Wednesday, October 31, 2012

Riwayat (II) Para Sahabah Hadhrat Imam Mahdi a.s

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُوَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
‘’Saya akan menyampaikan lanjutan berbagai kisah yang menggugah keimanan dari riwayat kehidupan para sahabah Hadhrat Imam Mahdi a.s.. Yakni:

(16) Hadhrat Walayat Shah sahib r.a. menulis: ‘Aku memiliki peluang yang sangat minim untuk dapat menemui Hadhrat Masih Mau’ud a.s. disebabkan tak dapat memperoleh izin cuti yang cukup dari tempat pekerjaanku. Maka aku pun Bai’at melalui suatu mimpi yang aku dapatkan. Yakni, di dalam mimpi itu aku menyaksikan serombongan insan yang dipimpin oleh seorang waliullah berbusana sangat elok dan kepalanya bermahkota. Rombongan tersebut kemudian beriringan menaiki atap-rata rumahku. Lalu dikumandangkanlah Adhan dengan bantuan sebuah corong besar. Kemudian tampak rombongan tersebut melaksanakan Salat. Setelah itu, mereka pun turun kembali. Namun, ketika melewati tempat tidurku, waliullah itu berkata agar aku membersihkan rumahku dari segala kekotoran. Seketika itu juga aku jawab: Baiklah tuan’. Maka aku bertanya kepada salah seorang dari rombongan: Siapakah gerangan waliullah itu ? Ia menjawab: ‘Beliau itulah Hadhrat Mirza sahib. Kemudian, pada hari yang sama itu, seorang karibku mengetuk pintu kamarku. Lalu ia berkata: ‘Walayat sahib, engkau telah menjadi orang Ahmadi.’ Aku bertanya: ‘Bagaimana mungkin ?’ Temanku yang orang Ahmadi itu menjawab: ‘Aku mendapat mimpi melihatmu berbusana jubah panjang.’ Jadi, kami sama-sama mendapat mimpi pada malam itu yang merujuk kepada hal yang serupa.
Beberapa waktu kemudian, akhirnya aku memperoleh kesempatan berangkat ke Qadian bersama seorang teman. Lalu kami ber-Shalat Jumat di masjid Aqsa. Ketika Hadhrat Masih Mau’ud a.s. tiba, aku memohon beliau untuk membai’atku. Maka dengan penuh kasih ‘sayang, beliau a.s. pun memegang tanganku dan proses Bai’at pun berlangsung.

(17) Hadhrat Inayatullah sahib r.a. meriwayatkan: ‘Aku Bai’at pada tahun 1901 ketika masih berusia remaja 15 tahun. Waktu itu baru pertama kalinya aku ke Qadian, sambil membawa sebotol parfum [sebagai buah tangan untuk beliau a.s.]. Tetapi, sewaktu dalam perjalanan, parfum itu tertumpah hingga tersisa hanya beberapa tetes saja. Ketika petang itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. naik ke loteng masjid Mubarak dan duduk-duduk di situ, aku pun memijiti kaki beliau. Kemudian aku perlihatkan botol parfum yang isinya tinggal sedikit dan sedianya untuk dihadiahkan kepada beliau. Namun, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. berkata: Lihatlah, Inayat sahib ini telah diberi pahala dengan sebotol parfume !’ Kemudian aku pun Bai’at ba’da Salat Maghrib, dan tinggal di Qadian selama 10 hari.
Lalu, ketika dalam perjalanan pulang, kami singgah bermalam di Batala. Seorang teman seperjalananku bertanya: ‘Inayat sahib, apakah engkau sudah mohon pamit kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. ketika meninggalkan Qadian ? Aku jawab: “Tidak’, sambil menyesal. Maka pada malam itu, aku bermimpi melihat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sedang makan roti. Kemudian beliau memberikan sebagian daripadanya kepadaku, sambil berkata: Engkau telah diperkenankan untuk pulang.’
(18) Hadhrat Sheikh Attaullah sahib r.a. mengisahkan: ‘Suatu hari Hadhrat Masih Mau’ud a.s. keluar rumah, kemudian memanggil namaku sambil meminta tolong untuk mengeposkan sepucuk surat beliau di bis-surat (mail-box). Aku senang bukan kepalang, bahwa Hadhrat Masih Mau’ud a.s. hafal namaku. Kemudian, pada suatu hari yang lain lagi, aku melihat beliau a.s. sedang meminum susu kambing mentah [yang baru diperah]. Namun ada seseorang yang menasehati: ‘Hudhur sebaiknya jangan minum susu mentah.’ Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjawab: ‘Para nabiyullah suka meminum susu perah [mentah] segar.’
Kemudian, suatu saat yang lain lagi, aku jatuh sakit, dan terserang penyakit tbc (tuberculosis). Maka aku pun pergi [berobat] ke Qadian dan dirawat di rumah Hadhrat Maulana Hakim Nuruddin r.a., serta diberi makanan khusus (special diet). Tetapi pada suatu petang, aku menyampaikan kepada ibunda Hadhrat Maulana Nuruddin, bahwa lidahku terasa pahit. Apakah kiranya aku dapat memperoleh sesuatu makanan yang sedikit bercita-rasa ? Beliau menasehati, bahwa Hadhrat Maulana sahib akan marah bila aku memakan sesuatu yang lain. Namun, akhirnya beliau pun memberi semangkuk kaldu saring. Keesokan harinya, ketika Hadhrat Maulana Nuruddin r.a. memeriksa denyut nadi-ku, beliaupun bertanya: Apa pula yang tuan telah makan tadi malam ? Aku menjawab: ‘Tak ada.’
[Padahal] Hadhrat Maulana sahib pada waktu itu segera pulang ke rumah dengan meninggalkan pelajaran Dars yang sedang beliau berikan. Maka ketika beliau akhirnya mengetahui apa yang aku telah makan, beliau pun gundah dan menyampaikannya kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang juga akhirnta memperlihatkan kekecewaan beliau. Dua bulan kemdian, aku meninggalkan Qadian, saat masa cuti-kuu sudah berakhir. Hadhrat Maulana sahib membekaliku obat-obatan seraya berkata, akan senantiasa mendoakanku Lalu, ketika aku berpamitan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., beliau menasehati agar aku banyak berdoa dengan khusyu dan tawadhu, serta dawam menulis surat mohon doa kepada beliau a.s., dan juga berusaha untuk ‘datang kembali ke Qadian. ‘Kemudian, berdisiplinlah dengan makanan special dietmu, InshaAllah Allah Taala akan memberimu kesehatan yang sempurna.’
Kemudian, ketika aku kembali ke rumah, aku mendapat mimpi: yang berisikan pesan dalam suatu bahasa asing yang aku tak fahami. Maka akupun berdoa sedemikian rupa dengan penuh kerendahan hati kepada Allah Swt, mohon kiranya diberi ilmu untuk memahami tafsir mimpi tersebut. Tak seberapa lama kemudian, akupun meracau dalam keadaan setengah sadar: Sehat ! Sehat wal Afiat ! Sehat !’ Setelah mimpi itu, jiwa ragaku serasa sehat. Sehingga bahkan sakit kepalaku dan berbagai penyakit lainnya pun lenyap. Bahkan kemudian aku memiliki anak keturunan; yang sebelumnya nihil.
(19) Hadhrat Malik Barkatullah sahib r.a. menulis: ‘Meskipun ayahku adalah orang Ahmadi, sehingga otomatis akupun demikian; akan tetapi ketika aku menginjak usia puber remaja 14 atau 15 tahun, aku Baiat secara pribadi. Ini disebabkan manakala ada orang yang Baiat [di tangan Hadhrat Imam Mahdi a.s.] banyak orang lainnya yang juga ikut menyatakan baiatnyai. Kemudian ikut di dalam doa-doanya agar memperoleh keberkatannya. (20) Hadhrat Dr. Umaruddin sahib r.a. mengisahkan: Aku lahir pada tahun 1879, lalu Bai’at pada tahun 1905 sekaligus ikut serta dalam Gerakan Pengorbanan Al Wasiyyat [yang sedang dicanangkan oleh Hadhrat Masih Mau;ud a.s.]. Kemudian, aku pun berkhidmat di Jamaat Nairobi [Kenya], dalam berbagai bidang jabatan.
Awalnya, aku tiba di [ibukota negara di Afrika Timur itu] pada tahun 1900, dan menyaksikan banyak orang yang masuk [Islam] Ahmadiyah setelah mereka menyaksikan akhlak fadillah Dr.Rahmat Ali sahib. Sehingga aku pun ikut mendalaminya, lalu berdoa kepada Allah Swt sedemikian rupa, memohon ditunjuki shiratal mustaqim jalan lurus yang sesuai dengan pandangan-Nya.
Doa-doaku terkabul. Aku mulai banyak mendapat mimpi-mimpi yang benar. Sehingga aku pun menulis Surat Pernyataan Bai’at pada bulan Juni 1905. Setelah itu aku pun mulai dapat merasakan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah Swt, yang sebelumnya bahkan terbayangkan pun tidak. Sehingga setiap saat aku sangat berhasrat untuk menemui Hadhrat Masih Mau’ud a.s. secara langsung Akhirnya, suatu kali aku mendapat hak cuti. Dan aku berniat untuk membawa sesuatu buah tangan untuk Hadhrat Masih Mau’ud a.s., yang aku putuskan adalah empat butir telur burung unta (ostrich). Maka aku pun mengurus perizinannya. Namun ketika aku tiba di ‘kampung halamanku Gujarat, seluruh keluargaku menentang aqidah keimananku yang baru. Maka aku pun berdoa sedemikian khusyu dan tawadhu.
Ketika saat Jalsah Salanah [Qadian] tiba, ayah dan abangku setuju untuk ikut serta. Di dalam Jalsah itu aku keheranan menyaksikan begitu banyak orang yang ingin bermulaqat dengan Hudhur Aqdas a.s.. Sehingga terbersit dalam pikiranku, bahwa aku ini telah bersafar dari jauh dengan waktu yang ringkas, tetapi sangat berhasrat untuk bermulaqat secara pribadi dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Namun tampak mustahil dapat terlaksana. Maka akupun bertanya kepada seseorang, bahwa aku ini datang dari jarak yang sangat jauh dengan niat ingin bermulaqat dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., bagaimana caranya ?! Ikhwan itu menjawab: Silakan tuan bicara dengan pembantu wanita lansia yang bekerja di rumah tangga Hadhrat Masih Mau’ud a.s. itu. Maka aku pun segera menemui ibu itu, lalu menceritakan segalanya. Mohon kiranya dapat disampaikan kepada beliau a.s.. Maka ia pun segera masuk ke dalam. Lalu keluar lagi dengan secarik Undangan untuk masuk ke dalam ruangan Maka aku pun segera menjemput ayahku, abangku dan beberapa orang karib lainnya untuk bersama-sama masuk ke dalam. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang terlebih dahulu menyambut kami dengan ucapan ‘Assalamu Alaikum’
Dan ayahku, meskipun masih menentang, tiba-tiba berlutut sedemikian rupa di hadapan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., yang segera itu pula beliau raih sambil berkata: ‘Hanya Allah saja yang patut disembah.’ Kemudian aku persembahkan hadiah empat butir telur ostrich itu kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang menerimanya dengan penuh kehangatan dan bertanya hal ikhwalnya. Lalu beliau a.s. menggapai tanganku seraya menasehati agar jangan terlalu mencintai dunia. Perbanyaklah Istighfar dan dawam menulis surat. Kemudian beliau a.s. membaiat ayahku dan beberapa orang temannya. Lalu kami berdoa dengan linangan air mata. Jika aku teringat peristiwa yang sangat menggugah rohani itu, jiwaku pun seolah merasakan adanya suatu aliran listrik yang baru.
(21) Hadhrat Master Abdul Rauf sahib r.a. meriwayatkan: Aku Bai’at pada tahun 1898, lalu bertemu secara langsung dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada tahun yang sama. Yakni, ketika aku masih bersekolah di Bheira, tersiar berita, bahwa ada orang yang mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi, yang namanya Mirza Gulam Ahmad [Qadiani]. Karena waktu itu aku masih berusia pra-remaja, aku tak mengetahui lebih lanjut, Tetapi abangku Ghulam Illahi membaca buku-buku beliau, kemudian Bai’at, sehingga namanya tercantum sebagai salah satu di antara 313 orang sahabah beliau yang pertama. Namun, abangku ini pun mencantumkan nama seluruh keluarga kami di dalam Pernyataan Bai’atnya itu. Maka aku pun membaca beberapa buku dan pamphlet beliau a.s., sehingga timbullah hasratku untuk menjumpai Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Aku sering duduk termenung dan berdoa di dekat jembatan selepas Salat Maghrib: Ya Allah jika Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani ini benar, tolonglah bawa aku kepadanya.
Perlu diketahui, bahwa aku ini ikut menyaksikan dengan mata kepala sendiri peristiwa besar Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari [pada tahun 1894] itu. Akhirnya suatu hari abangku membawa aku ke Qadian, sehingga akupun Baiat langsung di tangan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.; kemudian kembali lagi ke Bheira. Tak lama kemudian, Hadhrat Maulana Nuruddin r.a. menyurat kepada abangku, agar kiranya mengirim aku kembali ke Qadian. Maka aku pun ‘datang lagi ke Qadian pada tahun 1899, dan mendapat kesempatan bermulakat dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Dan juga Hadhrat Maulana Nuruddin r.a., yang mengetahui aku berpendidikan tetapi sedang memerlukan, beliau pun memberi aku pekerjaan di Madrasah [Ahmadiyah], yang pada waktu itu Kepala Sekolahnya adalah Hadhrat Maulwi Sher Ali sahib r.a... Kemudian akupun membiasakan diri Salat Fardhu Lima Waktu berjamaah bersama Hadhrat Masih Mau’ud a.s., yang pada waktu itu seringkali diimami oleh Hadhrat Maulwi Abdul Karim r.a.. Ba’da Salat, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. biasa menyampaikan beberapa wahyu Ilahi ataupun kasyaf yang beliau terima. Sementara itu, aku memijiti kaki beliau a.s.’
Di beberapa sumber lain disebutkan, bahwa Master Abdul Rauf sahib ini pun berkhidmat di majalah berkala ‘Review of Religions’, disamping sebagai Kepala Bagian Administrasi Madrasah Aliyah tersebut.
(22) Hadhrat Maulwi Muhammad Abdul Aziz sahib r.a. mengisahkan: Aku Bai’at pada tahun 1904. Namun, sebelum aku menyampaikan tentang kisah baiatku, adalah penting untuk menyampaikan terlebih dahulu kisah baiat ayahku langsung di tangan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., yang belum pernah beliau tuliskan. Tetapi beliau merasakan, bahwa aku sebagai anaknya haruslah dapat merampungkan apa yang yang belum dapat diselesaikannya. Inilah penuturan ayahku yang bernama Maulwi Muhammad Abdullah sahib: ‘Sebelumnya, aku ini adalah pengikut Ahli Hadith dan menjadi salah satu pimpinan terasnya. Yakni, Maulwi Muhammad Hussein Batalwi dan lain sebagainya, telah mengangkatku sebagai Wakil Pimpinan (Deputy Cmmissioner) organisasi tersebut). Suatu hari aku mendengar adanya pendakwaan dari seseorang di pedalaman Qadian, bahwa ia mendapat wahyu Ilahi yang menubuatkan akan mendapat ‘Sang Putra Yang Dijanjikan.
Tetapi nubuatan tersebut belum juga tergenapi. Yakni, yang lahir malah seorang anak perempuan. Seorang anak laki-laki memang terlahir kemudian, tetapi tak lama kemudian meninggal dunia. Maka akupun memutuskan untuk mengadakan debat dengannya mengenai perkara ini. Pada waktu itu, Hadhrat Mirza sahib belum mendakwakan diri sebagai Al Masih Yang Dijanjikan. Akan tetapi sedang sibuk menulis kitab ‘Barahin Ahmadiyah’. Aku memperdebatkan mengenai nubuatan ‘Sang Putra Yang Dijanjikan’, yang bagaimana mungkin tak kunjung datang ? Beliau menjawab: Apakah wahyu nubuatan Hadhrat Rasulullah Saw mengenai pelaksanaan ibadah Hajji [via Hudabiyah] tergenapi pada tahun yang sama ?! Aku jawab: Tidak. Melainkan baru pada tahun berikutnya wahyu Ilahi tersebut menjadi sempurna.’ Hadhrat Masih Mau’ud a.s. berkata: Begitulah aku, tak mengatakan bahwa aku akan mendapat seorang putra pada tahun yang sama ketika nubuatan tersebut dicanangkan.
Ingatlah, perkara ini adalah semata-mata wahyu nubuatan Ilahi, yang pasti akan menjadi sempurna. Maka akupun tak mendebatnya lebih lanjut. Tetapi tetap pada pendirianku. Aku ini adalah seorang Ulama yang menguasai Bahasa Arab, Bahasa Parsi, ilmu mantiq, dan banyak lagi. Namun aku tak hendak memamerkannya. Akan tetapi justru Hadhrat Mirza sahib yang mengusik-ku, katanya: ‘Tuan ini kan orang yang berilmu. Silakan baca-teliti [dan koreksi] kitabku ‘Barahin Ahmadiyah’ ini kalau-kalau ada salah cetak. Aku akan beri imbalan yang lumayan’, kata beliau. [Akan tetapi ‘sayang, ayahku tidak mau menerima tawaran tersebut], hingga 15 tahun berikutnya berlalu begitu saja.
Namun, meskipun aku belum menerima kebenaran Hadhrat Mirza sahib, aku senantiasa mencegah mereka yang suka berkata-kata kasar dan menghina beliau. Sangat boleh jadi sikap inilah yang menjadi sebab adanya karunia petunjuk nantinya. Yakni, pada tahun 1902 aku membaca dua buah kitab karya Hadhrat Mirza sahib yang dapat menjawab sebagian besar pertanyaan yang ada di dalam pikiranku. Namun, timbul lagi berbagai pertanyaan lainnya hingga mencapai 21 perkara, yang langsung aku bawa ke Qadian untuk mendebatnya. Dan langsung saja aku menuju ke masjid Mubarak. Cara ini aku tempuh karena ada desas-desus bahwa ‘Mirza sahib’ ini suka menebar agen-agennya [di seputar Qadian] dan akan menanyai orang yang bermaksud menemui dan menyoal beliau. Sehingga berbagai pertanyaan tersebut dapat segera dikirim kepada beliau, maka beliau pun sudah mengetahui terlebih dahulu jawaban atas pertanyaan yang bakal diajukan. Inilah cara ‘Mirza sahib’ mengecoh orang, sehingga menimbulkan kesan beliau sebagai seorang Waliullah.
Inilah sebabnya mengapa aku bergegas langsung menuju ke masjid Mubarak. Ba’da Salat, Hadhrat Mirza sahib biasa berkenan memberikan majlis irfan. Maka aku pun berkesempatan untuk memijiti kaki beliau. Namun beliau berkata: ‘Adalah tak baik mengetes seorang nabiyullah.’ Yakni, pijatanku itu tidak didasari niat yang ikhlas, melainkan karena dikarenakan sesuatu hal yang lain. Sehingga aku pun menyadari Allah Swt telah memberitahu beliau a.s.. Ini karena aku baca di dalam sebuah Hadith, bahwa ciri khas Al Masih dan Al Mahdi yang sejati adalah kakinya rata. Oleh karena itulah aku memijiti kaki beliau untuk memastikannya. Dan aku mendapatkannya demikian, yakni kakinya tidak meruncing [sebagaimana pada umumnya].
Dan aku mendapatkan dua hikmah: Pertama, Benarlah bahwa bentuk kaki Hadhrat Imam Mahdi a.s. yang sejati ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw.. Kedua, beliau a.s. bersabda, bahwa: Tak baik mengetes-ngetes seorang nabiyullah. Begitulah, telah banyak orang yang memijiti kaki beliau, tetapi beliau tak pernah berkomentar seperti itu. Namun aku tetap memiliki sejumlah pertanyaan itu. Dan pertanyaan pertama yang aku ajukan kepada beliau adalah: Hadhrat Rasulullah Saw biasa menceritakan wahyu Ilahi yang baru beliau terima kepada ibu susunya, Aiman [Halimah], sehingga seringkali membuatnya sangat berbahagia. Dengan wafatnya Hadhrat Rasulullah Saw, maka Hadhrat Abu Bakar r.a. pun menjadi Khalifah, yang pada suatu kali mengunjungi Aiman [Halimah] ini, ia pun menangis. Sehingga Hadhrat Abu Bakar r.a. pun bertanya: Mengapa ibu menangis ? Bukankah setiap insan pasti akan merasai mautnya ?! Ia menjawab: Aku menangis karena dengan wafatnya Hadhrat Rasulullah Saw, terputuslah sudah turunnya wahyu Ilahi. Bila hal ini demikian, mengapa pula tuan mengatakan, bahwa tuan menerima sesuatu wahyu Ilahi ?! Hadhrat Masih Mau’ud a.s. balik bertanya atas serangkaian pertanyaanku dengan satu pertanyaan: ‘Bukankah Al Qur’an Karim telah menyatakan kita kaum Muslimin sebagai suatu ‘khair ummah’ ?’ Aku jawab: Ya Beliau a.s. bertanya lagi: Bukankah murid-murid setia Hadhrat Isa a.s., dan bahkan juga lebah madu menerima wahyu Ilahi ?’ Aku jawab: Ya Beliau a.s. bertanya lagi: Jika demikian, bagaimana mungkin suatu ‘khair ummah’ dari Hadhrat Rasulullah Saw lebih rendah dibandingkan para murid Jesus, bahkan juga kawanan lebah ?
Sedangkan di dalam Surah Al Fatihah, kita senantiasa berdoa sedemikian rupa:
ِIهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
yakni. tunjukilah kami jalan yang lurus. Dan juga:
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
yakni, jalan yang telah Engkau beri nikmat karunia atas mereka.’ Adapun yang dimaksud dengan salah satu ‘inam’ atau nikmat karunia tersebut adalah adanya wahyu petunjuk Ilahi. Maka bagaimana mungkin karunia tersebut terputus bagi Ummat Muslim ? Kemudian beliau a.s. mengutip beberapa ayat Al Quran Karim untuk menguatkan dalil beliau tersebut. Namun aku masih penasaran: ‘Ya memang karunia nikmat wahyu Ilahi tak akan terputus. Tetapi mengapakah Aiman [Halimah] mengatakannya begitu ? Apakah beliau itu tak mengetahui adanya ayat-ayat Quran yang tuan sampaikan kepadaku ?’ Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjawab: ‘Yang dimaksudkan oleh [Hadhrat] Aiman [Halimah] tersebut adalah ‘Al Wahyi’ yang merujuk kepada wahyu syariat dalam bentuk Kitab Suci Al Qur’an; yang memang terputus setelah Hadhrat Rasulullah Saw wafat.’
Maka setelah soal-jawab itu, akupun tak pernah mengajukan sesuatu pertanyaan keberatan lainnya. Tambahan lagi, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberikan suatu Dars yang masuk di akal dan meyakinkan qalbuku, yang menjawab semua pertanyaan yang masih tersisa di sakuku.
Sehingga akupun terperangah dan terbersit dalam pikiranku: Jika tak menerima wahyu petunjuk Ilahi, mana mungkin Hadhrat Mirza sahib ini dapat menjawab berbagai pertanyaan atau keberatan yang musykil ? Maka akupun menyampaikan hasratku untuk Bai’at langsung di tangan beliau a.s.. Setelah Bai’at itu, keimananku semakin hari semakin teguh lagi. Kemudian, ketika aku pulang ke ‘kampung halamanku, aku sampaikan perihal Bai’atku itu kepada seluruh kaum [Ahli Hadith]-ku, yang aku ‘pikir mereka pun akan mengikutinya. Akan tetapi mereka malah memusuhi. Bahkan berencana akan membunuhku. Namun aku menghadapi semua itu dengan istiqamah. Aku mendapat kemuliaan menjadi Mubaligh Jamaat selama tak kurang dari 18 tahun, dengan hasil sekira 300 orang yang Baiat masuk ke dalam Jamaat Ahmadiyah sebagai usaha pertablighanku.’
Demikianlah, semoga Allah Swt memberi hujan ganjaran pahala rahmat dan karunia-Nya ribuan kali lipat kepada para pendahulu kita. Dan semoga pula Allah Taala memberi taufik kepada kita untuk memuliakan kewajiban pernyataan Bai’at tersebut.
oo0O0oo
MMA/LA/10262012