Tuesday, September 4, 2012

Fitrat Mulia Para Sahabah Hadhrat Imam Mahdi a.s.

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُوَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
‘Pada hari ini saya akan menyampaikan kisah baiatnya para sahabah Hadhrat Imam Mahdi a.s.. Hal ini terutama disebabkan kaum Ahmadi di [jazirah] al-Arabia khususnya telah memohon kepada saya untuk dapat menyampaikan kembali berbagai pristiwa yang terjadi di dalam riwayat kehidupan para sahabah [Hadhrat Imam Mahdi a.s.].
Sementara tiap-tiap kisah peristiwa kehidupan beliau-beliau tersebut menimbulkan kesadaran kita tentang pengkhidmatan, keikhlasan, semangat pengorbanan dan keuletan mereka segera setelah Bai’at, hal ini pun merupakan informasi penting mengenai kehidupan berberkat Hadhrat Imam Mahdi a.s.. Yakni, terlepas dari topik yang dibahas ataupun peristiwa khas yang dikemukakan, sikap istimewa Hadhrat Masih Mau’ud a.s. muncul bersinar karenanya, dan kita pun memahami nuansa rohaniah dari berbagai majlis [yang terselenggara] bersama beliau a.s.. Maka tak pelak lagi, para sahabah tersebut adalah sebagai contoh yang baik bagi kita di akhir zaman ini, dan langsung menjadi para pewaris sejati dari penuturan ayat [Al Quran] ini:
وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
yakni, ‘Dan begitu pula Dia akan membangkitkannya pada kaum lain di antara mereka yang belum bertemu dengan mereka…..’ (Q.S. 62 / Al Jum’ah : 4). Berbagai peristiwa kehidupan para sahabah adalah penuh dengan hikmah kebaikan dan dapat menjadi teladan bagi seluruh keluarga keturunan mereka maupun sebagai sumber peningkatan rohani bagi setiap Ahmadi mubayin baru.

(1) Hadhrat Nizamud Din sahib r.a: [Sebetulnya] peristiwa di dalam kehidupan beliau ini sudah pernah disampaikan tetapi dengan nada yang sedikit berbeda. Beliau menulis sebagai berikut ‘Aku ini anggota jamaah Ahli Hadith yang menganggap diri mereka paling bertakwa. Suatu hari aku datang’ ke Lahore untuk menghadiri suatu jalsah salanah. Di sebelah tenda tempat kami berjalsah itu, ada seorang maulwi yang sedang membagi-bagikan brosur sambil tangannya yang lain memegangi Kitab Suci Al Qur’an dan terus menerus nyerocos, bahwa katanya: ‘Mirza’ [naudzubillah !] tewas terkena penyakit lepra karena merendahkan derajat Rasulullah dengan pendakwaannya sebagai Hadhrat Isa, dlsb, dlsb.’
Tak terlintas sedikitpun di dalam pikiranku ada orang yang sambil memegangi Al Qur’an tetapi ia mengocehkan hal-hal yang dusta. Pada waktu itu aku bersama dengan dua orang temanku. Maka kami ambil satu brosur sang maulwi itu yang isinya persis seperti apa yang dikatakannya. Terpengaruh oleh brosur tersebut aku pun memutuskan untuk berangkat ke Qadian untuk melihat Mirza sahib dengan mata kepala sendiri. Lalu sekembalinya nanti, aku akan buktikan kedustaan pihak teman-teman Ahmadi-ku.
Kedua temanku ini pun – setelah kubujuk-rayu – mau menyertai rencana perjalananku. Kami pun segera berangkat ke kota Batala. Dari sana, kami tiba di Qadian saat ba’da Salat Asar. Kami menuju ‘guest house’. Ketika waktu Salat Maghrib semakin mendekat, kami bertanya-tanya: Di manakah gerangan Mirza sahib biasa mengimami Salat ? Maka seseorang mukimin membawa kami ke masjid Mubarak, yang pada waktu itu ukurannya masih sangat kecil. Maka aku pun duduk di saf awal, sebelah kanan dari arah Hadhrat Masih Mau’ud a.s. diharapkan biasa duduk di situ.
Dikarenakan kecilnya ukuran masjid, hanya dapat menampung 6 (enam) orang jamaah berdiri di tiap-tiap saf-nya, dengan jumlah keseluruhan jamaah Salat tak lebih dari 6 (enam) saf [atau 36 orang saja]. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. tiba segera setelah Adhan dikumandangkan, lalu berdiri [di saf awal] tepat di sebelahku. Sedangkan Maulwi Abdul Karim sahib r.a. berdiri di muka, lalu memberikan sesuatu ceramah singkat. Maka aku pun memandangi penampakkan jasmaniah Hadhrat Imam Mahdi a.s. dari mulai kepala hingga ke ujung kaki, yang seketika itu juga berpengaruh sedemikian rupa ke dalam qalbuku.
Tiap helai rambut dan janggut beliau tampak seperti untaian benang-benang emas di mataku. Dan pandangan mata beliau yang setengah meredup menunjukkan contoh sempurna seorang insan yang sangat menjaga kesuciannya. Maka aku pun memperoleh kesan yang sangat mendalam atas kesaksian pandangan mataku, yang ketika Salat dimulai, aku pun mulai meragukan sikap maulwi-ku yang memfatwakan seorang insan kamil seperti ini sebagai pendusta. Kemudian selagi Salat semakin berjalan, timbul lagi keraguan atas maulwi-ku dengan janggutnya yang panjang dan mengoceh sambil memegangi Kitab Al Qur’an itu, bahwa: ‘Mirza’ tewas terkena penyakit lepra.’
Namun, timbul pula pra-sangka di dalam diriku: Mana mungkin ada orang yang berani berkata dusta sambil memegangi Kitab Al Qur’an Karim ?! Jangan-jangan ia benar; dan orang yang berada di sebelahku ini boleh jadi bukan Mirza sahib yang sebenarnya; melainkan seseorang yang lain yang sengaja dipasang untuk mengelabui para pendatang baru. Namun, ketika aku membayangkan kembali keaqdasan dan pancaran nur cahaya di wajah beliau, aku pun bimbang kembali: ‘Justru maulwi-ku itu yang berdusta !’
Ba’da Salat, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memanggil Hadhrat Khalifatul Masih Awwal (I) r.a. untuk tampil ke muka, duduk bersama beliau di saf awal. Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberikan Dars mengenai nubuatan wabah penyakit pes yang beliau telah peringatkan kepada seluruh masyarakat luas, bahwa beliau melihat [kasyaf] para malaikat sedang sibuk menanam pohon-pohon berwarna hitam yang adalah pohon-pohon wabah penyakit. Namun masyarakat memperolok-olokannya dengan mengatakan, bahwa wabah penyakit hanya meluas di daerah pesisir pantai. Akan tetapi kini kenyataannya wabah penyakit pes ini telah meluas hingga ke seluruh daerah [Provinsi] Punjab.’ Maka aku pun semakin terheran-heran dengan perbedaan nyata antara fatwa kaum maulwi dengan apa yang aku saksikan sendiri.
Keesokan paginya kami bertiga bermaksud akan mengajukan pertanyaan kepada Hadhrat Khalifatul Masih Awwal r.a. Dan pada majlis irfan tersebut ada seseorang lain yang terlebih dahulu bertanya atau mengajukan keberatan, yakni: ‘Para nabi terdahulu biasa kekurangan makan dan harus bertahan dalam kelaparan. Tetapi mengapa Mirza sahib ini kami lihat nikmat makan nasi [tumpeng] Plao lengkap dengan Zarda sebagai desert-nya ?’
Hadhrat Khalifatul Masih Awwal r.a. menjawab: ‘Begitulah sebagaimana yang diperintahkan di dalam Al Qur’an Karim, makanlah yang halalan wa thayyiban !’
Kemudian ketika giliran kami bertanya, aku memperlihatkan brosur dari sang maulwi yang mengatakan bahwa Mirza sahib tewas terserang penyakit lepra. Apakah orang mulia yang telah kami saksikan kemarin itu adalah Mirza sahib yang sebenarnya ? Hadhrat Khalifatul Masih Awwal r.a. menjawab: ‘Begitulah kenyataannya, tuan-tuan telah menyaksikan keadaan Mirza sahib yang sesungguhnya. Kini terserah kepada tuan-tuan untuk beriman bagi mereka yang mau beriman.’ Pelupuk mataku pun segera dipenuhi tetesan air mata, dan memutuskan untuk tidak menunda-nunda lagi untuk segera Bai’at.
Pada waktu Zuhr aku memohon Hadhrat Masih Mau’ud a.s. untuk membaiatku. Tetapi beliau mengatakan: ‘Tunggulah barang sebentar, jangan-jangan maulwi tersebut dapat menggelincirkanmu kembali.’ Aku pun terisak menangis sambil menegaskan: ‘Kaum maulwi tak akan dapat memperdayaiku lagi !’ Maka keesokan harinya aku pun Bai’at.’
(2) Hadhrat Abdul Aziz sahib r.a. meriwayatkan: ‘Aku baru mendengar pendakwaan beliau sebagai Hadhrat Imam Mahdi pada tahun 1891 melalui beberapa orang teman Ahmadi-ku. Dikarenakan aku tak bersyak-wasangka maupun bersikap memusuhi mengenai konsep Imam Mahdi, maka aku pun tak berkeberatan terhadap apa yang ditablighkan oleh teman-temanku itu. Akan tetapi pihak keluargaku merujuk kepada [pendapat] kaum maulwi yang membuatku heran: Mengapa mereka sangat menentang beliau. Kemudian aku mendapat buku karya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang berjudul ‘Izalah Auham’ untuk dibaca dengan seksama. Maka aku pun berdoa: Semoga Allah Taala memberikan nur hidayah kebenaran-Nya kepadaku.
Setelah selesai membaca buku tersebut, aku pun mendapat kepuasan rohani. Tak ‘ada sedikitpun menyisakan keragu-raguan di dalam qalbuku. Maka aku pun segera berangkat berziarah ke Qadian dan menyaksikan secara langsung Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang membuat qalbuku menjadi haqul-yaqin. Aku sampaikan kepada teman-teman Ahmadiku: Meskipun aku tak pernah menafi’kan sosok Imam Mahdi, kalau pun ya, maka kini aku sudah bertaubat. Karena aku yaqin sepenuhnya, wajah aqdas seperti beliau ini mustahil seorang pendusta.’ Jadi, hal yang palig utama adalah kesucian niat.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pun menyatakan demikian, bahwa buku-buku beliau hendaknya dibaca dengan niat yang suci. Sebab, mereka yang membacanya tetapi kemudian mengajukan berbagai keberatan berarti memiliki jiwa yang rucah. Karena Al Qur’an pun menyatakan, bahwa hanya mereka yang suci muttaqi yang akan berhasil memperoleh nur petunjuknya. Apalah lagi berbagai kitab lain !
(3) Hadhrat Dr.Muhammad Abdullah r.a. meriwayatkan: ‘Pada bulan Desember 1903 ketika aku masih berusia 18 atau 19 tahun, aku bermimpi melihat sosok Hadhrat Imam Mahdi a.s. untuk yang pertama kalinya. Di dalam mimpi itu, beliau bertanya: ‘Pengikut siapakah engkau ini ?’ Aku menjawab: ‘Pengikut Hadhrat Rasulullah Saw.’ Beberapa waktu kemudian aku membaca buku karya beliau a.s. yang berjudul ‘A’ina Kamalat Islam’ dan ‘Tiryaqul Qulub’ yang membuat diriku terpikat. Maka pada tahun 1906 aku melakukan salat doa Istikharah. Suatu Fajar, ketika aku dalam keadaan sadar sepenuhnya, aku menyaksikan arak-arakan bintang-gemintang di langit dan di atasnya ada tulisan: ‘Mirza Ghulam Ahmad Qadiani adalah Al Masih dan Al Mahdi Yang Dijanjikan.’
Pada tahun 1907 aku mengunjungi beberapa orang saudara iparku di Sialkot pada mana aku bertemu dengan seseorang kenalan lainnya lalu pergi bersama berziarah ke Qadian. Dan aku menyaksikan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada waktu Salat Zuhur. Maka aku menyadari penampakkan beliau tersebut sama persis sebagaimana yang aku lihat di dalam mimpiku yang pertama kali pada tahun 1903 itu, sehingga aku pun segera Bai’at.’
(4) Hadhrat Malik Umar Khattab r.a. meriwayatkan: ‘Aku mendengar pendakwaan beliau sebagai Imam Mahdi a.s. di saat masa puberku. Dan aku sangat berhasrat untuk mengambil Baiat-nya. Pada tahum 1905 aku berkesempatan berziarah ke Qadian dengan niat untuk memenuhi hasrat Bai’at-ku. Namun, sesampainya di sana, aku menemukan sebuah desa kecil dengan rumah-rumahnya yang berbalut lumpur; yang salah satu di antaranya dipakai sebagai madrasah yang muridnya pun hanya beberapa orang saja dan sedang ditarbiyati oleh Hadhrat Khalifatul Masih Awwal r.a.
Pikiranku menjadi tak seimbang dengan pendakwaan agung beliau sebagai Al Masih dan Al Mahdi Yang Dijanjikan, dengan kenyataan kecilnya desa Qadian. Namun qalbuku haqul-yaqin atas segala pendakwaan beliau tersebut. Maka aku pun mengirim sebuah notes permohonan untuk segera Bai’at, sebab aku terdesak oleh waktu harus pulang kembali pada hari yang sama. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjawab dengan sebuah notes pula, bahwa beliau akan datang’ ke masjid Mubarak setelah Adhan dikumandangkan. Sementara itu, ada dua orang Sikh yang muncul dan tampak lebih tergesa-gesa lagi. Maka dikirimlah lagi pesan mengenai mereka ini kepada beliau, dan mendapat jawaban yang sama. Mereka [orang Sikh itu] mengatakan, bahwa mereka adalah dua bersaudara yang tinggal di dekat Qadian. Ayahnya telah mengucapkan Kalimah Syahadah di tempat tidur sesaat sebelum meregang nyawa, yang sangat berdampak kepada jiwa mereka, sehingga mereka pun ingin segera mengikrarkan Syahadah. Namun, sangat boleh jadi kaumnya akan mengejar dan menghajar mereka dengan pukulan-pukulan tongkat. Oleh karena itulah mereka sangat tergesa-gesa.
Tak lama kemudian Adhan terdengar dikumandangkan. Dan masjid segera dipenuhi jamaah. Aku hanya berdiri di dekat pintu belakang di antara sepatu-sepatu yang ditanggalkan, sambil bertanya-tanya kapankah kiranya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. akan memasuki masjid. [Belum tahu ada jendela khusus tempat beliau a.s. keluar masuk]. Namun kemudian meskipun ada beberapa orang yang lebih dulu datang’ untuk Bai’at, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memanggil dan menanyaiku. Setelah kujelaskan, beliau pun segera meraih tanganku untuk memulai Baiat, seraya memerintahkan yang lainnya untuk menumpangkan tangannya di atas tanganku yang masih ‘anak remaja puber’ ini.
(5) Hadhrat Rahmatullah Ahmadi sahib r.a. meriwayatkan: ‘Aku menyaksikan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada salah satu kunjungan beliau ke kota Ludhiana. Pada waktu itu aku masih berusia sekitar 17 atau 18 tahun. Ketika aku menyaksikan nur cahaya di wajah aqdas beliau a.s., seketika itu pula qalbuku mengatakan: Wujud seperti ini sungguh mustahil seorang pendusta, sambil menyesali kaum maulwi yang menebarkan berbagai syak-wasangka. Selang waktu kemudian, aku menyaksikan suatu perdebatan antara Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dengan Maulwi Muhammad Hussein Batalwi. Kemudian aku pun membaca buku beliau a.s. yang berjudul ‘Izalah Auham’ yang aku mendapatkannya sebagai jawaban lengkap dengan nur hidayahnya. Setelah membaca buku tersebut, aku pun tak dapat tidur sepanjang malam, melainkan hanya terisak-isak menangis. Kecintaan dan kerinduan akan wujud beliau pun semakin tumbuh.
Aku menulis surat kepada salah seorang ex-maulwi-ku, bahwa: ‘Hadhrat Mirza sahib telah membuktikan kematian Hadhrat Isa Israili a.s. berdasarkan tak kurang dari 30 (tiga puluh) ayat Al Quran Karim. Silakan tuan-tuan segera kirimkan bantahannya. Mereka menjawab: Jangan memperdebatkan perkara ini, karena kematian Hadhrat Isa a.s. memang dapat dibuktikan dengan beberapa ayat Al Quran tertentu. Sebaliknya, kamu perdebatkanlah bagaimana mungkin Mirza sahib dapat menjadi Al Masih Yang Dijanjikan ? Aku jawab: ‘Jika Hadhrat Isa a.s. telah berhasil beliau buktikan kematiannya, tentulah segala pendakwaan Hadhrat Mirza sahib pun benar !’ Mereka menjawab: ‘Kamu sudah terpengaruh. Oleh karena itu kami mendoakanmu. Aku jawab: ‘Tuan-tuan berdoalah untuk keselamatan diri tuan sendiri ! Aku pun kembali bersimpuh ke hadapan Allah Taala dengan segenap jiwa dan raga serta tawadhu. Banyak berdoa memohon karunia-Nya.
Tak lama kemudian, di waktu Fajar 25 Desember 1897 aku mendapat mimpi melihat Hadhrat Rasulullah Saw; yang takwilnya berarti aku telah diperlihatkan kedatangan Hadhrat Imam Mahdi. Kemudian aku mendapat kesempatan istimewa untuk Bai’at kepada beliau a.s.; yang setelahnya, Tak ‘ada satu pun cobaan yang dapat menggoyahkan imanku disebabkan ikatan erat dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang aku mendapat karunia untuk dapat tetap menjaganya. Yakni, aku harus tabah menghadapi segala macam ujian dan cobaan, sehingga aku pun mengalami berbagai karunia dan rahmat Ilahi. Sehingga, ada beberapa orang keluarga dekatku yang juga ikut Baiat, menjadi orang Ahmadi.
(6) Hadhrat Syed Mahmud Alam sahib r.a. meriwayatkan: ‘Pada tahun 1903 abangku yang bernama Syed Mahbub Alam sahib mendengar pendakwaan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. [sebagai Imam Mahdi] ketika sedang berperjalanan. Maka abangku ini pun berusaha mencari-cari informasi di manakah beliau berada, kemudian mulai membina hubungan korespondensi. Lalu meminta dikirimi berbagai buku karya beliau yang dapat dibaca dan dikembalikan lagi. Maka Hadhrat Maulwi Abdul Karim sahib r.a. mulai rajin mengirimi berbagai buku. Namun, orang-orang mulai menentang abangku, yang justru malah membuat diri beliau Bai’at.
Terpengaruh oleh peristiwa tersebut, aku pun rajin membaca buku-buku karya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. tersebut, lalu Bai’at juga. Namun, sebelum Bai’at itu, aku mendapat mimpi bertemu dengan Hadhrat Imam Hussein r.a. [cucunda Hadhrat Rasulullah Saw] yang memperlihatkan restu beliau. Setelah Bai’at, aku sampaikan kepada ayahku bahwa tafsir mimpi mendapat restu tersebut adalah terkait dengan masuknya aku ke dalam [Jamaah] Ahmadiyah. Sebetulnya aku ini sedang sakit sejak dua tahun lalu oleh suatu penyakit berbahaya, dan belum pulih sepenuhnya ketika aku menyampaikan niatku akan mengunjungi Qadian kepada abangku. Ia menjawab: Di Qadian tak tersedia sumber daya yang dapat menunjang dirimu. Afdhol kamu berangkat setelah kamu berhasil memperoleh sertifikat matrikulasi [keahlian] agar kamu dapat mencukupi kebutuhanmu sendiri.’
Sedangkan keluargaku sama sekali tak ingin membantu rencana safarku ini. Padahal, disebabkan kondisi sakitku itu, aku menjadi tak punya tenaga meskipun hanya untuk berjalan sejauh satu mile [atau setengah kilometer] saja. Sebagian handai taulan menyarankan agar aku menghadap kepada orang tua sebelum berangkat. Tetapi akhirnya aku putuskan untuk tidak, karena khawatir ibuku akan membujukku agar jangan pergi sehingga membatalkan tekadku. Lalu aku pun menyurat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengenai niat dan keadaanku ini. Dan juga kepada abangku untuk menegaskan, bahwa aku tetap berangkat bersafar ke Qadian. Yakni: Jika aku tiba dengan selamat, aku akan segera mengabari abang via surat. Bila pun aku terkapar dalam safar ini, tak akan’ ada orang yang dapat menemukan jenazahku.
Lalu aku pun mulai berangkat dengan menumpang kereta api untuk sejauh jarak 50 (lima puluh) miles pertama sesuai jatah ongkos yang tersedia dan juga agar bila kesehatanku memburuk dan menggoyahkan tekad safarku, aku tak akan kembali lagi. Kemudian aku berjalan 30 (tiga puluh) miles setiap hari, dan tidur di mana saja yang memungkinkan. Disebabkan terus menerus berjalan, kakiku menjadi lecet-lecet. Maka aku pun berdoa kepada Allah Taala, memohon agar justru memberkati kaki-kakiku ini. Setiap pagi ba’da Salat aku berusaha untuk membaringkan tubuhku kembali, tetapi tak bisa disebabkan kondisi kakiku ini. Maka aku pun terpaksa mulai berjalan sambil tertatih-tatih, yang lama-lama semakin cepat juga. Namun, kakiku semakin terluka hingga tak dapat bersepatu lagi, dan kulitnya terkelupas, sehingga batu dan kerikil menggores pedih ketika aku berjalan. Kadang aku berjalan di atas rel kereta api, kadang pula di jalan beraspal, dan melintasi hutan lebat lengkap dengan kawanan monyet dan baboon liarnya yang berusaha menghadangku. Kemudian melintasi suatu kota yang cantik, sangat boleh jadi itu adalah City of Aligarh tapi aku tak sadari disebabkan khusyunya safarku [ke Qadian]. Lalu melintasi kota besar Delhi, tapi tak berhenti meskipun hanya untuk menepi disebabkan niat dan langkahku adalah untuk suatu hal yang lain.
Akhirnya, aku pun tiba di Qadian dengan kaki yang penuh luka-luka. Di ‘guest house’, tuan Hamid Ali sahib langsung menyuguhi susu hangat, yang aku tolak karena tak punya uang. Maka tuan Hamid pun berusaha meyakinkanku, bahwa pelayanan ini tak perlu dibayar. Maka aku pun meminumnya dengan lahap; yang kemudian kusadari, bahwa hanya diriku sajalah ‘tamu’ yang disuguhi susu. Kemudian, aku pun mendapat kehormatan untuk bermulaqat dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Lalu, ketika aku mendapat kesempatan untuk memijiti kaki beliau a.s., seketika itu pula timbul suatu keghairahan dalam diriku bagaimana caranya agar dapat dimasukkan sebagai salah seorang di antara para sahabah Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Kemudian Hadhrat Khalifatul Masih Awwal r.a. merawat kakiku yang luka-luka; dan memerintahkan Hafiz Roshin Ali sahib untuk membimbing tarbiyatku. Kemudian, Hadhrat Khalifatul Masih Awwal r.a. sendiri yang langsung menangani tarbiyat diriku.
Lama kemudian ketika Hadhrat Masih Mau’ud a.s. ber-‘safar-wida’ ke Lahore pada bulan Mei 1908, dan memanggil Hadhrat Khalifatul Masih Awwal, aku pun ikut bersama beliau r.a.. Lalu, ketika Hadhrat Masih Mau’ud a.s. wafat [pada tanggal 26 Mei 1908], aku pun berada di sebelah kanan jasad beliau a.s., dan ikut mendampingi prosesi pemakamannya hingga ke Qadian. Dan ketika Hadhrat Khalifatul Masih Awwal r.a mengambil Bai’at jamaah, aku duduk di bangku yang sama dengan beliau r.a..’
Begitulah kecintaan dan pengkhidmatan para sahabah Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Khususnya lagi adalah riwayat Syed Mahmud sahib ini, yang merupakan penggenapan Hadith [Rasulullah Saw]: ‘Faidja ra-aitumuhu fabayi’uhu walau habwan alats-tsalji….., yakni, ‘Apabila engkau melihatnya [Mahdi itu], maka Baiatlah kepadanya, walau untuk itu engkau harus merangkak di atas salju…...’
Semoga Allah Taala senantiasa meningkatkan derajat maqom arwah para sahabah r.a., dan juga meningkatkan keimanan kita, serta membukakan qalbu dan pikiran kaum Muslimin untuk menerima kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud a.s., sehingga diselamatkan dari berbagai malapetaka yang telah ditakdirkan bagi mereka.
oooOooo
MMA/LA.08302012