Tuesday, October 16, 2012

Hadhrat Muhammad SAW Adalah Rasul Untuk Seluruh Umat Manusia

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُوَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
‘’Hadhrat Imam Mahdi a.s. menyatakan: Jika seorang insan sudah mendalami riwayat hidup Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw dan memahami sepenuhnya kondisi dunia pada waktu itu, kemudian menyadari segala apa yang sudah beliau Saw lakukan, lalu dalam keadaan setengah sadar ia berseru:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
yakni, ‘Ya Allah, berikanlah rahmat shalawat kepada Muhammad…..!‘
Dan ia mengucapkannya dengan sepenuh jiwa dan raga, maka hal itu bukan sekedar cetusan pikiran ataupun imaginasinya sendiri. Melainkan, bahkan Al Qur’an Karim dan Sejarah Dunia pun telah memberikan kesaksiannya yang nyata atas segala amal shalih yang telah dilakukan Hadhrat Rasulullah Saw.
Jika tidak demikian, mengapa pula hal ini telah dinyatakan secara khusus hanya untuk beliau Saw, yakni:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
‘Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang mukmin ! Maka kamu pun hendaknya bershalawat untuknya dan mintalah selalu doa keselamatan baginya. (Q.S. 33 / Al Ahzab : 57).
Seruan untuk menyampaikan shalawat tersebut tidak pernah diperintahkan bagi seorang pun nabi lainnya. Satu-satunya insan yang telah ‘datang ke dunia dengan membawa falah kemenangan, dan ishlah perdamaian sempurna hanyalah dia, yang namanya Muhammad [Saw]. Sangat jelas dinyatakan di dalam ayat [Al Quran] tersebut, praktek amal shalih Hadhrat Rasulullah Saw yang sedemikian mulianya, sehingga Allah Swt pun tidak menyebutkan suatu perkataan untuk memuji ataupun menghitung-hitung berbagai sifat kebaikannya. Yakni, suatu ungkapan perkataan untuk itu dapat ditemukan. Akan tetapi tidak digunakan, disebabkan praktek amal shalih beliau Saw yang tak terhitung. Ayat semacam itu belum pernah digunakan untuk menunjukkan kemuliaan nabi lainnya.
Jiwa beliau Saw sedemikian qudus dan lurusnya. Amal shalihnya pun sangat diridhai Allah sedemikian rupa, sehingga Allah pun memberi perintah harian yang abadi, yakni, untuk di masa-masa yang akan ‘datang Umat hendaknya banyak bershalawat kepada Rasulullah Saw sebagai tanda sikap tasyakur mereka.’ Maka adalah kewajiban kaum mukminin untuk sering membaca ajaran yang Hadhrat Rasulullah Saw telah berikan. Dan ketika berusaha untuk mempraktekkannya, perbanyaklah pula bershalawat kepada beliau Saw, sebagai rasa syukur kita kepada wujud pembawa rahmat dan karunia bagi seluruh umat manusia ini.
Beliau Saw telah membimbing kita ke jalan lillahi Taala dengan cara memperlihatkan contoh prakteknya pada seluruh aspek kehidupan. Beliau memperlihatkan contoh kepada kita standar peribadatan kepada Allah, sekaligus pula menanamkan pentingnya mengkhidmati ‘sesama umat manusia. Namun, kesemua hal tersebut menuntut kita – sementara banyak bershalawat – juga berusaha untuk membuat dunia menyadari ajaran dan ushwatun hasanah, serta rahmat dan berkat yang beliau Saw bawakan. Sebab, bila berbagai aspek riwayat kehidupan beliau Saw ini dipersembahkan kepada pihak ghair, bahkan mereka yang memiliki sedikit sifat adil, niscaya akan memuji beliau Saw, meskipun boleh jadi ada beberapa pandangan mereka yang menentang.
Maka sekarang ini, mereka yang melontarkan berbagai keberatan mengenai diri atau ajaran beliau Saw, adalah lebih disebabkan tidak memiliki sikap adil, atau tidak mengetahui riwayat kehidupan beliau yang berberkat, dan juga tidak berusaha untuk mempelajarinya. Maka adalah kewajiban kita untuk menyadarkan dunia mengenai keberkatan [ushwatun hasanah] kehidupan Hadhrat Rasulullah Saw dengan menggunakan setiap sarana dan prasarana yang tersedia.
Ada sebagian manusia yang sedemikian tenggelam dalam keduniawian sehingga lebih terpengaruh oleh para tokoh duniawi atau tokoh bangsanya sendiri, alih-alih menyimak dengan baik tentang riwayat hidup Hadhrat Rasulullah Saw dari kalangan Umat Islam sendiri. Oleh karena itu berbagai pandangan para tokoh, penulis, maupun para intelektual kaumi hendaknya senantiasa berusaha untuk menyampaikan tentang riwayat hidup Hadhrat Rasulullah Saw ini.
Pada kesempatan ini saya akan sampaikan beberapa ikhtisar tulisan dari berbagai tokoh yang sedemikian terkesan oleh [kemuliaan derajat] Hadhrat Rasulullah Saw, kemudian menuliskannya. Meskipun bahkan sebagian dari mereka itu adalah pihak lawan, namun menuliskan suatu kebenaran.
(1) Stanley Lane-Poole menulis: ‘…..’Sehingga begitulah [Hadhrat] Muhammad [Saw] memasuki kembali kota asalnya [Mekkah, dengan 10.000 lasykar Muslim], namun kemudian mengampuni pihak musuh yang haus darah itu…..’ Wanita ini pun menulis: ‘…..dalam sejarah berbagai penaklukkkan, belum pernah ada kemenangan mutlak [tanpa perlawanan maupun korban] seperti itu……’
(2) H. G Wells menulis di dalam bukunya ‘Outline of History’, bahwa: ‘…..mereka yang mengetahui Rasul [Saw] ini, telah beriman terlebih dahulu kepadanya. Dengan demikian, beliau itu bukanlah pendusta…... Tak terbantahkan, agama Islam memang memiliki [ajaran] yang baik dan mulia. Mampu menciptakan suatu kaum yang lebih berkebebasan, alih-alih menyebarkan keburukan dan kedzaliman ‘sosial, sebagaimana pada berbagai kaum sebelumnya di dunia ini’.
(3) Letnan Jendral Sir John Glubb menulis:: ‘Apapun kesimpulan ‘sidang pembaca setelah sampai ke bagian akhir buku ini, adalah sulit untuk membantah [kebenaran] bahwa syiar [tabligh] Muhammad [Saw] tampak jelas mampu membangkitkan daya kasyaf sebagaimana yang ada di dalam Kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Di dalam berbagai kisah pengalaman [rohani] para Santa Kristiani, dan sangat boleh jadi juga di kalangan Pandita Hindu maupun berbagai agama lainnya.
Tambahan lagi, berbagai macam kasyaf tersebut seringkali menjadi titik awal kehidupan baru para orang suci [waliullah] dan ghairat para syuhada. Maka menisbahkan fenomena pengalaman rohani itu sebagai mimpi rekaan diri mereka sendiri, memerlukan ‘alasan kuat: Mengapa ?! Sebab, hal tersebut dialami oleh sekian banyak orang yang berbeda rentang waktunya hingga ribuan tahun dan juga jarak yang saling berjauhan hingga ribuan kilometer, serta belum pernah saling [berhubungan] mendengar satu sama lain.
Namun berdasarkan penuturan mereka mengenai pengalaman kasyaf yang tampak istimewa tersebut, mirip satu sama lain. Maka tak masuk di akal mengatakan bahwa kesemua pengalaman kasyaf itu sebagai ‘imajinasi diri sendiri, sebab banyak orang mengalami hal serupa, meskipun boleh jadi kondisi mereka awam satu sama lain…..’
Adapun ketika kaum Muslim awalin itu berhijrah ke Abyssinia [Ethiopia], tampak dalam daftar [yang berangkat] ‘hampir semuanya adalah mubayin baru. Sedangkan Rasulullah [Saw] tetap di tempat. Ditemani hanya oleh beberapa gelintir pengikut setia, di tengah-tengah masyarakat Mekkah yang pada umumnya memusuhi. Sehingga hal ini menunjukkan bukti, bahwa beliau [Saw] itu memiliki keberanian dan keteguhan jiwa yang luar biasa.’
(4) John Draper menulis: ‘Empat tahun setelah kematian Justinian, pada tahun 569 Masehi, lahirlah di Mekkah Arabia, seorang insan yang bernama Muhammad, yang kemudian memberi pengaruh yang sedemikian besar kepada ras manusia, namun disebut oleh orang Europa sebagai ‘Impostor’ (‘Penipu’). Beliau [Saw] itulah yang telah berhasil mengangkat bangsanya dari Fetichism, memuja bebatuan meteorit dan menyembah kenajisan berhala. Yakni, beliau menablighkan ajaran Tauhid Ilahi, yang begitu cepat menyapu faham kosong kaum Aria dan juga Katolik, dan merangkul lebih dari setengah bangsa Kristen lengkap dengan khazanah [harta benda] mereka yang terbaik, mulai dari Tanah Palestina [Holy Land, Jerusalem] tempat kelahiran agama [Kristen] kita, hingga Afrika, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari [Bangsa-bangsa yang berbahasa] Latin.
Benua tersebut dan juga sebagian besar Benua Asia, meskipun sudah melompat hingga ribuan tahun, tetap lekat dengan ajaran [Islam] dari Arabia itu. Tetapi Europa, dengan sangat bersusah-payah dan ajaib, berhasil melepaskan dirinya. Itulah Muhammad [Saw], si pemilik berbagai sifat kebaikan, yang lebih dari sekali telah berhasil mengalahkan kekuasaan Kekaisaran.
Dia itulah seorang lasykar tabligh. Elok memikat qalbu di atas mimbar. Mahir pula di medan laga, dengan ilmu tauhidnya yang sederhana, yakni:
لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ
"Tiada tuhan selain Allah !."
Corak lembut [feminisme] bangsa Syria hilang dalam misteri daya Monothelite dan Monophysite beliau. Sementara gaya keperkasaan otot bangsa Athena-Aria [Romawi] ditakdirkan lenyap di hadapan hembusan nafas beliau, seolah siap mengantisipasi atas segala apa yang dikehendakinya. Namun, setelah berhasil menegakkan [ajaran] kebenaran sejati tersebut, beliau tidak tenggelam dalam praktek sufisme (metaphysic), melainkan sibuk berikhtiar meningkatkan kondisi ‘sosial Ummat dengan berbagai macam fiqih. Mulai dari yang sesederhana pentingnya menjaga kebersihan diri. Hidup secukupnya, puasa dan ibadat. Namun, di atas segala amal shalihnya itu, ialah sering bersedeqah dan beramal jariyah.’(John William Draper, A History of the Intellectual development of Europe’, pp.329–330)
(5) William Montgomery menulis di dalam bukunya yang berjudul ‘Muhammad in Medina’, sebagai berikut: ‘…..Semakin orang merenungi riwayat kehidupan Muhammad [Saw] dan sejarah awal kebangkitan Islam, maka orang pun akan semakin takjub, betapa besarnya pencapaian yang telah beliau hasilkan. Padahal, berbagai kondisi lingkungan yang ada saat itu, dengan satu peluang yang segelintir orang dapat miliki, tetapi insan ini sungguh tepat dengan saat yang sangat membutuhkan ketika itu.
Yakni, seandainya tidak ada karunia keberadaan beliau sebagai seorang rasul, sebagai negarawan, yang sekaligus juga sebagai seorang administratur ulung, yang dibalik itu semua adalah berkat keyakinannya kepada Allah dan beristiqamah, bahwa Allah Taala telah mengutusnya, maka satu catatan istimewa di dalam sejarah kehidupan manusia tidak akan pernah tertuliskan. Maka adalah harapanku bahwa penelaahan atas riwayat kehidupan beliau [Saw] ini dapat menyumbang suatu penilaian dan penghargaan baru yang segar atas seorang insan termulia dari antara segala anak cucu Adam a.s.’
(6) Sedangkan Pendeta Bosworth Smith menulis: ‘[Disamping] sebagai seorang Kepala Negara, dan juga Pemimpin Agama, beliau itu adalah Kaisar sekaligus pula Paus tanpa tahta. Kaisar tanpa bala tentara, tanpa pengawal gardu. Tanpa pengawal pribadi (bodyguard), tanpa kepolisian, dan juga tanpa tunjangan tetap. Maka jika ada seorang pemimpin yang memerintah dengan bimbingan Ilahi yang haq, itulah dia Muhammad [Saw]. Sebab, hanya beliau itulah seorang insan yang memiliki berbagai kekuasaan tanpa bantuan mereka [yang dikuasai].’ (R. Bosworth Smith di dalam bukunya, ‘Muhammad and Muhammadanism’. Page. 262)
“Mereka yang mengetahui beliau [Saw] sepenuhnya, yakni istrinya, hamba sahayanya yang eksentrik, saudara sepupu, teman sejak lama, yang semuanya itu dikatakan Muhammad [Saw] sebagai para mubayin pertama yang “tidak pernah menjadi murtad, tak juga menjadi munafik” – itulah generasi pertama yang berhasil mengenali risalah beliau [Saw]… (R. Bosworth Smith ‘Muhammad and Muhammadanism’. Page 106). ‘Secara keseluruhan, kekaguman kita adalah bukan seberapa banyak, melainkan seberapa kecilnya Muhammad [Saw] menjadi berbeda - meskipun diterpa oleh berbagai keadaan - dari sifat akhlaknya yang asli. Yakni, ketika menjadi seorang penggembala kambing di padang gurun, ketika menjadi seorang salesman yang berkafilah ke Syria, ketika berkhalwat di Gua Hira, ketika menjadi seorang Pembaharu dalam ketersendiriannya, ketika dalam masa pengasingan di Madinah, ketika sudah diakui luas sebagai Sang Penakluk Perkasa setara Kisra Persia ataupun Kaisar Yunani Heraclius, namun kita masih tetap menemukan keutuhan akhlak beliau yang mulia dan sangat penting.
Sedangkan kepada orang lainnya, aku ragu, bila berbagai kondisi external mereka berubah sedemikian rupa seperti itu, dirinya hanya berubah sedikit [sebagaimana Muhammad Saw] ini.’ (R. Bosworth Smith ‘Muhammad and Muhammadanism’. Page 141)
(7) Washington Irving menulis:: ‘Berbagai keunggulan yang berhasil dicapainya sama sekali tidak membuat dirinya bangga maupun takabur, yang niscaya akan terjadi apabila didasari oleh tujuan pribadinya. Yakni, di saat berkuasa penuh pun beliau [Saw] tetap bersikap sederhana baik dalam perbuatan maupun penampilan pribadi.’ (Washington Irving, The Life of Mahomet, page 272)
(8) Sir William Muir menulis: ‘Semua pekerjaan dilakukan dengan tangannya sendiri…. Kebaikan akhlakya tak muncul sebelum sedekat mungkin dengan dirinya. Dalam pergaulan social- Bila beliau [Saw] memulai percakapan dengan seorang sahabah, sikapnya tidak akan hanya selintas. Melainkan menghadapkan wajah dan raga beliau sepenuhnya.' Ketika bersalaman, tak pernah melepaskan tangan lebih dulu. Tak juga yang lebih dulu menghentikan percakapan maupun memalingkan telinganya..' ‘Sikap sederhana senantiasa menghiasi kehidupan pribadinya. Untuk keperluan pribadi, biasa mengerjakannya dengan tangan sendirii. Bila memberikan sidqah, senantiasa menyerahkannya dengan tangan sendiri kepada si pemohon. Suka membantu pekerjaan rumah tangga para istri…’ Sengaja membuat dirinya mudah dijangkau —' Yakni, bahkan seandainya ada sungai kecil yang menghalangi, niscaya akan dikeringkannya,… Perwakilan tetap dan delegasi asing diterima dengan penuh hormat dan sejahtera. Bila pun ada permasalahan yang mereka ajukan, Muhammad [Saw] senantiasa menyelesaikannya dengan memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin, yang mahir dan berpengalaman…
Namun, yang lebih mencengangkan adalah, beliau [Saw] itu tidak pernah diketahui pandai menulis’ ‘Sifat baiknya terhadap mereka yang ‘datang berhijrah, tidak pernah diperlakukan berbeda dengan para pengikut lainnya. Pandai menjaga diri, murah hati, sabar, abai terhadap diri sendiri dan siap membantu senantiasa mewarnai kehidupannya sehari-hari, sebagaimana yang lekat di dalam ingatan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Tak suka mengatakan: ‘Tidak.’ Yakni, jika pun tak dapat memenuhi sesuatu permintaan seorang pemohon, maka beliau hanya berdiam diri… Tak pernah menolak undangan kenduri orang semiskin apapun, tak juga menolak sesuatu pemberian betapapun sederhananya… Beliau [Saw] memiliki sifat istimewa mampu membuat setiap orang di dalam suatu majlis, merasa bahwa dirinyalah yang diistimewakan. Bila bertemu dengan orang yang sedang bersuka-cita karena sesuatu keberhasilan, beliau [Saw] pun akan ikut merayakannya dengan menyalami orang itu dengan penuh kehangatan.
Begitupun kepada mereka yang sedang berduka-cita atau kemalangan, beliau [Saw] akan memperlihatkan sympathinya dengan penuh kelembutan. Terhadap anak-anak kecil, beliau lemah lembut dan tak sungkan-sungkan ikut bermain dan mengucapkan ‘Assalamu Alaikum‘ terlebih dahulu. Tak ragu-ragu membagi makanan yang ada, bahkan di saat paceklik. Atau memberikannya dengan cara diam-diam untuk menjaga perasaan si penerima. Pendek kata, hanya kebaikan dan keberkatanlah yang menghiasi sifat akhlak beliau [Saw].
Muhammad [Saw] ini pun adalah sahabat yang sangat setia. Yakni, beliau demikian mencintai Hadhrat Abu Bakar hingga bahkan bagai kepada saudara sendiri 'Ali [r.a., sepupunya] lebih merasakannya sebagai seorang ayah.
Zaid [r.a] seorang hamba-sahaya [Siti] Khadijah [r.ha.] yang sudah sedemikian terpikat oleh kebaikan beliau [Saw], memilih untuk tetap tinggal di Mekkah bersama beliau, alih-alih pulang kembali ke rumah bersama ayah kandungnya [yang sengaja ‘datang menjemput]: 'Aku tak akan meninggalkan diri tuan,' katanya sambil memeluk beliau [Saw], '…..disebabkan tuan telah menjadi bapak sekaligus juga ibuku….’ Dan persahabatan Muhammad [Saw] kepada Zaid [r.a.] berlanjut terus bahkan hingga ia wafat. Yakni, anaknya yang bernama Usamah diperlakukan istimewa sebagaimana kepada almarhum ayahnya.
'[Hadhrat] Uthman [r.a.] dan 'Umar [r.a] pun memperoleh perlakuan persahabatan istomewa beliau [Saw]. Yakni, ketika memasuki Al-Hudaibiyah, dan mengadakan ikrar Perjanjian Pohon [Hudaibiyah]’ tersebut, beliau [Saw] bersumpah akan senantiasa melindungi mantunya [Uthman r.a.] - yang telah banyak mengalami penderitaan itu - hingga akhir hayatnya. Hal ini menunjukkan bukti sikap persahabatan beliau [Saw] yang sejati.
Bahkan sejumlah peristiwa lainnya yang memperlihatkan kesetiaan beliau [Saw] itu dapat ditambahkan. Dan sikap tersebut tidak pernah mereka salah-gunakan. Yakni, beliau [Saw] pun memperoleh sikap pengorbanan yang sama dari para sahabah itu. Kemudian, ketika sudah memperoleh kekuasaan absolut setara seorang diktator, Muhammad [Saw] tetap berlaku adil dan dapat menahan emosi. Tak pernah memperlihatkan keraguan terhadap para musuh buasnya ketika akhirnya mereka bersedia menerima pendakwaan kerasulan beliau Saw.
Padahal, perlawanan dan penganiayaan panjang terhadap missi risalah beliau [Saw] sebagaimana yang mereka penduduk Mekkah perlihatkan, sangat boleh jadi akan menimbulkan gejolak nafsu menuntut balas dan darah bagi sang penakluk lainnya. Sedangkan Muhammad [Saw] ini, terkecuali kepada beberapa orang pelaku kejahatan perang (war crimes) memberikan amnesti umum. Melupakan segala penghinaan, penistaan dan penyiksaan mereka di masa lalu. Bahkan memperlakukan mereka dengan baik dan bersahabat.
Begitu pula yang beliau perlihatkan terhadap 'Abdullah [bin Ubay bin Salul] dan pengikutnya di Madinah, yang bertahun-tahun lamanya terus menerus merongrong berbagai rencana dan kepemimpinan beliau [Saw], meskipun mereka menyatakan tunduk pada awalnya, namun kemudian sangat memusuhi bahkan hingga saat Fatah Mekkah’ (Sir William Muir, ‘The Life of Muhammad’ pp.511–513) ‘Adalah berkat quwwat qudsiyah Muhammad [Saw] yang membuat generasi awal mubayin Islam tersebut sangat teguh. Para sahabah dekat dan ahli bait yang menyaksikan kehidupan pribadi beliau itu, tidak membantah. Tak juga menunjukkan sedikitpun tanda-tanda adanya kedhoifan beliau semisal kemahiran bersandiwara: Lain di luar, dan lain pula ketika di rumah.’ (Sir William Muir, ‘The Life of Muhammad’ p.55).
(9) Thomas Carlyle menulis: ‘Satu kondisi yang tak boleh kita lupakan adalah, beliau itu tak pernah bersekolah sebagaimana yang kita fahami secara formal. Pelajaran tulis menulis memang ada, tetapi pada bangsa Arabi di kala itu baru dalam tahap pengenalan. Maka ada benarnya jika ada yang berpendapat bahwa Muhammad [Saw] itu tak pandai menulis ! Kehidupan di Padang Gurun beserta segala macam pengalaman di dalamnya itulah yang mendidiknya. Betapa alam semesta yang luas ini, dari tempat beliau [Saw[ yang terpencil, dengan penglihatan dan pikiran sendiri yang dapat diperoleh, itulah yang dapat diketahuinya.
Terdorong oleh rasa ingin tahu, jika kita merenungkannya: Dalam kondisi ketiadaan sesuatu kitab, kecuali apa yang dapat dilihat, didengar samar-samar di Gurun Arabia, tentulah tiada artinya. Jadi, pengetahuan (wisdom) apapun yang ada di dekat atau jauh darinya di dunia ini sama sekali bukan untuk beliau. Namun dari ruh saudara kita yang mulia ini, menara-suar menerangi segala jazirah maupun zaman, meskipun ‘tak ada orang yang berhubungan langsung dengan ruh yang mulia, dalam ketersendirian dan keliaran gurun tempat ia tumbuh dengan akhlak dan alam pemikirannya.’
Kemudian betapa baiknya beliau menggalang hubungan dengan [Siti] Khadijah [r.a.], seorang janda kaya, lalu menjadi tukang ladennya, kemudian berkafilah hingga sejauh ke berbagai Bazaar besar di Syria; yang semuanya beliau kelola dengan baik sebagaimana orang yang ahli. Sehingga menimbulkan symphati dan penghargaan [materil] terhadapnya dan terus berlanjut hingga ke kisah pernikahan mereka yang berberkat, sebagaimana yang disampaikan oleh para periwayat Arabia kepada kita. Yakni, ia baru berusia 25 (dua puluh lima) tahun ketika itu, sedangkan [Siti] Khadijah [r.a.] sudah berusia 40 (empat puluh) tahun namun masih cantik menarik.
Sangat boleh jadi beliau hidup berumah-tangga dengan damai sakinah mawaddah. Sehingga beliau pun senantiasa mencintainya. Maka sangat tidak benar teori [yang mengatakan bahwa beliau] pendusta. Sebab, pada kenyataannya. beliau hidup normal dan di tempat umum bertahun-tahun lamanya hingga bara api penentangan mereda.’ ‘Maka hipotesa kita kini, bahwa Muhammad [na’udzubillah] penipu ulung, dan agamanya hanya mengelabui massa, menjadi tak berpengaruh kepada siapapun. Berbagai kedustaan yang dinisbahkan kepada insan ini, tiada lain hanya menistakan diri kita sendiri... Perjalanan waktu yang membersihkan semua tuduhan itu. Sebab, perkataan yang disampaikan oleh insan ini adalah petunjuk hidayah bagi kehidupan umat manusia yang kini mencapai 180 juta orang setelah melewati masa 12 Abad.