Tuesday, October 23, 2012

Riwayat Para Sahabah Hadhrat Imam Mahdi a.s

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُوَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
‘’Manakala saya menyampaikan berbagai peristiwa dalam kehidupan beberapa sahabah Hadhrat Imam Mahdi a.s., anak keturunan mereka menyurat kepada saya, untuk memberitahukan, bahwa betapa bahagianya mereka atas penyampaian saya itu. Mereka pun mohon didoakan agar mereka dan generasi demi generasi mendatang mereka dapat melanjutkan kemuliaan ini, serta memenuhi berbagai persyaratan yang terbebankan sehubungan dengan baiatnya kakek-buyut mereka di tangan berberkat seorang Imam Zaman, yang adalah seorang hamba sejati Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw. Yakni, jangan sampai mencemari kehidupan mereka yang - telah mendapat karunia - sezaman dengan beliau a.s., serta memperoleh kebekatannya.
Namun, saya pun heran mendengar ada di antara mereka itu yang mengeluhkan, bahwa pendahulu mereka itu telah keliru dengan meninggalkan orang tuanya karena memilih bergabung dengan Jamaat Hadhrat Masih Mau’d a.s.. Itulah kedzaliman pikiran mereka yang timbul disebabkan tidak mendapatkan keterangan yang benar dari mereka yang menceritakan riwayat para pendahulu mereka.

Sejak belum lama ini saya mulai menyampaikan berbagai peristiwa yang dialami oleh para sahabah [Hadhrat Masih Mau’ud a.s.], salah seorang [anak keturunan] dari mereka menulis kepada saya, bahwa katanya: ‘Hudhur [Atba] telah menjawab beberapa pertanyaan yang timbul dalam pikiranku mengenai [riwayat kehidupan] seorang sahabah tertentu.’ Jadi, mengenang kembali berbagai peristiwa dalam kehidupan para sahabah tersebut dapat menghilangkan berbagai kesalah-fahaman yang kadangkala timbul dalam pikiran orang-orang semacam itu, sehingga mereka pun menjadi lebih dekat lagi kepada [Islam] Ahmadiyah.
Inilah mengapa sebabnya saya menekankan pentingnya hal ini, yang mana para Khalifah sebelum saya pun telah membahas pentingnya mengingat dan mengenang berbagai peristiwa dalam kehidupan para pendahulu kita, - khususnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Hadrat Khalifatul Masih Arrabi (IV) rh.a. Sehingga hal ini memperteguh hubungan generasi baru tersebut dengan Jama’at dan membantu proses tarbiyat mereka. Namun, perlu pula saya sampaikan di sini, bahwa beberapa orang keturunan para sahabah yang menjauh dari Jama’at tersebut, disebabkan kebiasaan buruk beberapa anggota, atau tindakan beberapa orang Pengurus. Sehingga mereka pun mengatakan, bahwa para pendahulu mereka itu keliru.
Maka nasehat saya kepada mereka semua atau pribadi yang seperti itu, alih-alih menjadi berkecimpung dalam kenaifan seperti itu, banyak-banyaklah berdoa bagi diri sendiri: Semoga Allah Taala menjaga mereka untuk tetap beristiqamah di jalan petunjuk hidayah ini. Dan juga mendoakan mereka yang menimbulkan dampak negative tersebut. Hendaknya senantiasa diingat, bahwa para pendahulu kita itu menerima kebenaran [Islam] Ahmadiyah adalah setelah bersusah payah menelaahnya. Atau, setelah mereka mendapat petunjuk hidayah langsung dari Allah Taala kepada jalan kebenaran. Namun, generasi sekarang yang boleh jadi keliru karena habluminallah mereka yang tak seteguh para wali pendahulu kita. Artinya, para pendahulu kita itu jelas tak mungkin keliru.
Ingatlah selalu hal ini. Prasyarat bersikap adil adalah, menjadi insan yang sungguh-sungguh berpikiran terbuka, kita hendaknya berdoa kepada Allah Swt: Semoga Dia senantiasa memberi petunjuk hidayah kepada kita untuk senantiasa mengikuti jalan yang lurus, Jangan sampai terjadi suatu kondisi yang dapat menyebabkan diri kita menjadi jauh dari keimanan [agama] atau dari jalan yang dapat memberi kita ridha Ilahi. Sebab, seandainya orang-orang itu mau meneliti dan menganalisa situasi dirinya, maka mereka pun akan menyadari bahwa ego dirinya, atau kekurang-fahaman mereka sendirilah yang menyebabkan berbagai masalah sepele menjadi penyebab jauhnya diri mereka dari keimanan atau berkorban demi keimanan. Maka saya ‘katakan sekali lagi, semua anak keturunan para sahabah yang seperti itu, yakni yang telah jauh dari keimanan, atau jauh dari Nizam Jama’at. Atau mereka yang [sebetulnya] memiliki niat dan kepentingan pribadi, kemudian berpikiran dzalim, berarti ego mereka itu telah sedemikian rupa menguasai diri mereka. Maka perbanyaklah doa, semoga Allah memberi petunjuk kepada jalan yang lurus [shiratal mustaqim].
Senantiasalah ingat dengan penuh rasa syukur, terhadap amal shalih yang telah dilakukan oleh para wali pendahulu mereka bagi dirimu. Yakni, faedah mulia yang telah dilakukan mereka itu adalah menerima kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud a.s., berarti mereka itu telah menyebabkan kebenaran pendakwaan beliau a.s. mengalir di dalam peredaran darah kita. Semoga Allah Taala menjadikan anak keturunan para sahabah itu senantiasa sabar berada di jalan yang lurus. Begitulah, hendaknya banyak berdoa. Bukan malah menimbulkan berbagai keberatan di dalam qalbu.
Maka pada hari ini, setelah pernyataan ringkas tersebut, saya akan menyampaikan lagi berbagai peristiwa dalam kehidupan beberapa sahabah Hadhrat Masih Mau’ud a.s. ini.
(1) Kisah pertamanya adalah dari kehidupan Hadhrat Muhammad Fazil sahib bin Nur Muhammad sahib. Beliau menuturkan: ‘[Suatu malam[ ba’da Salat Isya, Aku bertanya kepada Maulvi Sultan Hamid sahib mengenai pendakwaan Hadhrat Mirza [Ghulam Ahmad] sahib sebagai Al Mahdi dan Al Masih. Yakni, ‘Jika beliau itu sungguh pilihan Ilahi, yakni Allah Taala telah membangkitkannya di negeri kita ini sehingga kita pun tak perlu bersusah payah untuk pergi menjumpainya; apakah tidak sebaiknya kita berangkat untuk sekedar menemui beliau dan memeriksa pendakwaannya ? Maulvi sahib yang berfitrat baik dan shalih ini menjawab: ‘Ya, tentu saja tuan dapat menjumpainya.’
Maka akupun pulang ke rumah. Kemudian ketika tertidur, aku mendapat mimpi: Melihat sebuah rumah gadang nan indah dengan 4 buah pintunya yang menghadap ‘ke arah Selatan, dan sekira 100 (seratus) orang duduk melingkar di dalamnya. Mereka itu semua tampak sebagai orang-orang yang sangat mulia, dan aku pun duduk di antara mereka. Sejurus kemudian pintu rumah yang berada di sebelah Utara terbuka, lalu masuklah seorang insan yang sangat shalih muttaqi, berjubah dan bersorban putih. Kemudian, beliau pun menunjuk kepada diriku sambil berkata: ‘Semua dosa-dosamu terampuni.’ Terbersit di dalam pikiranku, bahwa insan yang berakhlak sangat menyenangkan ini adalah Hadhrat Rasulullah Saw. Maka air mataku pun bercucuran mendengar perkataan beliau tersebut. Lalu aku mengucapkan Shalawat: Kemudian aku pun terbangun. Lalu salat Tahajjud, dan berharap-harap cemas menunggu saat yang tepat untuk menyampaikan mimpiku ini kepada Maulvi sahib. Maka pada pagi harinya, aku ceritakan kepadanya mengenai mimpiku itu. Ia berkata: ‘Engkau sungguh sangat beruntung.’
(2) Syekh Asghar Ali sahib menuturkan: ‘Hudhur Aqdas [alaihis salam] memberi kiat istimewa bagaimana caranya bertabligh [kepada orang lain] untuk mencari kebenaran. Yakni: Sebelum tidur, berwudhulah terlebih dahulu. Kemudian Salat Nafal dua rakaat, memohon kepada Allah: Apakah Jama’at [Ahmadiyah] ini benar, dan ihdina shiratal mustaqim [tunjukilah kami jalan yang lurus].’ Ketika kemudian aku berangkat ke Afrika Timur pada tahun 1900, aku bawa serta temanku yang bernama Naeik Muhammad sahib.
Sewaktu aku berkesempatan bertabligh kepadanya, aku sarankan untuk menjalankan kiat tersebut. Tuan Naeik Muhammad ini melakukannya. Tak lama setelah itu, ia mendapat mimpi: Ia berada di dalam sebuah ruangan kecil yang diterangi cahaya. Lalu melihat seorang insan yang mulia dan muttaqi masuk. Kemudian mendengar suara ayahnya yang berkata: ‘Lihatlah anakku, lihatlah beliau itu adalah Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw.” Keesokan paginya ia menyampaikan mimpinya itu kepadaku, seraya memohon bantuan untuk menuliskan surat pernyataan baiat untuknya. Sehingga seluruh keluarganya kini menjadi orang Ahmadi.
(3) Master Maula Baksh sahib bin Umar Baksh sahib menuturkan: ‘Aku adalah Kepala Sekolah ‘Sat Ghoni School’ di Negara Bagian Patiala. Ketika sedang cuti di Musim [Penghujan] Monsoon, aku pergi ke Qadian untuk menemui Huzoor [Aqdas, alaihis salam] dan mengambil bai’atnya. Padahal, anakku [almarhum] Abdul Ghaffar yang pada waktu itu masih berusia 2 tahun sedang mengidap penyakit kulit serius. Tetapi aku tak mau membatalkan rencana safarku. Sebulan setelah aku pulang kembali ke rumah, aku mendapati penyakit anakku itu sembuh total. Ia menjadi anak yang sehat wal-afiat. Istriku mengatakan, ia hanya hanya menghentikan perawatannya; dan ternyata penyakit anak itu sembuh sendiri.
(4) Hadhrat Qazi Mohammad Yusuf sahib menuturkan kepadaku, bahwa, “Pada tahun 1898 aku bermimpi diriku sedang berdiri di suatu ketinggian sebuah bukit yang menghadap ‘ke arah Timur. Di sebelah kananku, aku mendapati sinar matahari yang sangat terang. Sedangkan di sebelah kiri-ku, aku mendapatkan sinar bulan purnama, tetapi posisinya lebih tinggi sekira tiga kali panjang lengan. Sementara di bawahnya ada sungai panjang yang airnya mengalir dari arah Timur menuju ke perbukitan [tempatku berdiri], membelah indah lembah berumput hijau menawan.
Beberapa waktu kemudian aku memahami tafsir mimpi tersebut. Yakni, sinar matahari merujuk kepada Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw. Sedangkan sinar bulan purnama merujuk kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., dan perbukitan meunjukkan kepada kehormatan dan kemuliaan. Adapun sungai yang mengalir dari arah Timur adalah ilmu rohani yang akan mengalir dari Timur ke seluruh dunia. Sedangkan ketinggian sinar bulan purnama yang sekira tiga kali panjang lenganku, adalah diriku yang setelah tiga tahun sejak mimpi tersebut, akan menerima kebenaran [Islam] Ahmadiyah. Dan hal itu menjadi sempurna pada tahun 1901.”
(5) Hadhrat Syeikh Muhammad Afzal sahib, purnawirawan Inspektur Polisi Patiala mengisahkan: ‘Pada tahun 1900, aku berangkat ke Qadian dengan maksud untuk bai’at, bersama dengan temanku yang bernama Chaudhry Hashmat ‘sahib. Setibanya kami di sana dan menyimpan barang bawaan di Guest House, kami pun ke masjid Mubarak.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. masuk ke masjid dari rumah beliau, yang ketika itu sudah [temaram] kurang cahaya, namun aku masih dapat melihat diri beliau demikian segar bugar. Sehingga timbul dalam pikiranku: Boleh jadi beliau ini menggunakan dana-dana sumbangan dari ‘publik [jamaahnya] (public’s wealth). Kemudian terdengar pula suara-suara wanita dari arah rumah itu, sehingga, dipengaruhi pikiran su’udhzon, aku pun berprasangka, bahwa beliau ini bukan orang yang shalih.
Maka pada waktu Salat Isya itu, aku pun berdoa kepada Allah Taala, memohon diberi petunjuk jalan yang lurus. Kemudian aku meninggalkan masjid disertai perasaan tak puas, dan tidak bai’at. Bahkan, karena terganggu oleh banyak pikiran, aku pun tak ingat apakah aku sungguh-sungguh mendirikan Salat Isya ataukah tidak. Ketika tertidur, aku mendapat mimpi: Ada orang kuat mencengkeram leher belakangku lalu mengangkatnya dengan kasar sedemikian rupa hingga tubuhku berdiri. Aku merasa tercekik dan hamper mati.
‘Orang’ itu menghardik: Apakah kamu tak tahu, Mirza sahib ini tak pernah berdusta. Segala pendakwaannya adalah benar. Jangan sekali-kali kamu berpikiran buruk atau keliru tentang dirinya !, Lalu ia melempar kembali tubuhku ke tempat tidur. Ketika aku terbangun, aku pun merasakan sesuatu nyeri di bagian leherku, seolah-olah benar-benar ada orang yang mencengkeramnya, Maka aku pun menangis, dan ketakutan. Lalu aku bertanya kepada diriku sendiri: Apakah kamu masih meragukannya ataukah tidak ?! Dan qalbuku menjawab: Tidak !
Keesokan paginya, aku ke masjid [Mubarak] lagi. Ketika aku menyaksikan Hudzur Aqdas [alaihis salam] aku pun menyadari, bahwa penampilan jasmani beliau wajar saja. Tetapi perangai akhlaknya bagai malaikat. Maka aku pun mulai menangis. Timbul rasa cintaku kepadanya dan bertekad akan mengorbankan jiwa ragaku kepada beliau. Lalu aku pun bai’at dengan qalbu yang terbuka, dan merasa beruntung, bahwa Allah Taala telah menyelamatkan diriku dari pengaruh Syaitan.
(6) Qaimuddin sahib meriwayatkan: Pada suatu mimpi yang aku dapatkan, aku melihat, sepulang Salat di suatu masjid, aku berpapasan dengan sekumpulan orang, dan berkata: ‘Makhluk ini jahat, dan akan memangsa diri kita semua.’ Ketika aku lihat, makhluk itu seperti kayu hitam berbentuk serangga (bug) yang memenuhi semua lahan pertanian. Maka aku berseru kepada mereka: Berdoalah kepada Allah. Jika tidak, tentulah mereka akan memangsa diri kita ? Kemudian aku bertanya kepada kawanan serangga itu: ‘Apakah kalian [datang] dari Allah ?” Mereka menjawab: Ya. Lalu sekawanan seranggga itu mengerubuti jari-jariku sedemikian rupa. Seolah-olah tak akan melepaskannya lagi. Aku bertanya lagi: “Apakah pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad benar ?” Mereka menjawab: ‘Ya, dia itu benar !’, hingga tiga kali. “Jika engkau tidak mau beriman kepadanya, kami akan habisi !” Keesokan paginya, aku bertanya kepada ibuku: ‘Bilakah hari Jumat tiba ? Ibunda menjawab: Besok lusa.” Maka pada hari Jumat itu, akupun bergegas ke Qadian, kemudian Bai’at.
(7) Hadhrat Allah Rakha sahib bin Amir Baksh ‘sahib, kedua orang ini [dengan Ahmad Din sahib] adalah Sahabah Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menyampaikan: ‘Aku melihat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dalam suatu mimpi. Maka aku pun pergi ke Narowal untuk menemui Maulvi Ahmad Din ‘sahib untuk menanyakan ikhwal hikmah kebenaran mimpiku itu. Kemudian aku pun pergi ke Qadian beserta Ahmad Din sahib. Lalu kami berdua ke masjid Mubarak untuk Salat Fajr.
Ba’da Salat, aku menulis karangan mengenai sejumput riwayat kehidupan Hadhrat Rasulullah Saw., yakni, Hadhrat Abu Bakar r.a. menggendong Hadhrat Rasulullah Saw ketika keduanya menyelamatkan diri ke Gua [Gunung] Thur. Sewaktu aku bacakan episode ini di hadapan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., beliau berkata: “Maulvi sahib, Hadhrat Abu Bakar tidak menggendong Hadhrat Rasulullah Saw, melainkan beliau-beliau itu pergi ke Gua [Gunung] Thur dengan berjalan kaki.” Kemudian beliau a.s. memberi izin untuk mencetak karanganku itu. Lalu aku pulang ke rumah.
(8) Hadhrat Muhammad Fazil sahib menuturkan: ‘Aku berkeinginan untuk bai’at di tangan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., maka setiap hari aku bertanya mengenai Makhdumul–Millad-nya melalui Hadhrat Maulana Hakim Nuruddin r.a.. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberi jawaban: “Besok”. Maka aku pun mengungkapkan hasratku untuk baiat ke dalam Bahasa Parsi. Namun, setelah menunggu selama seminggu tiada kabar, aku pun pulang tanpa seizin Hudzur Aqdas [alaihis salam]; dengan pemikiran bahwa aku sudah baiat dalam mimpi. Tetapi sesampainya di rumah, aku merasa tak enak hati. Aku ingin kembali lagi ke Qadian. Maka sebulan kemudian, aku pun sudah berada kembali di Qadian.
Ketika aku masuk ke Klinik Hadhrat Hakim Nuruddin r.a., beliau menyambut dengan tersenyum seraya berkata: ‘Begitulah mereka yang meninggalkan Qadian tanpa sepengetahuan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. merasa resah seperti diri tuan.’ Maka aku pun mengerti, bahwa meninggalkan Qadian tanpa seizin beliau a.s., adalah tidak jaiz. Maka aku pun tinggal di Qadian tanpa memaksakan diri untuk segera bai’at. Baru setelah 22 hari kemudian, yakni, pada hari Kamis petang, Hudhur Aqdas [alaihis salam] berkata kepadaku: ‘Muhammad Fazil, sekarang engkau boleh bai’at.’ Namun aku tak ingat pasti apakah waktu itu adalah hari terakhir di tahun 1899, ataukah hari pertama pada tahun baru 1900 ketika aku bai’at.
(9) Mian Ghulam Muhammad Farkhanda menuliskan: ‘Mulanya aku adalah pengikut mahdzab Hanafi. Kemudian menjadi orang Wahabi. Akan tetapi tetap tak mendapatkan kepuasan rohani. Namun, aku selalu berdoa: Semoga Al Masih dan Al Mahdi lekas ‘datang, supaya aku dapat menerimanya. Pada suatu malam, aku melihat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dalam suatu mimpiku. Tak lama kemudian aku ke Qadian, dan ketika aku menyaksikan sosok beliau a.s., aku pun baiat masuk ke dalam [Jamaah] Ahmadiyah.
(10) Hadhrat Hakim Abdur-Rehman sahib menyampaikan kepada kita mengenai kisah ayahandanya menerima kebenaran [Islam] Ahmadiyah, sewaktu masih menjadi murid [ulama besar] Maulvi Allauddin. Suatu malam, ketika aku sedang berwudhu bersama, ayahku bertanya kepada Maulvi sahib: Mengapa sekarang ini terlihat banyak bintang jatuh (meteor) ? Ia menjawab: Karena kinilah saatnya kedatangan Imam Mahdi Dan bintang berjatuhan itu sebagai sambutan atas kedatangannya. Beberapa hari setelah itu, ayahku berziarah ke Qadian, lalu bai’at. Ketika pulang kembali dan bertemu dengan Maulvi sahib, diceritakan-nyalah mengenai bai’atnya itu. Sekaligus bertanya: Kapan kiranya tuan Maulvi bai’at ? Ia menjawab: Nanti. Sebab, sekarang ini aku masih dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan duniawi.
(11) Hadhrat Mian Rahim Baksh menceritakan: Pada suatu hari, aku menyaksikan peristiwa Munazirah antara Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dengan Abdul Haque Ghaznavi di Amritsar, pada mana beliau berdoa sedemikian rupa, sehingga Hadhrat Hakim Nuruddin r.a. pun menjadi tak sadarkan diri. Maka ketika aku kembali ke kaumku, aku ceritakan kepada mereka semua, bahwa aku menyaksikan suatu peristiwa mukjizati bantuan Ilahi. Sehingga aku pun yakin, bahwa pendakwaan beliau adalah benar. Hadhrat Masih Mau’ud adalah seorang nabi tabi’i yang benar. Aku menerima kebenaran [Islam] Ahmadiyah. Lalu, seluruh anggota keluargaku pun masuk ke dalam Jamaah Ahmadiyah.
(12) Hadhrat Choudhry Rahmat Khan sahib meriwayatkan: Aku melihat dalam mimpi, hari itu aku ke luar rumah, lalu melihat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersama-sama dengan Ghulam Baksh Bhatti, Inayat Hussain ‘sahib. Chaudhry Rahim, Maulvi Fazal Din, Maulvi Alam Din, Rahmat Khan Jatt dan Chaudhry Maula Baksh sahib, semuanya sedang berdiri di situ. Kemudian Chaudhry Maula Baksh ‘sahib berkata: sekarang marilah kita baia’at. Karena kinilah waktunya yang tepat. Maka kami semua pergi berwudhu terlebih dahulu di sumur milik Chaudhry Maula Baksh.
Kemudian Hadhrat [Aqdas, alaihis salam] mengimami Salat.’ Lalu aku pun terbangun, dengan wajah Huzoor Aqdas [alaihis salam] yang terpatri di dalam qalbu, sehingga tak terlupakan lagi. Keesokan paginya aku mengambil uang perongkosan lalu pergi ke Qadian. Aku bai’at, lalu tinggal di sana selama tiga hari. Menampak kepadaku, banyak pula orang yang baiat disebabkan mendapat mimpi-mimpi yang benar.
(13) Hadhrat Maulvi Abdullah sahib mengisahkan: Aku membaca kitab ‘Barahin-Ahmadiyah’ sekira tahun 1892 atau 1893 yang sangat mempengaruhi jiwaku. Setelah itu, aku pun membaca berbagai tulisan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. lainnya. Dan juga buku-buku karangan Muhammad Husain Batalvi. Sehingga aku pun memahami, bahwa berbagai perkara yang diterangkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. adalah yang benar. Maka hari demi hari ketertarikanku kepada Huzoor (as) pun semakin meningkat.
Oleh karena itu aku semakin memperdalamnya, hingga mendapatkan serangkaian mimpi, yang dimulai pada tahun 1897. Antara lain, adalah: Aku melihat diriku sedang menghadap ‘ke arah Timur. Huzoor Aqdas (as) berada di hadapanku, sedangkan Hadhrat Khalifatul Masih Tsani (II) yang pada waktu itu masih berusia 8 atau 9 tahun berada di sebelah kanan saya. Huzoor Aqdas (as) berkata: ‘Ahmad’ Awwalin (I) itu adalah seorang Nabi, akan tetapi tidak bertabi’i kepada siapapun. Namun, Ahmad Akhirin (II) adalah nabi tabi’i di bawah [asuhan] Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw. Kemudian Huzoor [Aqdas, alaihis salam] bertanya kepada Hadhrat Khalifatul Masih Tsani (II): Siapakah yang dimaksud dengan Ahmad Kedua ? Beliau menjawab seraya menunjuk kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s.: Tuanlah Ahmad Tsaniah (II) itu. Tak lama setelah itu, aku pun mengirim Surat Pernyataan Baiat kepada beliau a.s.. Lalu, ketika aku berziarah ke Qadian, aku pun baiat lagi secara langsung di tangan Hadhrat Imam Mahdi a.s. yang berberkat.
(14) Hadhrat Nizamuddin sahib menuturkan: Sebelumnya, aku berpendapat, bahwa [ucapan salam] ‘Assalamu Alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh yang disampaikan oleh Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw kepada Hadhrat Imam Mahdi a.s. melalui pesan bagi seluruh umat sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah Hadith, adalah tak penting. Namun, sejak aku mulai Salat dan berdoa di masjid Aqsa, Allah Taala berkenan membukakan penglihatan rohaniku. Aku menemukan kebenaran haqiqi. Maka aku pun bai’at.
(15) Hadhrat Syed Willayat Shah sahib meriwayatkan: Pada tahun 1897 aku menjadi murid 5th (Fifth) Grade (atau Kelas-6) di suatu Sekolah Madrasah di Sialkot, dan tinggal di Pondoknya. Tetapi kemudian pindah ke rumah keluarga besar Agha Qazalbash untuk bekerja sekaligus sebagai tutor adiknya. Pada waktu itu aku sudah mengetahui adanya pendakwaan Hadhrat Imam Mahdi, namun tidak tertarik disebabkan banyaknya perkataan buruk yang dinisbahkan orang kepada beliau. Namun, pada waktu itu sedang berkecamuk wabah penyakit pes di seluruh kota. Sehingga banyak orang yang tewas. Suatu hari ketika aku sedang berdiri di tepi jalan, aku menyaksikan banyak jenazah yang melintas dan diiringi isak tangis sanak saudaranya. Terbersit dalam pikiranku: Pes ini adalah wabah penyakit yang menular. Boleh jadi pula akan menerjang diriku hingga tewas. Maka amal shalih apa pula yang selama ini telah aku kerjakan ?! Padahal aku ini sudah melupakan bacaan qiraat Al Quran dengan benar. Maka pertama-tama, aku berusaha belajar tajwid sendiri. Tetapi lama-lama merasa tak pasti: Apakah aku sudah membacanya sesuai dengan kaidah ?
Maka timbullah dalam pikiranku, baiklah belajar kepada seorang Mullah di masjid. Tetapi terganggu oleh pikiran dan beban mental [bahwa ia akan mempertanyakan]: Mengapa baru sekarang aku baru mulai belajar ? Maka timbul lagi pikiran: Eloklah aku ini bergabung saja dalam suatu majlis Darsul Quran di suatu masjid, yang di dalamnya sekaligus aku dapat belajar Qira’at dan juga tarjamahnya. Namun aku mendapati, bahwa talim Darsul Quran semacam itu hanya ada di Masjid [Jamaah] Ahmadiyah. Tapi, tak apalah, aku hanya akan mendengarkan talim Quran-nya saja. Tidak pada aqidahnya. Tetapi Agha sahib, tuanku mengatakan: Jika engkau pergi ke Masjid Ahmadiyah, maka niscaya engkau pun akan menerima pula aqidahnya. Aku menyergah: ‘Aku akan pergi ke sana dengan tekad hanya akan mendengarkan talimul Quran Karim. Tidak untuk menerima aqidah Ahmadiyah.
Maka keesokan harinya aku ‘datang ke Masjid itu, yang di dalamnya Pir Hamid Shah sahib sedang memberikan Dars. Ternyata kemudian aku senang dan hadir setiap hari untuk menyimak pelajaran. Suatu kali, Maulvi Abdul Karim sahib r.a. yang memiliki kekuatan daya tarik rohani ‘datang dari Qadian, dan memberikan Dars. Ada pula seorang Maulvi ghair-Ahmadi yang mengikuti Darsul Quran beliau [kemudian bersoal-jawab]. Sehingga membuat diriku justru menjadi yaqin akan kebenaran aqidah Ahmadiyah, Maka aku pun baiat. Kini aku merasa, bahwa Allah Taala telah memberi aku pendidikan yang baik. [Kelapangan rezeki]. Keluarga dan anak keturunan yang baik. Akan tetapi yang paling utama adalah: Dia telah menjadikan aku sebagai seorang Ahmadi. [Yakni, beriman kepada seorang nabi Akhir Zamani].’
Itulah beberapa riwayat [para sahabah] yang mengisahkan mereka menerima kebenaran [Islam] Ahmadiyah. Sekarang saya hendak menyampaikan suatu hal yang terkait dengan kemajuan Jama’at, yang membuat setengah orang menjadi cemburu. Yakni, mereka berusaha untuk mencelakai Jama’at dengan berbagai cara. Kadangkala secara terang-terangan, Kadang pula secara sembunyi-sembunyi. Maka kita harus senantiasa hati-hati dan waspada terhadap berbagai siasat buruk mereka.
Kita harus memperbanyak doa ini:
(1) ‘Allahumma inna naj aluka fii nuuhurihim wa na’uudzubika min syuruu-rihim’, yakni, ‘Ya Allah, sesungguhnya kami menjadikan Engkau sebagai tameng dalam menghadapi mereka, dan kami berlindung kepada Engkau dari segala kejahatan mereka.’
(2) Rabbi kullu syai’in khadimuka, rabbi fahfadhni wanshurni warhamni, yakni, ‘Ya Tuhanku, segala sesuatu adalah khadim Engkau, Ya Tuhanku, jagalah aku, tolonglah aku, dan sayangilah aku.’
(3) ‘Rabbanaa afrigh alaina shabra(n)wwa-tsabbit aqdaamanaa wan-shurna alal qaumil kaafirin, yakni, Ya Tuhan kami, berikanlah kesabaran kepada kami, teguhkanlah langkah-langkah kami, di atas orang-orang yang kafir.’ Juga banyak bershalawat; Ya Allah, berikanlah rahmat shalawat kepada Muhammad dan para pengikut Muhammad yang setia, sebagaimana Engkau telah beri rahmat shalawat kepada Ibrahim dan para pengikut Ibrahim yang setia. Sesungguhnya Engkau Mahamulia, lagi Terpuji. Ya Allah berkatilah Muhammad dan para pengikut Muhammad yang setia, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan para pengikut Ibrahim yang setia. Sesungguhnya Engkau Mahamulia, lagi Terpuji.’
Hudhur Aqdas Atba menyampaikan: ‘Pada beberapa hari yang lalu ada seseorang yang mem-posting dua gambar di Facebook.com. Satu bergambar Hadhrat Guru Baba Nanak, dan satunya lagi gambar foto Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Tetapi yang bergambar Hadhrat Baba Nanak sahib disertai dengan kata-kata yang sangat buruk. Sedangkan yang menyertai gambar foto Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. adalah segala perkataan yang mulia. Jelas hal ini semata-mata hanya untuk menimbulkan kebencian dan amarah di kalangan masyarakat Sikh.
Kemudian sebuah surat kabar menerbitkan gambar tersebut, sehingga meningkatkan ketegangan masyarakat di sekitar Qadian. Namun dengan karunia Allah Taala, para pemuka kaum Sikhs memahami keadaan, lalu menyelesaikan perkara dengan bijak dan menenangkan kaumnya. Beberapa keluarga pemuka Sikh tersebut menyurat kepada saya mengenai masalah ini. Sehingga kita pun sama-sama mencari keterangan lebih lanjut berkenaan dengan peristiwa ini. Sebab, Jama’at Ahmadiyah tak pernah berbuat sesuatu yang melukai perasaan [keber-agamaan] pihak lain.
Kita ini bukan saja menghormati para pemimpin agama, bahkan juga tidak mencerca berhala pihak lain manapun. Berbagai buku Jama’at dan tulisan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. hanya berisikan pujian terhadap Guru Baba Nanak sahib. Maka orang Ahmadi sungguh mustahil berpikiran untuk berkata-kata buruk terhadap beliau. Sebab, Guru Baba Nanak, Raja Ramchander Ji, Shri Krisyan dan lain sebagainya itu adalah orang-orang suci utusan Ilahi. Oleh karena itu, gambar-gambar semacam itu dipublikasikan hanya untuk menimbulkan permusuhan dan kedengkian di antara para penganut agama.’