Monday, June 9, 2014

Intisari Cinta Sejati Kepada Allah Ta’ala




أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك لـه، وأشهد أن محمّدًا عبده
ورسوله. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرّجيم.



بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ *
الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ
نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ،



Hadhrat Masih Mau’ud ’alaihish shalaatu was salaam dalam memberi
nasihat secara mendasar terhadap orang-orang yang baru baiat. Beliau
as bersabda: “Setelah baiat hendaknya setiap orang mengadakan
perobahan suci dalam diri pribadi, menjalin hubungan erat dengan Tuhan
mereka dan berusaha untuk meningkatkan mutu akhlak.”

Dalam Khutbah hari ini, akan saya kemukakan kutipan dari beberapa
tulisan-tulisan dan sabda-sabda Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengenai
kecintaan sejati kepada Allah Ta’ala Dalam tulisan-tulisan itu Hadhrat
Masih Mau’ud a.s. menjelaskan kecintaan sejati beliau terhadap Allah
Ta’ala, hakikatnya, rahasia untuk meraihnya dan keistimewaannya serta
philosophynya. Beliau juga menjelaskan bagaimana standar kecintaan
terhadap Allah Ta’ala yang harus dimiliki oleh kita orang-orang yang
telah beriman kepada beliau dan masuk kedalam Jema’at beliau, dan
setakat mana yang diharapkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s dari kita
semua. Dari segi ini, setiap tulisan tentang itu patut direnungkan
sebagai panduan bagi kita, oleh sebab itu perlu sekali diperhatikan
agar kita faham intisari dari kecintaan Ilahi supaya kita dapat
meningkatkan serta memperbaiki kecintaan kita sendiri terhadap Allah
Ta’ala.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Mahabbat (kecintaan) bukanlah
suatu perkara yang di-buat2 atau berpura-pura. Melainkan satu faktor
kekuatan dari antara faktor kekuatan-kekuatan yang terdapat di dalam
diri manusia. Yang hakikatnya adalah apabila hati manusia menyukai
sesuatu kemudian ia tertarik kepadanya. Sebagaimana nilai khas setiap
benda dapat dirasakan dengan jelas apabila ia telah sampai kepada
puncak keistimewaannya. Itulah kedudukan mohabbat (kecintaan).
Intisarinya juga nampak secara terbuka apabila ia sudah sampai kepada
peringkat kesempurnaannya yang tertinggi. Seperti Allah Ta’ala
berfirman: أُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ ‘usyribuu fii
quluubihimul ‘ijla.’ Yakni; Kecintaan mereka begitu dalam kepada anak
lembu, seolah-olah diminumkan seperti minuman ‘syarbat’ ke dalam hati
mereka. (Al Baqarah:94). Hakikatnya, orang yang mempunyai kecintaan
sempurna terhadap seseorang seolah-olah ia meminumnya atau
menyantapnya. Ia mencelupkan dirinya kedalam warna akhlaq dan
perangainya. Semakin dalam kecintaan terhadapnya, secara alami semakin
tertarik terhadap sifat-sifat orang yang dicintainya itu sehingga ia
menjadi gambaran ruh kekasihnya itu. Itulah juga rahasia orang yang
mencintai Tuhan, dia memperoleh nur Tuhan sebagai bayangan-Nya sesuai
dengan nilai kekuatan rohaniahnya. Sedangkan orang yang mencintai
setan ia memperoleh kegelapan yang terdapat pada wujud setan.[2]

Jadi, Hadhrat Masih Mau’ud as telah menjelaskan bahwa itulah rahasia
mahabbat yaitu menerapkan sifat-sifat Allah Ta’ala pada diri kita.
Sebagaimana telah dijelaskan mengenai ma’rifat di dalam
Khutbah-khutbah yang lalu, selama manusia tidak mengetahui semua
sifat-sifat Allah Ta’ala, pengertian ilmu atau ma’rifat Ilahi tidak
dapat dia hasilkan. Setelah manusia memperoleh ma’rifat barulah ia
memperoleh kecintaan. Kecintaan akan menjadi sempurna apabila manusia
memperoleh sifat-sifat Allah Ta’ala dan menerapkan sifat-sifat-Nya itu
pada dirinya, sehingga ia diwarnai oleh sifat-sifat-Nya dan memperoleh
nur-Nya.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Hakikat mahabbat menuntut agar
manusia dengan hati yang tulus mencintai semua sifat kekasihnya,
akhlak dan budi pekertinya, dan berusaha dengan sepenuh hati dan
jiwanya untuk menyerahkan diri dan fana dalam diri kekasihnya hingga
dapat menjalani kehidupan yang diraih oleh kesayangannya itu. Sang
pecinta sejati terbenam dalam kecintaan terhadap kekasihnya. Sang
pecinta sejati menyerahkan diri sepenuhnya kepada kekasihnya dan
penampakan dari air muka kekasihnya meninggalkan kesan berupa gambar
di dalam lubuk hatinya, seolah-olah kekasihnya telah menembus
kalbunya. Dan dikatakan bahwa dia telah menyerap warna kekasihnya dan
menzahirkan kepada manusia bahwa sesungguhnya dia telah menghilang
didalam wujud kekasihnya.”[3]

Dalam menjawab kritikan seorang Padri (pendeta), Fateh Masih,
berkenaan dengan standar mahabbat (kecintaan) Ilahi di dalam Islam,
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan dalam jawabannya: ”Kemudian,
anda mengkritik bahwa, orang-orang Islam tidak menyintai Allah dengan
kecintaan yang kosong dari kepentingan dan pamrih, dan mereka tidah
tahu bahwa Allah seharusnya dicintai atas keindahan-Nya secara Dzaat
(pribadi).

Maka jawabannya adalah, sesungguhnya kritikan itu tidak kena-mengena
dengan ajaran Al-Qur’anul Karim melainkan berkenaan dengan Injil.
Sebab sekali-kali tidak terdapat di dalam ajaran Injil agar manusia
secara pribadi harus mencintai Tuhan dan harus beribadah kepada-Nya
dengan kecintaan pribadinya itu. Tetapi, sebaliknya, Al Qur’an penuh
dengan ajaran itu. Al Qur’an dengan jelas menerangkan bahwa:
فَاذْكُرُوا اللهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا Yakni;
Ingatlah kepada Allah sebagaimana kalian mengingat bapak-bapak kalian,
bahkan lebih banyak dari itu (Al-Baqarah:201). Kemudian berfirman
lagi: وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ Yakni; Kelebihan
orang-orang mu’min adalah mereka mencintai Allah lebih dari mencintai
yang lain. (Al Baqarah: 166). Yakni kecintaan mereka kepada
bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara mereka bahkan kepada jiwa mereka
sendiri pun tidak melebihi kecintaan terhadap Allah Ta’ala. Dan Allah
Ta’ala berfirman lagi, حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي
قُلُوبِكُمْ Yakni: Sesungguhnya Allah telah menjadikan kamu cinta
kepada keimanan dan telah menampakkannya indah di dalam hatimu. (Al
Hujurat:8). Dan Dia berfirman lagi: إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى Yakni: Sesungguhnya Allah
menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan dan memberi kepada kaum
kerabat (An Nahl: 91) Ayat ini mengandung perintah untuk menegakkan حق
الله hak Allah Ta’ala dan حق العباد hak sesama manusia dan
keistimewaan ayat ini adalah di dalamnya Allah Ta’ala telah
menjelaskan kedua aspek itu.[4]

Hadhrat Masih Mau’ud as telah menjelaskan dengan gamblang dalam buku
‘Nuurul Qur’aan’ yang dari buku itu kutipan-kutipannya saya bacakan
dan beliau menyebutkan mengenai حقوق العباد huquuqul ‘ibaad. Tentang
huquuqul ‘ibaad ini beliau a.s. menguraikan bahwa yang dimaksud
dengannya ialah orang Mu’min harus bersikap kasih sayang kepada
orang-orang kafir juga. Lebih jauh lagi, orang-orang Mu’min perlu
menaruh simpati kepada mereka dan merasa prihatin terhadap penyakit
rohaniah dan penyakit jasmaniah yang dialami oleh mereka. Inilah yang
dimaksud dengan penunaian huquuqul ‘ibaad. Yakni sekalipun orang
kafir, apabila ia mendapat gangguan penyakit jasmaniah maupun rohaniah
orang Mumin hendaknya menjadi penghibur baginya. Itulah huquuqul
‘ibaad.

Dalam hal ini terjawab juga pertanyaan mengenai bagaimana mungkin
menyayangi orang kafir? Sebagian orang mengkritik kita dengan
mengatakan, “Para Ahmadi mengatakan, love for all hatred for none
(Cinta Kasih Bagi Semua, Tiada Kebencian Bagi Siapa pun), bagaimana
mungkin mereka dapat mengamalkannya?”

Beliau as bersabda bahwa yang dimaksud dengan bersimpati dengan mereka
ialah dengan bersikap ishlah (baik dan bersifat perbaikan) kepada
mereka dan memenuhi keperluan-keperluan mereka. Bersimpati kepada
mereka bukan berarti menyokong kepercayaan-kepercayaan syirik mereka
atau tertarik oleh perkataan-perkataan mereka yang bersifat menentang
atau masuk kedalam golongan mereka.

Kecintaan terhadap seorang Mumin, jika ia seorang Mumin sejati,
kecintaan terhadapnya adalah meniru cara hidupnya yang baik dan
kebaikan-kebaikan yang ada padanya. Jika ia mempunyai
keburukan-keburukan, ia harus dinasihati dengan nasihat ajaran Agama.

Adapun simpati secara umum adalah mencintai setiap orang dan kecintaan
ini bukan berarti bahwa karena sangat mencintainya, manusia juga harus
meniru keburukan-keburukan atau adat kebiasaan buruk orang lain.

Kemudian beliau a.s. juga menyebutkan tentang huquuqul ‘ibaad yang
diantaranya ialah dengan memberi makan kepada orang yang lapar,
membebaskan para sahaya, membantu membayar hutang orang yang banyak
hutang, atau meringankan beban orang yang menanggung banyak beban.
Adil عدل juga termasuk huquuqul ‘ibaad. Setingkat lebih dari adil
ialah berlaku ihsaan احسان dan berlaku ihsaan adalah berbuat baik
tanpa membeda-bedakan agama atau golongan. Itu juga huquuqul ‘ibaad
yaitu orang Mu’min wajib untuk mencintai umat manusia secara umum,
akan tetapi tujuannya hanyalah untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala
semata. Terutama disebabkan gelora kecintaan terhadap Allah Ta’ala.[5]

Khusus dari segi hak Allah حق الله, makna dari ayat berikut ini: إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku
adil” adalah menaati Allah Ta’ala secara adil. Sebabnya, “Dia Yang
telah menciptakan kamu, memelihara dan menumbuhkan kamu di setiap
waktu dan tempat adalah hak-Nya bahwa kamu menaati-Nya. Jika kamu
memiliki bashiirah (pengertian yang lebih mendalam), maka engkau tidak
menaati-Nya hanya karena hak-Nya untuk ditaati melainkan engkau
menaati-Nya karena ihsaan. Sebab Dia adalah Muhsin yakni pelaku banyak
sekali ihsaan. Perlakuan ihsaan-Nya demikian banyak hingga tidak dapat
dihitung.” Jelas dan gamblang, bahwa dalam melakukan ketaatan derajat
ihsaan lebih tinggi dari derajat ‘adl. Dan disebabkan setiap tempat
dan waktu selalu merenungkan dan terpatri dalam jiwanya pengertian
ihsaan sehingga natijahnya membuat perangai dan bentuk airmukanya
seperti perangai Muhsin (Maha Berbuat Ihsaan). Oleh sebab itulah dalam
pengertian ihsaan termasuk dalam perkara berikut ini; Beribadah-lah
kepada-Nya seolah-olah kamu sedang melihat wujud-Nya.

Apabila rupa Muhsin terpampang dalam ingatan, maka akan ingat juga
kepada perlakuan احسان-Nya. Dan apabila ingat kepada احسان-Nya dan
rupa Muhsin terpampang dalam ingatan-nya maka dibawah احسان-Nya itu
ada lagi tambahan احسان.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:” احسان Allah Ta’ala adalah:
Beribadah-lah kepada-Nya seolah-olah kamu sedang melihat wujud-Nya.
Sesungguhnya orang yang patuh-ta’at kepada Allah Ta’ala terbagi kepada
tiga macam. Pertama, mereka yang disebabkan Tuhan tidak Nampak
sedangkan barang-barang zahiriah lainnya nampak, tidak memeriksa
dengan sebaik-baiknya ni’mat-ni’mat Allah Ta’ala. Yakni Allah Ta’ala
di balik tabir, tidak nampak kepada manusia. Sedangkan barang-barang
duniawi jelas nampak dan tahu juga keadaannya bahkan manusia dapat
merasakannya juga. Maka apabila barang-barang duniawi nampak di
hadapan mata, maka manusia tidak merasa adanya wujud pencipta
barang-barang itu, yaitu Tuhan. Oleh sebab itu manusia mulai mencintai
barang-barang duniawi itu.

Kemudian beliau as bersabda, “Manusia yang menaati Allah Ta’ala
terbagi menjadi tiga macam. Pertama, orang-orang yang tidak melihat
dan tidak merenungkan kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala dengan
sebaik-baiknya. Sebabnya adalah, Allah Ta’ala tersembunyi di balik
tabir, sedangkan barang-barang lainnya nampak di hadapan mata mereka.
Dan tidak ada gejolak yang bisa timbul karena merenungkan keagungan
احسان Allah Ta’ala dan tidak ada pula kecintaan tergerak di dalam hati
mereka yang bisa timbul karena membayangkan anugerah sangat besar dari
Muhsin Tuhan Yang Maha Pengasih. Melainkan hanya mengakui Allah Ta’ala
sebagai Pencipta bukan sebagai Muhsin Yang Maha Pengasih. Walhasil,
mereka secara keseluruhan menyatakan diri sebagai Muslim, namun
sebagai makhluk mereka hanya mengakui hak-hak Allah Ta’ala sebagai
Pencipta mereka. Penyelidikan penuh perhatian terhadap احسان Ilahi
bisa membawa Muhsin Hakiki kehadapan pandangan matanya, namun
sekali-kali mereka tidak dapat menyaksikannya.

Kabut cinta kebendaan tidak memberi mereka kemampuan untuk menyaksikan
secara sempurna keindahan Muhsin Hakiki. Sebab secara zahir mereka
tidak mempunyai pandangan jelas yang sungguh diperlukan untuk
menyaksikan keindahan Tuhan sebagai Pemberi Anugerah.

Telah diketahui bahwa Muhsin Hakiki ialah Allah yang telah memberikan
kepada manusia segala sesuatu, namun mereka tidak melihat
kebaikan-Nya.

“Keaiban (kekurangan atau kecacatan) ma’rifat (pengetahuan mendalam)
mereka tentang Ilahi telah dicemari oleh barang-barang dunia dan
disebabkan oleh hal itu mereka tidak dapat menyaksikan perlakuan ihsan
Allah Ta’ala. Mereka sendiri tidak menaruh perhatian terhadap hal itu
yang seharusnya mereka lakukan di waktu merenungkan kebaikan-kebaikan
Allah Ta’ala, yang karenanya wajah Muhsin Hakiki harus nampak di
hadapan mata mereka. Bahkan pengertian dan ma’rifat Ilahi mereka telah
buram dan kabur. Sebabnya adalah, sebagian karena mereka terlalu
percaya kepada kemampuan dan kekuatan diri sendiri dan sebagian lagi
karena percaya kepada sifat Allah Ta’ala sebagai Khaliq (pencipta) dan
Razzaq (pemberi rizki) namun hanya sebagai pengertian belaka. Karena
Allah Ta’ala tidak memberi suatu beban pengertian kepada manusia
diluar kemampuan pemahaman-nya, oleh sebab itu selama manusia berada
di dalam kemampuannya itu, dia menghendaki agar dia mensyukuri
hak-hak-Nya dan di dalam ayat : ِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِYakni: Sesungguhnya Allah menyuruh manusia berlaku adil.
Adil di sini maksudnya ita’at dan jujur, yakni menaati Allah dengan
jujur.”

Karena mereka tidak mampu mengetahui secara sempurna tentang
Khaliqiyyat (pencipta) Allah Ta’ala dan Razziqiyyat-Nya (sifat-Nya
sebagai pemberi rizki), seandainya mereka menyatakan secara lisan
tentangnya, maka sedemikian itu pula Allah Ta’ala berlaku kepadanya
sesuai dengan keadaannya dan sesuai dengan kadar kesyukuran mereka.
Hal ini karena sesuai dengan tuntutan keadilan-Nya untuk memberi
mereka sesuai dengan kadar tersebut dan karena mereka juga menganggap
kadar nilai sikap perlakuan-Nya tersebut sudah cukup bagi mereka.

[Kedua], “Tetapi, ada lagi derajat yang lebih agung dari pengetahuan
dan ma’rifat Allah Ta’ala yang dimiliki manusia. Yakni, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, jika pandangan manusia sama sekali sudah
bersih dan suci dari sarana barang-barang duniawi maka ia dapat
menyaksikan tangan karunia dan ihsan Allah Ta’ala. Dalam kedudukan
rohaniah seperti ini manusia keluar dari tabir kegelapan barang-barang
duniawi dan perkataan seperti ini, ‘Tanaman saya berhasil dipanen
karena saya sendiri telah mengairinya, dan saya telah berhasil karena
kekuatan usaha saya sendiri.’ Atau, ‘Karena kebaikan Zaid semua urusan
sudah berhasil dan karena perlindungan Bakar saya sudah selamat dari
mara bahaya.’ Perkataan-perkataan tersebut nampak batil semuanya. Jika
nampak hanya satu Wujud, satu Kekuatan, satu Muhsin dan satu Tangan,
barulah manusia dengan pandangan bersih dapat melihat ni’mat Tuhan
dengan sangat jelas, tanpa disertai suatu kabut kegelapan. Manifestasi
ini begitu jelas dan pasti bahwa manusia tidak menganggap Tuhan Maha
Pemurah tidak hadir di waktu ibadah sedang dilakukan kepada-Nya,
bahkan yakin sekali bahwa ia menganggap Tuhan hadir di waktu sedang
dilakukan ibadah kepada-Nya. Dan ibadah seperti itu di dalam
Al-Qur’anul Karim disebut احسان. Dalam Kitab Hadis Shahihain (Dua
Shahih, yaitu Bukhari dan Muslim) juga Hadhrat Rasulullah saw telah
menjelaskan ibadah seperti itu adalah احسان ihsaan.

[Ketiga], “Setelah meraih derajat ini masih ada lagi derajat lain yang
disebut; "إيتاء ذي القربى" Yakni; memberi kepada kaum kerabat
(An-Nahl: 91). Tafsirnya adalah: Apabila manusia menghargai ni’mat
Allah Ta’ala sampai waktu tertentu, menyaksikan kebaikan-kebaikan
Allah Ta’ala tanpa disertai pandangan barang-barang duniawi lain,
sambil menganggap-Nya Muhsin Hakiki terus-menerus beribadah
kepada-Nya, maka natijah dari padanya timbul kecintaan pribadi
terhadap Allah Ta’ala. Sebab akhir dari pada merenungkan
kebaikan-kebaikan secara dawam menciptakan perasaan syukur dan lambat
laun kalbu-nya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan yang ihsan-Nya
tidak terbatas itu menimbulkan kesan kepadanya. Dalam keadaan demikian
dia tidak beribadah tanpa perasaan احسان dan kecintaan khas terhadap
Tuhan tertanam di dalam kalbunya, seperti seorang kanak-kanak
mempunyai kecintaan khas kepada ibunya. Sekarang bukan saja ia melihat
Tuhan di waktu beribadah tetapi ia merasakan juga lazatnya beribadah.
Dan semua keinginan nafsunya hilang sirna dialih tempat oleh kecintaan
khasnya kepada Tuhan. Dan itulah martabah yang Allah Ta’ala sendiri
menta’birkan dengan firman-Nya: "إيتاء ذي القربى" memberi kepada kaum
kerabat (An Nahal: 91). Dan kepada ayat berikut inilah Allah Ta’ala
mengisyarahkan yakni: Yakni: فَاذْكُرُوا اللهَ كَذِكْرِكُمْ
آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا Ingatlah kepada Allah sebagaimana
kalian mengingat bapak-bapak kalian, bahkan lebih banyak dari itu (Al
Baqarah:201).Pendeknya, seolah-olah ayat tersebut sebagai tafsir dari
ayat berikut ini: Yakni: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى Sesungguhnya Allah menyuruh
berlaku adil dan berbuat kebaikan dan memberi kepada kaum kerabat (An
Nahl: 91) Dan di dalam ayat tersebut Allah Ta’ala telah menjelaskan ke
tiga martabah ilmu dan ma’rifat manusia terhadap Allah Ta’ala.
Martabat ketiga disebut cinta pribadi. Martabat inilah yang membakar
hangus semua keinginan nafsu pribadi atau sifat mementingkan diri
pribadi. Kalbu manusia penuh dengan kecintaan seperti penuhnya sebuah
botol kaca dengan minyak wangi. Dan martabah ini mengisyaratkan kepada
ayat berikut: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ Dan di antara manusia
ada yang menjual dirinya untuk mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha
Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya. (Al Baqarah:208) Kemudian
berfirman lagi: بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ
يَحْزَنُونَ Orang-orang yang mendapat keselamatan adalah mereka yang
menyerahkan diri mereka kepada Allah dan sambil mengingat
ni’mat-ni’amat-Nya mereka beribadah sedemikian rupa seolah-olah mereka
sedang melihat-Nya. Dan mereka itulah yang akan menerima ganjaran dari
Tuhan mereka. Dan tak ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula
mereka akan bersedih. (Al Baqarah:113).

Yakni seruan mereka hanyalah kepada Tuhan, dan kecintaan Tuhan menjadi
tujuan keinginan mereka dan ni’mat-ni’mat Tuhan sebagai ganjaran bagi
mereka. Kemudian di tempat lain Allah Ta’ala berfirman: يُطْعِمُونَ
الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا * إِنَّمَا
نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا
شُكُورًا Orang-orang mu’min adalah karena cinta kepada Allah memberi
makan kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim dan kepada
orang-orang tahanan (di penjara). Dan mereka berkata: Dengan memberi
makan kepada kamu kami tidak mengharapkan balasan apapun dan tidak
mengharapkan ucapan terima kasih dari kamu dan tidak pula kami
mengharapkan sesuatu. Tujuan dari semua pengkhidmatan ini hanyalah
demi meraih keridhaan Allah. (Ad Dahr: 9-10). Sekarang perlu
direnungkan betapa jelas maksud dari semua ayat tersebut diatas bahwa
Al Qur’anul Karim telah menetapkan bahwa ibadah Ilahi yang tinggi
martabahnya dan amal saleh, dilakukan dengan hati yang jujur dan tulus
demi mengharapkan kecintaan dan ridha Ilahi. Allah Ta’ala memberi nama
Agama ini Islam dengan maksud agar manusia beribadah kepada Allah
Ta’ala karena semangat keinginan fitrati bukan karena semangat
keinginan nafsani. Sebab Islam berarti membuang semua keinginan
nafsani dan menyerahkan diri dengan tulus hati kepada keinginan Allah
Ta’ala. Selain Islam tidak ada agama lain yang mempunyai maksud dan
tujuan seperti itu. Tidak ragu lagi, sebagai tanda karunia-Nya, Allah
Ta’ala telah menjanjikan kepada orang-orang mu’min semua jenis
karunia. Akan tetapi, orang-orang mu’min yang memiliki keinginan untuk
meraih martabah yang tinggi telah mengajarkan kepada mereka agar
beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh kecintaan pribadi
terhadap-Nya.”[6]

Mengenai tanda kecintaan yang sejati, Hadhrat Masih Mau’ud a.s.
bersabda: ”Mahabbah (kecintaan) adalah suatu hal yang sangat ajaib.
Api kecintaan itu membakar api dosa, dan membakar hangus api
kedurhakaan. Jika seseorang telah memperoleh kecintaan sejati dan
kamil tidak mungkin azab menimpanya.

Salah satu dari tanda kecintaan sejati adalah, sudah tertanam di dalam
fitratnya bahwa ia merasa takut sekali putus hubungan dengan
kekasihnya. Dan karena kesalahan kecil saja menganggapnya suatu
kebinasaan bagi dirinya. Dan melawan kekasihnya dianggap racun
baginya. Dan lagi sangat rindu sekali untuk menjumpai kekasihnya,
merasa sangat sedih sekali disebabkan berpisah dan jauh dari padanya,
seakan-akan jiwanya melayang. Oleh sebab itu tidak hanya menganggap
dosa terhadap perkara yang dianggap biasa oleh manusia, jangan
membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan berzina, jangan mencuri,
jangan memberi kesaksian palsu, bahkan terhadap kelalaian yang sangat
kecil sekalipun, yang meninggalkan Tuhan kemudian berpaling kepada
yang lain dianggap sebuah dosa yang sangat besar sekali. Oleh sebab
itu ia memohon ampun dengan melakukan istighfar secara dawam kepada
Kekasihnya Yang Abadi. Oleh karena fitratnya tidak ridha menjauh dari
Tuhan-nya, maka jika sedikit saja terjadi kelalaian maka ia
menganggapnya sebuah dosa besar laksana sebuah gunung. Itulah
rahasianya hubungan suci dan kamil, selalu membuat sibuk melakukan
istighfar. Sebab sudah menjadi tuntutan kecintaan bahwa seseorang
selalu ingat kepada Kekasih Sejati-nya, jangan-jangan Dia marah
kepadanya. Dan oleh karena di dalam hatinya penuh dengan rasa dahaga
untuk membuat Dia ridha sepenuhnya, karena itu jika Tuhan
memberitahunya bahwa Dia ridha kepadanya, maka seperti seorang pemabuk
tidak cukup dengan hanya minum satu kali, dia akan minta minum lagi,
demikian juga apabila mata air kecintaan Ilahi memancar dari dalam
hati manusia, maka secara fitrati ia ingin meraih keridhaan Allah
Ta’ala sebanyak-banyaknya.”

Artinya, sekalipun Allah Ta’ala berfirman kepada manusia, “Aku telah
ridha kepadamu”, sama sekali membuatnya terdorong untuk puas dan
duduk-duduk saja dengan tenang, melainkan pengabaran dari Allah Ta’ala
tentang keridhaan-Nya mendorong manusia untuk memperbanyak
beristighfar dan membuatnya terus bertekun dalam beribadah.

“Semakin kuat kecintaan bergejolak, maka semakin banyak manusia
beristighfar kepada Allah Ta’ala. Pendeknya, disebabkan semakin banyak
kecintaan kepada Allah Ta’ala, maka semakin banyak manusia melakukan
istighfar. Inilah sebabnya kecintaan secara sempurna kepada Allah
Ta’ala membuat setiap denyut nafas manusia penuh dengan istighfar. Dan
tanda paling besar bagi orang yang ma’shum (terjaga atau suci dari
dosa) ialah selalu sibuk dalam istighfar.

Makna hakiki istighfar adalah berdoa memohon pertolongan kepada Allah
Ta’ala agar terlepas dari setiap keburukan dan kesalahan yang berlaku
disebabkan kelemahan manusiawi, dan agar dengan karunia Allah Ta’ala,
kelemahan itu jangan sampai nampak ke permukaan, bahkan tetap
tersembunyi. Kemudian, arti Istighfar untuk manusia umumnya diperluas
lagi, dan masalah ini juga termasuk di dalam istighfar; orang yang
telah terlanjur berbuat keburukan dan kesalahan, Allah Ta’ala
melindungi akibat buruk dan pengaruh racun kejahatannya di dunia ini
dan akhirat juga. Maka, sumber hakikat najat (keselamatan) adalah
kecintaan pribadi terhadap Allah Ta’ala. Yang, sebaliknya menarik
kecintaan Allah Ta’ala melalui perangai lemah lembut manusia,
penyerahan diri dan istighfar secara dawam. Dan apabila kecintaan
manusia telah sampai ke puncak martabah yang sempurna dan api
kecintaan membakar nafsu insaniatnya, maka api kecintaan Tuhan itu,
yang Dia lakukan terhadap hamba-Nya, akan jatuh masuk kedalam kalbunya
dan akan membersihkan semua karat dan noda kotor yang terdapat di
dalam kalbu-nya. Dan Kesucian Tuhan, Yang Hayyu Qayyum masuk kedalam
jiwanya, bahkan ia memperoleh bagian bayangan dari semua Sifat-sifat
Ilahiyah, maka barulah dia menjadi penampakan dari Tajali Ilahiyah.
Dan semua yang tersembunyi di balik Khazana Tuhan yang kekal akan
dibukakan kepada dunia melalui dia. Sebab, Tuhan Yang telah
menciptakan dunia ini tidak kikir, bahkan berkat-berkat-Nya kekal
abadi. Dan nama serta sifat-sifat-Nya tidak akan terkendala.”[7]

Menjelaskan tentang menjauhkan diri dari dosa-dosa dan bagaimana
penumbuhan amal saleh mustahil dilakukan tanpa ditumbuhkannya
kecintaan kepada Allah, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
”Hakikatnya, dosa adalah sebuah racun yang lahir ketika manusia tidak
menaati Allah Ta’ala dan tidak mencintai-Nya dengan sesungguhnya dan
tidak mengingat-Nya dengan penuh kecintaan. Sebagaimana sebatang pohon
yang sudah tumbang di atas tanah dan akar-akarnya tidak bisa lagi
menghisap air maka dari hari ke hari pohon itu semakin kering dan
hancurlah semua kesuburannya. Seperti itulah juga keadaan manusia yang
hatinya sudah jauh dari kecintaan Allah Ta’ala. Maka dosa-pun
membinasakan manusia seperti kekeringan mematikan sebatang pohon.

Untuk mengobati kekeringan itu undang-undang Ilahi telah menetapkan
tiga cara. Pertama, mahabbat (cinta), kedua, istighfar, artinya
keinginan menekan dan menutupi dosa jangan sampai nampak. Sebab Selama
akar sebatang pohon tetap tertanam di dalam tanah, selama itu pula ia
mempunyai harapan untuk menghijau; dan ketiga, taubah. Yakni menghisap
air kehidupan, meraih qurub kepada Tuhan sambil merendahkan diri dan
menjalin ingatan terhadap-Nya dan membebaskan diri dari kegelapan dosa
melalui amal-amal saleh.”

Yakni untuk menyingkirkan tabir yang menutupi dosa diperlukan
amal-amal saleh. Amal saleh untuk menyingkirkan tabir dosa itu,
seperti pernah dijelaskan di dalam Khotbah-khotbah lalu, diperlukan
kekuatan tekad, terciptanya ilmu dan kekuatan amal. Jika mendapat
taufiq untuk melakukan amal saleh maka manusia terlepas dari pada
dosa.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Hendaklah jelas, bahwa taubat
hanya di mulut saja tidak cukup. Taubat yang sempurna harus disertai
amal saleh yang dapat membawa manusia dekat kepada Tuhan. Semua amal
kebaikan fungsinya untuk menyempurnakan taubat karena tujuan dari
taubat itu manusia bisa dekat kepada Allah Ta’ala. Do’a juga adalah
taubat. Sebab dengan do’a, manusia meraih qurb kepada Allah Ta’ala.
Itulah sebabnya ketika Allah Ta’ala menciptakan jiwa manusia diberinya
nama روح Ruh, sebab kegembiraan dan kesenangannya [bahasa Arabnya راح
raaha] yang hakiki terletak pada pengakuan terhadap Allah Ta’ala,
kecintaan dan ketaaatan kepada-Nya. Dia juga telah menyebutnya نفس
Nafs (jiwa) sebab ia menciptakan persatuan dengan Allah Ta’ala.”

Dikatakan Ruh, sebab ia memperoleh kesenangan. Dikatakan Nafs sebab ia
mempunyai sifat persatuan. Demikianlah point-point yang telah beliau
a.s. jelaskan.

“Orang yang mencintai Tuhan adalah seperti sebatang pohon yang tumbuh
dengan akar kuat di dalam taman. Itulah puncak kebahagiaan manusia.
Laksana sebuah pohon yang menghisap dan menyerap air dari dalam bumi
dan melaluinya membuang keluar benda-benda yang membahayakan.
Demikianlah pula hati manusia dengan menghisap air kecintaan Ilahi,
memperoleh kekuatan untuk mengeluarkan semua benda-benda beracun atau
dosa. Dan dengan sangat mudah sekali mengelurkan benda-benda itu.
Dengan membenamkan diri dalam kecintaan Allah Ta’ala akan memperoleh
pertumbuhan ruhani yang suci. Tumbuh dengan subur dan luas, nampak
segar menghijau dan mendatangkan buah yang sangat baik. Akan tetapi
orang yang tidak mempunyai akar hubungan dengan Allah Ta’ala, ia tidak
dapat menghisap air yang mengayomi pertumbuhan. Ia menjadi kering
bersamaan dengan berlalunya waktu, akhirnya daun-daunnya juga
berjatuhan dan yang tinggal hanya dahan-dahan yang kering-kerontang.
Karena kekeringan dosa timbul akibat dari tiadanya hubungan, maka obat
yang ampuh untuk mencegah kekeringan itu tiada lain adalah menciptakan
hubungan yang erat dan kuat.”

Ciptakanlah hubungan yang kuat dan erat dengan Allah Ta’ala. Jika
tidak, manusia akan menjadi seperti pohon kering, maka kehidupan
ruhaninya akan hilang total. Sebagaimana peraturan alam menjadi saksi,
kearah itulah Allah Ta’ala Yang Maha Perkasa berfirman:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ * ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ
رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً * فَادْخُلِي فِي عِبَادِي * وَادْخُلِي جَنَّتِي

”Hai jiwa yang mendapat ketenteraman dari Tuhan! Kembalilah kepada
Tuhan engkau, Yang ridha kepada engkau dan engkau ridha kepada-Nya.
Maka masuklah engkau kedalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah
kedalam Surga-Ku.” (Al Fajr : 28-31).

Pendeknya, pengobatan untuk menjauhkan dosa hanyalah kecintaan dan
isyq (keasyikan) terhadap Allah Ta’ala. Oleh sebab itu semua amal
saleh natijah dari kecintaan, dapat memadamkan api dosa. Sebab manusia
yang berbuat baik karena Allah, maka Dia memberi kesaksian terhadap
cinta kepada-Nya. Percaya kepada Allah seperti itu, mendahulukan-Nya
atas segala sesuatu sampai atas jiwanya juga, maka itulah martabah
pertama kecintaan, seperti sebatang pohon yang ditanam diatas tanah.
Martabah kedua, istighfar yang artinya, jika memisahkan diri dari
Allah Ta’ala, takut jangan-jangan tersingkap pardah wujud
kemanusiaannya yang lemah. Dan martabah ini serupa dengan keadaan
pohon yang telah tumbuh akarnya dengan kuat di dalam tanah. Dan
martabah ketiga : taubah yang keadaannya serupa dengan pohon yang
akar-akarnya dekat dengan air, menghisapnya seperti seorang anak.
Pendeknya filosofi dosa ialah, berpisah dengan Allah Ta’ala. Oleh
sebab itu untuk menjauhkannya, sangat berkaitan dengan menjalin
hubungan erat dengan Allah Ta’ala. Maka alangkah bodoh manusia yang
menganggap bunuh diri adalah pengobatan untuk dosa mereka.”[8]

Mengenai sarana untuk meraih qurb Allah Ta’ala, Hadhrat Masih Mau’ud
a.s. bersabda: ”Al-Qur’anul Karim menampilkan ajaran ini dan dengan
mengamalkannya di dunia ini juga manusia dapat bertemu dengan Allah
Ta’ala. Firman-Nya, فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا:
(AlKahf:111) Yakni: Barangsiapa yang ingin bertemu di dunia ini juga
dengan Tuhan-nya, Tuhan Pencinta hakiki, hendaklah ia beramal saleh.
Amal salehnya harus bersih dari penipuan, kesombongan, kebanggaan dan
dari takabbur, dan harus bersih dari pada noda, dari kelemahan dan
jangan bertentangan dengan kecintaan pribadi kepada Allah Ta’ala serta
harus penuh dengan ketaatan dan ketaqwaan kepada-Nya. Janganlah ia
menyekutukan Tuhan-nya dengan siapapun, jangan menyekutukan-Nya dengan
matahari, dengan bulan atau bintang di langit, dan jangan pula dengan
angin, dengan api, dengan air atau dengan benda apapun yang terdapat
di atas bumi. Dan jangan pula dia menaruh tumpuan sepenuhnya kepada
barang-barang dunia apapun seolah-olah ia adalah Tuhan. Dan jangan
terlalu banyak bertumpu kepada kekuatan diri pribadi, sebab hal itu
juga salah satu bagian dari syirik. Jangan merasa sombong dengan ilmu
yang dimiliki, jangan pula merasa bangga karena telah melakukan suatu
pekerjaan dengan baik, melainkan anggaplah diri sendiri bodoh dan
dungu. Ruhnya harus selalu tunduk di hadapan singgasana Tuhan Maha
Kuasa, dan mohonlah selalu karunia-Nya melalui do’a-do’a. Dan jadilah
seperti manusia dahaga yang mendapatkan sumber mata air bersih dan
sejuk kemudian meminumnya sehingga ia tidak mau beranjak dari tempat
itu sebelum ia merasa kenyang.”[9]

Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan standar keluhuran
kecintaan Ilahi yang beliau as harapkan dari diri kita untuk
meraihnya: ”Carilah kecintaan yang sungguh-sungguh seperti seorang
pecinta yang sejati dan setia, yang berbaring di atas tempat tidurnya
mengenang kekasih sambil menahan lapar dan dahaga dan tidak ingat
makan dan minum serta tidak menghiraukan keadaan dirinya. Maka kalian
juga harus tergila-gila seperti itu dalam mencintai Allah Ta’ala.
Seakan-akan wujud kalian sudah hilang ditelan ingatan dengan asyik
kepada-Nya. Maka alangkah baik nasibnya (alangkah beruntungnya) jika
manusia mati dalam keadaan demikian. Kita berkepentingan dengan
kecintaan pribadi kepada Allah Ta’ala, bukan dengan kasyaf atau dengan
ilham.”

Ada yang hendak saya (Hudhur V atba) sampaikan di sini, bahwa sebagian
orang mengeluhkan dirinya yang tiada mendapat kemuliaan berupa ilham
dan kasyaf dari Allah Ta’ala, padahal Hadhrat Masih Mau’ud as
menjelaskan bahwa kecintaan secara pribadi kepada Allah Ta’ala adalah
hal yang asasi, bukan berapa banyak kasyaf yang dilihatnya atau ilham
yang turun kepadanya.

“Perhatikanlah peminum arak yang sedang menikmati minuman kerasnya.
Seorang peminum demikian menikmati minum arak satu demi satu dari
gelas araknya. Seperti itulah kalian juga, minumlah sebanyak-banyaknya
cawan kecintaan pribadi Zat Allah Ta’ala. Sebagaimana peminum tidak
pernah merasa kenyang, jadilah kalian juga orang seperti itu yang
tidak pernah merasa kenyang dalam mencintai Allah Ta’ala. Manusia
jangan mundur sebelum merasakan bahwa kecintaannya telah sampai
kepuncak martabah yang demikian tinggi hingga ia patut disebut asyiq
atau pencinta sejati. Harus melangkah maju terus ke depan dan jangan
melepaskan cawan dari bibir-mu, jadikanlah diri-mu gelisah dan selalu
rindu kepada-Nya. Jika kalian belum sampai ke puncak martabah ini,
maka wujud kalian tidak ada gunanya. Kecintaan kepada Tuhan harus
demikian tingginya sehingga sebagai tandingannya tidak perlu menaruh
perhatian kepada suatu benda lain. Jangan tunduk kepada suatu godaan
dan jangan merasa takut kepada sesuatu yang dianggap menakutkan.”[10]

Selanjutnya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Apabila manusia sudah
betul-betul ridha secara sempurna dengan Allah Ta’ala dan tidak
mempunyai suatu keluhan apapun terhadap dirinya, pada waktu itu-lah
timbul kecintaan pribadi kepada Allah Ta’ala. Selama belum timbul
kecintaan pribadi kepada Allah Ta’ala, iman dalam keadaan bahaya.
Tetapi, apabila kecintaan pribadi telah timbul maka manusia aman dari
serangan-serangan Syaitan. Dzaati mahabbat (kecintaan pribadi) itu
harus dihasilkan melalui do’a. Selama kecintaan pribadi ini belum
timbul maka manusia berada dibawah pengaruh Nafsu Ammarah (jiwa yang
selalu mengajak kepada kejahatan) dan manusia dikuasai oleh
cengkeraman tangannya. Orang-orang yang berada di bawah cengkeraman
Nafsu Ammarah itu, mereka berkata (Punjabi), ‘Ei jahan mitha, agla din
ditha.’ – ‘Dunia ini manis rasanya, dunia berikutnya belum pasti
apakah kita akan melihatnya atau tidak!’

Orang-orang ini dalam keadaan sangat berbahaya. Sedangkan orang-orang
yang berada di bawah pengaruh Nafs Lawwamah (jiwa yang menyesal) pada
satu waktu mereka menjadi wali (sahabat) Allah Ta’ala dan di waktu
lain mereka menjadi Syaitan. Keadaannya berubah-ubah, kadang ada di
atas kadang ada di bawah. Keadaan-nya tidak tetap satu macam. Sebab
peperangannya mulai dengan melawan Nafsu. Kadang-kadang menang
kadang-kadang kalah. Namun, orang-orang ini masih berada di tempat
yang baik sebab mereka melakukan kebaikan dan di dalam hati mereka
tertanam perasaan takut kepada Allah Ta’ala.

Sedangkan orang-orang yang berada di bawah Nafs Muthma’innah adalah
orang-orang yang sudah memperoleh kemenangan dan bebas dari semua
bahaya dan perasaan takut akhirnya sampai ke tempat yang aman. Mereka
tinggal di Darul Aman (tempat yang aman). Setan tidak bisa sampai
kesana.”[11]

Mengenai ketinggian ’isyq seorang mu’min terhadap Tuhannya (terbenam
dalam kecintaan kepada Allah), Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
”Sifat seorang Mu’min adalah seperti sifat seorang pencinta sejati dan
dia benar di dalam kecintaan sejatinya. Dan dia sangat tulus dan kamil
ikhlas serta kecintaannya yang bergelora siap mengurbankan jiwanya
karena Allah Ta’ala. Dia berdiri di hadapan singgasana Tuhan sambil
merendahkan diri dan dengan sikap sangat lemah lembut. Tidak ada
kelezatan dunia yang lezat baginya. Ruhnya berlindung di bawah naungan
kecintaan sejati Allah Ta’ala. Dia tidak kehilangan semangat atau
mundur sekalipun jika Kekasihnya diam tidak ada perhatian kepadanya.
Bahkan ia terus maju tanpa ragu dan kecintaan di dalam hatinya
terus-menerus ditingkatkan. Penting sekali manusia memiliki kedua
aspek ini. Yakni mu’min sejati terus tenggelam dalam kecintaan yang
sempurna terhadap Allah Ta’ala dan kecintaannya itu hingga mencapai
puncak martabah yang setinggi-tingginya. Kecintaan sejatinya itu
demikian sempurna sehingga tidak dapat digoyahkan, apabila suatu waktu
tidak ada jawaban atau tidak ada perhatian dari Tuhan yang dia cintai.

Harus selalu ada dua macam gejolak perasaan. Pertama gejolak perasaan
cinta kepada Allah Ta’ala. Kedua, gejolak perasaan perih di dalam hati
melihat orang lain terkena musibah, timbul rasa simpati dan belas
kasih terhadapnya dan merasa gelisah ingin menolongnya. Keikhlasan dan
keperihan hati itu demi kecintaan Allah Ta’ala yang disertai dengan
ketetapan hati, membawa manusia kebawah naungan Ilahi. Manusia dalam
keadaan bahaya selama kecintaannya kepada Tuhan belum mencapai puncak
martabat yang bebas dari pengaruh kecintaan terhadap benda atau
makhluk selain Allah. Sulit sekali bagi manusia untuk mengatasi bahaya
itu tanpa memutuskan semua hubungan dengan benda dunia atau makhluk
selain Allah kemudian menjadi milik-Nya. Dan tidak mungkin bisa masuk
kawasan keridhaan-Nya juga. Dan miliki-lah perasaan cinta terhadap
sesama makhluk seperti seorang ibu yang penyayang, hatinya sangat
bergelora dalam mencintai seorang anak tunggal kesayangannya.[12]

Selanjutnya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Hubungan yang kuat
dan kecintaan yang murni dengan Allah Ta’ala akan terjalin erat
apabila manusia mempunyai ma’rifat akan Dzat-Nya. Manusia di dunia
banyak yang sudah rusak penuh dengan keraguan. Banyak sekali orang
yang secara terbuka menjadi ‘atheists’ (tidak bertuhan) sedangkan yang
lainnya sekalipun bukan atheist namun keadaan mereka sudah cemar
menyerupai atheist. Karena itulah mereka sudah malas beragama. Solusi
untuk mengobati mereka adalah, mereka harus banyak-banyak berdo’a
kepada Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa supaya ilmu atau ma’rifat tentang
Allah Ta’ala semakin bertambah. Mereka harus bergaul dengan
orang-orang benar supaya mereka dapat selalu menyaksikan kudrat Allah
Ta’ala berupa Tanda-tanda yang baru dan segar. Dia akan menambah ilmu
dan ma’rifat dengan cara dan jalan bagaimana sesuai dengan
kehendak-Nya, dan Dia akan meningkatkan ilmu ruhani serta kesejukan
kalbu mereka. Sungguh benar sekali bahwa semakin kuat iman terhadap
Zat Allah Ta’ala dan keagungan-Nya, semakin kuat pula rasa takut dan
cinta kepada-Nya. Jika tidak, manusia menjadi sangat berani melakukan
dosa pada waktu kelalaian merajalela. Kecintaan kepada Allah Ta’ala,
rasa takut kepada keagungan dan kegagahan-Nya adalah dua perasaan yang
dapat membakar dosa. Merupakan suatu ketentuan alami, bahwa manusia
menjauhkan diri dari benda-benda yang ia takuti. Misalnya manusia tahu
api sifatnya membakar. Dia tidak akan meletakkan tangannya kedalam api
itu. Misalnya lagi, manusia tahu di satu tempat ada seekor ular
berbisa. Maka dia tidak akan lewat ketempat itu. Begitu juga jika dia
tahu bahwa racun dosa akan membinasakannya, dan takut kepada keagungan
Allah Ta’ala dan jika dia yakin Tuhan tidak menyukai dosa dan
menjatuhkan hukuman keras terhadap dosa, maka ia tidak akan berani
berbuat dosa. Ia akan berjalan di dunia seperti orang yang sudah mati.
Ruhnya sudah tinggal bersama Tuhan di setiap waktunya.”[13]

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda lagi: ”Apabila manusia telah
menjatuhkan diri kedalam api kecintaan Allah Ta’ala dan menghanguskan
dirinya sendiri, maka itulah kematian karena cinta yang memberi
kehidupan baru kepadanya. Tidakkah kalian mengerti bahwa kecintaan
adalah sebuah nyala api dan dosa juga adalah seperti nyala api. Maka
api yang merupakan api kecintaan Ilahi, ia menghanguskan api dosa.
Itulah akar dari pada najat (keselamatan).[14]

Selanjutnya beliau a.s. menulis: ”Allah Ta’ala menyelamatkan orang
muttaqi yang kamil dari musibah, bukan dengan cara biasa tetapi dengan
pertolongan mu’jizat. Setiap penipu dan pemberontak menyatakan diri
sebagai orang muttaqi. Namun orang muttaqi adalah yang dapat
dibuktikan melalui Tanda Ilahi. Setiap orang boleh bicara, ‘Saya
mencintai Allah Ta’ala.’ Akan tetapi orang mencintai Allah Ta’ala
adalah yang kecintaannya dapat dibuktikan dengan Tanda Samawi. Setiap
orang berkata, ‘Agama saya adalah benar.’ Tetapi, agama yang benar
adalah agama yang menerima nur dari Allah Ta’ala di dunia ini juga,
dan setiap orang berkata, ‘Saya akan mendapat najat (keselamatan),’
Tetapi, yang benar perkataannya mengenai hal itu adalah dia yang
melihat nur keselamatan di dunia ini juga. Maka, berusahalah kalian
untuk menjadi orang yang dikasihi Tuhan, agar kalian diselamatkan dari
setiap musibah.”[15]

Kemudian, saya ingin sampaikan di hadapan saudara-saudara bagaimana
Hadhrat Masih Mau’ud as telah memberi nasehat kepada kita supaya
timbul kecintaan dalam hati kita kepada Allah Ta’ala: “Surga kita
adalah Tuhan kita. Pada Zat-Nya terletak segala kelezatan yang
selezat-lezatnya; sebab, kami melihatnya dan segala keindah-permaian
terdapat pada Wujud-Nya. Harta ini patut dimiliki walaupun harus
dengan mempertaruhkan jiwa dahulu. Ratna mutu manikam ini patut dibeli
sekalipun harus meniadakan segala wujud kita. Wahai, orang-orang yang
mahrum! Bergegaslah lari menuju sumber mata air ini agar
dilepaskan-Nya dahagamu. Inilah sumber mata air kehidupan yang bakal
menyelamatkan kamu. Apakah gerangan yang harus kuperbuat dan
bagaimanakah harus kusampaikan berita ini kepada setiap kalbu manusia?
Dengan genderang bagaimana coraknya harus kucanangkan di lorong-lorong
supaya orang-orang dapat mendengar bahwa Tuhan itu ada? Dengan obat
apakah harus kusembuhkan telinga-telinga orang supaya terbuka untuk
mendengarnya?

Jika kamu benar-benar kepunyaan Tuhan maka yakinlah bahwa Tuhan itu
kepunyaan-mu. Dikala kamu sedang tidur Dia akan berjaga-jaga tengah
kamu lengah dari musuhmu Dia akan mengamat-amati musuhmu dan
mematahkan siasat rencananya. Kamu sampai sekarang tidak mengetahui
kodrat-kodrat apakah yang Tuhan-mu miliki. Sekiranya kamu mengetahui,
tentulah tidak ada hari akan tiba kepadamu sa’at kamu bersedih hati
memikirkan urusan-urusan keduniaan. Seorang yang memiliki sejumlah
kekayaan, maukah dia menangis dan meratap-ratap hanya karena uangnya
satu sen telah hilang? Kalau kamu memaklumi bahwa Tuhan akan mencukupi
setiap keinginan mengapakah kamu demikian tenggelamnya dalam urusan
duniawi?

Tuhan adalah satu khazanah kesayangan maka hargailah Dia, sebab Dia
Penolong-mu dalam setiap gerak tindak-mu. Tanpa Dia kamu tidak berarti
sedikitpun; begitupun segala upaya dan rencanamu tiada artinya.
Janganlah kamu mengekor kepada kebiasaan kaum lain yang menggantungkan
upaya sepenuh-penuhnya kepada sarana-sarana duniawi. Sebagaimana
seekor ular memakan tanah, mereka bergantung pada upaya madiah atau
sarana duniawi yang rendah sifatnya. Bagai seekor burung elang dan
anjing memakan bangkai, mereka membenamkan rahang mereka kedalam
bangkai yang busuk. Mereka jauh melantur dari Tuhan, menyembah
manusia-manusia, memakan daging babi, dan meminum minuman keras
laksana minum air. Karena mereka terlampau mengandalkan pada
sarana-sarana materi dan tidak meminta kekuatan dari Tuhan, ruhani
mereka jadi mati; dan jiwa ruhaniyat telah lepas dari mereka laksana
seekor burung dara terbang meninggalkan sarangnya. Hatinya ditulari
oleh kusta, penyakit memuja-muja urusan duniawi yang telah
menggerogoti anggota-anggota tubuh bathiniah mereka. Oleh karena itu,
takutilah penyakit semacam itu.”[16]

Hadhrat Masih Ma’ud a.s. bersabda lagi: ”Kalian harus berusaha keras
untuk mengenal Tuhan, Yang ditangan-Nya terletak keselamatan hakiki
dan karena dengan berjumpa dengan-Nya kebebasan diraih. Tuhan itu
nampak kepada orang yang mencari-Nya dengan hati yang tulus dan penuh
kecintaan dan menzahirkan diri-Nya kepada orang yang telah menjadi
milik-Nya. Hati yang suci bersih adalah tempat Dia bersemayam. Dan
lidah yang suci dari dusta dan caci-maki adalah tempat wahyu-Nya
turun. Dan setiap orang yang terbenam di dalam kecintaan-Nya dia
menjadi tempat manifestasi kekuatan mu’jizat-Nya.”[17]

Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq kepada kita untuk meraih semua
standar yang dikehendaki oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dari kita.
Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq kepada kita semua, dengan ikhlas
menjadi orang-orang tunduk kepada-Nya dan menjadi para pencinta-Nya
yang sejati. Dan dapat meraih kecintaan-Nya sehingga kita diizinkan
memasuki Taman keridhaan-Nya. [Amin]

Alihbahasa Hasan Basri
Editor: Dildaar AD