataan [nasehat] beliau a.s. ini niscaya dapat mengatasi berbagai masalah rumah tangga. Pertengkaran antar ‘sesama saudara yang dari waktu ke waktu selalu timbul, niscaya akan hilang. Setidaknya, berbagai masalah yang timbul dari urusan bersama di dalam jamaah kaum Ahmadi dapat dihilangkan. Sebab, berbagai masalah tersebut pada dasarnya timbul disebabkan tidak menjalankan siddiqiah, melainkan mendahulukan sikap ego diri sendiri.
Inilah mengapa sebabnya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sangat mementingkan bicara benar. Untuk berlaku siddiq haqiqi seperti itu memerlukan derajat kerendahan hati yang sangat. Allah Taala sangat menyukai sikap rendah hati.
Jadi, hal terpenting dari berbagai ikhtisar nasehat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang telah dikutip tadi, ialah: Apapun yang membelokkan insan dari jalan lurusnya yang lugas, adalah berhala yang menghalanginya di jalannya itu. Maka jika kita ingin memperoleh faedah bulan Ramadhan sepenuhnya, haruslah melugaskan jalan siddiqiah tersebut. Kita dapat mencapai pintu-pintu Surga [yang telah dibukakan] itu hanya dengan mencamkan dan mempraktekkan nasehat penting Hadhrat Rasulullah Saw, yakni: ‘Meningkatkan standar sesuainya ucapan dengan perbuatan. Jika tidak, Allah Taala tidak tertarik kepada orang yang hanya berlapar-lapar belaka
Di dalam sifat Maha Pemurah-Nya yang tak berbatas, Allah Taala menjanjikan berbagai karunia dan rahmat-Nya, yang di bulan Dia hilangkan berbagai macam penghalang untuk mendapatkan karunia dan rahmat-Nya itu. Yakni, Allah mengundang manusia untuk memasuki ‘surga Keridhaan-Nya yang tak akan dapat dicapai jika ‘tak ada keselarasan antara ucapan yang kurus dengan amalannya. Jika aspek ini dilaksanakan, maka sebagaimana alat system navigasi di dalam suatu wahana transportasi (GPS) yang dapat menuntun orang ke tujuannya yang tepat; begitu pula dengan kiat [rohani] ini, ummat niscaya akan tiba di tempat tujuannya yang tepat. Jika tidak, tentulah meskipun sudah berada di bulan Ramadhan, ummat tetap tersesat.
Bahkan, jika alat system navigasi (GPS) kadangkala suka ‘error’, yakni, tak menampilkan jalur jalan baru. Atau, kalau kita memilih rute alternative, akhirnya malah labih jauh. Atau, ketika kita memilih jarak tersingkat (the shortest distance), yang didapatkan malah harus menyusuri jalan-jalan sempit, lalu terjebak dalam kemacetan. Akan tetapi jalan yang menuju Allah Taala ini, lurus dan langsung [shirat al-mustaqim] ke pintu-pintu ‘surga Al Jannah. Maka pada kesempatan di bulan Ramadhan ini setiap diri kita hendaknya berusaha untuk meluruskan jalannya masing-masing. Tingkatkanlah standar siddiqiah ucapan dengan perbuatan, dalam usaha untuk memperoleh surga keridhaan Allah Swt.
Semoga Allah Taala memberi taufiq kepada kita sekalian untuk mengamalkannya demikian.