Monday, July 23, 2012

Allah Maalladzinat Taqow Walladzina Hum Muhsinun

Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.’ (Q.S. 16 / Al Nahl : 129). Hadhrat Imam Mahdi a.s. menulis: ‘Di dalam Al Quran Sharif, perintah untuk beramal-shalih dan bertaqwa lebih ditekankan dibandingkan dengan perintah lainnya.’ [Ayyamus-Suluh, Ruhani Khaza’in, Vol.14, hlm.342 – Essence of Islam, Vol.II, hlm.347]. Jadi, Taqwa adalah dasar untuk memperoleh qurb [kedekatan] Ilahi, sebagaimana dinyatakan oleh separuh pertama ayat Al Quran yang tadi telah saya tilawatkan. Ada golongan manusia di dunia ini. Pertama, mereka yang menjalani hidup Taqwa, dan beramal-shalih demi untuk memperoleh qurb [kedekatan] Ilahi, yang dikerjakannya dengan berbagai cara agar membawa mereka lebih dekat lagi kepada Allah Taala.

Kedua, adalah mereka yang meskipun beramal-shalih, tetapi ketika mengerjakannya tidak menyadari bahwa Allah Taala mengawasi mereka. Di antara mereka itu, adalah orang-orang yang percaya kepada keberadaan Allah, Tuhan yang memelihara langit dan bumi, namun ketika mereka beramal-shalih tidak mempertimbangkan keridhaan Allah. Golongan manusia seperti itu termasuk pula mereka yang tidak mempercayai keberadaan Allah, dan menyangkali Wujud-Nya (atheis). Namun, meskipun Allah Taala menyatakan, bahwa Dia beserta golongan manusia yang pertama itu, sifat Rububiyyat-Nya tetap mencakup setiap orang, yakni, termasuk juga bagi mereka yang tidak ber-Taqwa. Tetapi, rahmat-Nya itu sebatas untuk faedah kehidupan duniawi saja, seperti sinar matahari, udara, dlsb. Yakni, baik mereka yang atheist maupun mereka bertaqwa, sama-sama mendapatkannya. Begitupun berbagai hasil kemajuan duniawi, penemuan baru, kemajuan dan pencapaian baru dalam ilmu pengetahuan, kesemuanya itu berdasarkan kekuatan usaha mental mereka, baik yang atheist maupun yang bertaqwa.
Kaum petani, baik yang atheist maupun yang bertaqwa, sama-sama mendapatkan hasil yang sesuai dengan usahanya. Pendek kata, seandainya sifat Rububiyyat dan Rahmaniyyat Ilahi tidak berjalan, maka sungguh mustahil akan ada kehidupan, bahkan hanya untuk sedetik saja. Yakni, meskipun Allah Taala telah menetapkan adanya dua jalan, yakni kebaikan dan keburukan, namun dalam berbagai aspek kehidupan, Dia memberikan takaran yang sama. Walaupun sunatullah mencakup semuanya, tetapi masalah yang mengundang berbagai pertanyaan ini perlu dijelaskan, yang untuk itu saya hendak melakukannya. Yakni, untuk menunjukkan Kekuasaan-Nya, seringkali Allah Taala mengaruniai orang yang muttaqi lebih dibandingkan orang pada umumnya meskipun kondisinya sama.
Suatu kali, Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. memiliki lahan pertanian di [Provinsi] Sind [Pakistan], Beliau menunjuk beberapa orang untuk mengurusnya, yang salah satu di antaranya, adalah seorang sesepuh yang bernama Maulwi Qudratullah Sanauri. Ketika meninjau lahan tersebut, Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. mendatangi perkebunan kapas beliau, dan bertanya kepada Maulwi sahib: Berapa banyak hasil panen yang tuan prakirakan dapat diperoleh ? Maulwi sahib menjawab dengan suatu jumlah prakiraan yang menurut salah seorang anggota rombongan terlalu tinggi.
Maulwi sahib menjawab: Aku yakin, paling sedikit akan memperoleh jumlah tersebut, karena ketika aku melakukan [Salat] Nafal di ke-empat penjuru lahan itu, aku memperoleh keyakinan bahwa Salat dan doa-doaku akan membantu [hasil panen]. Ternyata kemudian, begitulah hasil yang diperoleh. Jadi, adakalanya meskipun dalam musim yang sama, pemupukan dan benih yang sama, dlsb, tetapi Allah Taala memperlihatkan bukti keberadaan-Nya berkat doa-doa, sehingga hasil panen pun meningkat.
Begitupun sebagai pasangan dari kehidupan material duniawi, ada dunia rohani bagi mereka yang beriman dan yakin sempurna kepada Allah Taala, yang faedah dan kebahagiaannya tak terlihat oleh orang-orang duniawi. Mereka yang berjalan di atas jalan ketaqwaan sangat yakin akan keimanan mereka kepada yang ghaib, kepada kehidupan setelah kematian, dan kepada berbagai janji Ilahi. Manakala mereka mengangkat tangan ketika berdoa, mereka pun menyaksikan berbagai tanda Ilahi yang mengabulkannya, yang untuk di akhir zaman ini, Hadhrat Imam Mahdi a.s. telah mengajari kita tentang perkara ini. Banyak orang Ahmadi yang mengalami ta’aluq billah ini. Yakni, Allah Taala mengabari mereka mengenai berbagai perkara yang akan terjadi, melalui mimpi-mimpi atau kasyaf. Ta’aluq billah ini pun menunjukkan, bahwa janji mengenai Akhirat pun pasti akan terpenuhi juga.
Allah Taala menyatakan, bahwa insan yang teguh dalam ketaqwaan mereka, akan memperoleh berbagai kebaikan di dunia ini maupun di akhirat nanti. Mereka yang beramal-shalih semata-mata demi mencari keridhaan Ilahi adalah muttaqi dan berjalan di atas jalan ketaqwaan. Hadhrat Imam Mahdi a.s. mengatakan: Orang yang muttaqi adalah senantiasa berusaha menghindarkan berbagai macam dosa besar maupun kecil; senantiasa meningkat amal shalihnya, dan sepenuh ikhlas dalam ber-ta’alu billah.’ Yang dimaksud dengan sepenuh ikhlas terhadap Allah Taala adalah terlihat dalam memenuhi kewajiban ibadahnya kepada Allah dan menjalankan berbagai perintah-Nya. Jika hal yang pertama ini sudah tercapai – sebagaimana disebutkan di dalam ayat yang telah ditilawatkan di awal Khutbah – tahap berikutnya dari ketaqwaannya itu, adalah muhsinun, atau ‘…berbuat kebaikan…’.
Adapun arti kata ‘muhsin’ di sini, adalah orang yang menganjurkan berbuat kebaikan kepada orang lain, atau mengkhidmati orang lain dengan sebaik-baiknya tanpa andil dari pihak orang lain tersebut, atau melakukan setiap amal shalih dengan sebaik-baiknya sesuai dengan situasi yang diperlukan. Namun, muhsin inipun ada dua macam.
Pertama, adalah mereka yang setiap saat bersedia untuk membantu orang lain atas dasar sympathy [kepada sesama manusia] tanpa memandang bangsa ataupun agama, dlsb. Mereka itulah yang membantu orang lain sedemikian rupa dan tepat pada saat yang diperlukan, sehingga memudahkan kehidupan mereka.. Maka adalah kewajiban setiap orang Ahmadi untuk mengkhidmati orang lain dengan sikap seperti itu – yang dengan karunia Allah Taala – mereka pun melakukannya. Sedangkan golongan ‘muhsinin’ yang kedua, adalah mereka yang tidak seperti yang Pertama itu, melainkan membesar-besarkan amal mereka; tidak berdasarkan Taqwa dan tidak dengan akhlak fadillah.
Adapun contoh untuk muhsinin yang Pertama itu, adalah para insinyur muda kita, para dokter, dan dari berbagai macam profesi lainnya, yang berangkat ke Afrika, menjadi sukarelawan Jamaat, berkhidmat dalam berbagai proyek yang sedang dibangun, seperti instalasi air minum di berbagai daerah yang kurang beruntung.. Mereka membangun sejumlah pompa air tangan, pembangkit listrik, dan sekolah-sekolah sehingga rakyat pun memperoleh kesempatan pendidikan. Mereka membangun rumah sakit, dan puskemas sebagai sarana kesehatan. Para dokter dan guru kita berkhidmat selama bertahun-tahun di berbagai tempat yang belum ada aliran listrik ataupun air pam-nya. Mereka yang berkhidmat seperti itulah yang dapat digolongkan sebagai para muhsinin sejati. Pengkhidmatan mereka tidak untuk sesuatu imbalan apapun, melainkan atas sikap Taqwa dan demi mengkhidmati sesama manusia.
Begitupula manakala berbagai bencana alam menerpa di seluruh dunia, para dokter kita dan sukarelawan lainnya bahu-membahu memberikan pertolongan di bawah koordinasi Humanity First, yang beramal semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah Taala. Berbagai pihak lain memang beramal seperti itu, namun keridhaan Allah Swt tidak menjadi dasar pemikiran mereka. Maka, mereka yang berkhidmat demi untuk mendatangkan faedah bagi orang lain melalui pelayanan dan pengetahuan mereka yang hanya semata-mata demi ridha Ilahi, itulah yang disebut muttaqi dan muhsinin haqiqi. Sebagaimana telah saya sampaikan, para insinyur kita telah membangun suatu desa percontohan di Burkina Faso yang dilengkapi dengan instalasi listrik, air pam, jalan dan penerangannya.
Ada pula pusat kegiatan masyarakat yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan mereka. Ada pusat persemaian kecil (green house) berbagai tanaman sayuran yang juga dapat mencukupi kebutuhan. System Irigasi pertanian pun dikelola. Sejumlah pompa air tangan dibangun di sejumlah desa. Beberapa gambar foto memperlihatkan betapa penduduk tersebut berbahagia dengan adanya berbagai macam fasilitas instalasi tersebut. Karena kini, bagi seorang anak yang sebelumnya harus bolak-balik berjalan hingga 5 miles (8 km), adanya pengkhidmatan ini sungguh suatu karunia yang besar.
Para sukarelawan kita tersebut berkhidmat tanpa mengharapkan imbalan jasa apapun. Bahkan pada kenyataannya, ketika para insinyur muda itu pulang, mereka mengirim surat rasa syukur kepada saya karena telah memperoleh kesempatan tersebut, lalu berjanji siap untuk berkhidmat lagi. Insya Allah pada tahun ini akan dibangun 5 (lima) desa percontohan lain di beberapa negara lainnya. Majlis Ansarullah Jamaat USA dan [Jamaat] UK bertanggung jawab atas pendanaan proyek ini. Humanity First pun ikut berperan, dan saya telah meminta [Jamaat] Germany untuk ikut pula berpartisipasi. Mereka yang bersemangat untuk ikut andil dalam proyek ini menjadi muhsinin, termasuk mereka yang ikut mengorbankan harta bendanya.
Kaum Ahmadi adalah mereka yang telah beriman kepada Imam Zaman dan berusaha untuk terus menapaki jalan Taqwa, agar dimasukkan ke dalam golongan muhsinin haqiqi, yang Allah Taala menyatakan, bahwa Dia beserta mereka. Para sukarelawan muda kita tersebut menceritakan berbagai kesulitan yang mereka harus hadapi ketika berkhidmat, namun kemudian Kekuatan Allah Taala bekerja. Berbagai masalah yang menghadang terpecahkan secara tak terduga-duga. Sehingga keimanan mereka terhadap Allah Taala pun meningkat. Adapun kata ‘muhsinin’ ini, merujuk pula kepada mereka yang senantiasa melakukan hal yang terbaik dalam pengkhidmatan mereka. Yakni, mereka peduli terhadap nama baik diri mereka. Dengan keterampilan dan ilmu rohani yang mereka miliki, mereka mendapatkan faedahnya. Lalu, dengan cara mempraktekkannya, mereka mendatangkan faedah bagi orang lain.
Semakin tinggi kemampuan dan ilmu rohani yang mereka miliki dan diiringi dengan senantiasa berusaha untuk mendatangkan faedah bagi orang lain, semakin tinggi pula maqom muhsinin yang mereka peroleh. Satu jalan baru berhasil mereka dapatkan, yang akan membawanya kepada kemajuan rohani dan akhlak yang besar. Peningkatan rohani dan akhlak tersebut memperlihatkan corak baru dalam ta’aluq billah mereka. Insan yang meningkat dalam qurb Ilahi, memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai berbagai sifat Allah, sehingga meningkat pula ketaqwaannya. Seumpama [orang yang bersepeda], roda yang berputar dalam kebaikan, membawanya ke tahapan Taqwa yang lebih tinggi, yang sekaligus mendekatkannya kepada Allah Taala, lalu kembali berusaha beramal-shalih dengan kiat yang lebih baik. Sehingga, ia pun memperoleh ilmu rohani dalam memenuhi kewajiban haququllah dan haququl-ibad-nya. Maka Allah Taala pun menjadikan insan seperti itu sebagai muhsinin yang haqiqi. Jadi, bukanlah muhsinin, orang yang menggembar-gemborkan amal mereka. Melainkan, mereka yang bersedia menanggung kesusahan demi pengkhidmatannya kepada orang lain. Saya sudah seringkali mengatakan kepada pihak luar, para pemimpin, dan pihak lain yang mengajukan berbagai keberatan terhadap Islam; atau mereka yang tidak memahami sepenuhnya ajaran Islam, bahwa orang-orang duniawi hanya berfokus kepada menuntut segala haknya.
Mereka mengajukannya sebanyak mungkin lalu berbuat dengan segala cara untuk mendapatkannya. Sehingga pihak yang diseru tidak dapat memahaminya, tak ada pula yang menginginkannya. Sebaliknya, Islam justru mengajarkan untuk memenuhi terlebih dahulu hak-hak orang lain, sebelum menuntut hak diri sendiri. Sehingga, hak-hak mereka itu pun terpenuhi sebagai pahala disebabkan telah menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Maka mereka pun digolongkan sebagai muhsinin haqiqi, yang selalu ingat akan kebutuhan orang lain.
Di dalam sebuah Hadith diriwayatkan: Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: Berilah makan sahaya engkau sesuai dengan apa yang engkau makan, dan berilah mereka pakaian sebagaimana yang engkau pakai.’ Bila mutiara nasehat ini tampak dilaksanakan di seluruh dunia, tentulah tak akan ada massa rakyat yang kelaparan maupun berpakaian compang-camping di manapun di dunia ini. Menyaksikan berbagai foto anak-anak yang kelaparan dan kekurangan gizi di Afrika, serta kaum ibu mereka yang juga kelaparan dan tak dapat menyusui bayinya, maka alih-alih pihak lain berusaha menguasai berbagai sumber alam mereka, cobalah berfokus kepada bagaimana caranya memenuhi hak-hak mereka, membantu mereka dengan cara membangunkan kemampuan mereka, sehingga berbagai macam persoalan dunia pun terpecahkan.
Seandainya berbagai negara Muslim melaksanakan nasehat ini, dan para pemimpinnya memusatkan pikiran bagaimana caranya menjadi Muhsinin haqiqi alih-alih hanya memikirkan bagaimana caranya mengisi rekening bank mereka, tentulah keindahan ajaran Islam dapat menghilangkan kemiskinan dan kelaparan. Akan tetapi sungguh malang, justru sebagian besar di negara-negara Muslim itulah situasi tersebut memburuk, sehingga pihak luar pun memanfaatkannya. Ketika saya menyampaikan hal ini kepada mereka, mereka mengakui begitulah keindahan ajaran Islam. Namun ketika mereka kembali dan bersama kroninya, ‘kepentingan nasional’ pun didahulukan. Tetapi, jika kepentingan nasional [seperti yang mereka katakan] itu baik, laksanakanlah. Hal itu memang harus didahulukan. Namun, jika yang dimaksud ‘kepentingan nasional’ tersebut adalah menggelapkan harta benda hak orang lain, adalah salah.
Sikap mementingkan diri sendiri tersebut menyebabkan kekacauan masyarakat Maka setiap orang Ahmadi hendaknya senantiasa berusaha untuk menapaki jalan Taqwa, agar digolongkan ke dalam muhsinin haqiqi dan memperoleh qurb [kedekatan] Ilahi. Hanya inilah yang dapat membantu dalam men-inqillabi haqiqi diri sendiri dan memudahkan upaya penyelamatan masyarakat dari kekacauan seuai dengan kapasitas kita yang terbatas. Kita hendaknya senantiasa berusaha untuk menerapkan Sifat-sifat Allah dalam kehidupan manusiawi kita sesuai dengan kemampuan masing-masing, dan berusaha pula untuk memenuhi kewajiban haququllah. Sehingga hal tersebut dapat menjadikan keberkatan dunia tunduk kepada kita. Menjadi hal penting kedua dalam kehidupan kita. Dan kita pun semakin maju dalam ketaqwaan. Sebagaimana Allah Taala menyatakan di dalam Al Quran Karim: yang artinya, ‘Mengapa tidak, barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah, dan ia berbuat kebaikan, maka bagi dia ada ganjarannya di sisi Tuhan-nya. Dan tak akan ada ketakutan menimpa mereka, dan tidak pula mereka akan bersedih.’ (Q.S. 2 / Al Baqarah : 113).
Jadi, Allah Taala menyatakan: Bila Dzat-Nya telah menjadi titik sentral orang mukmin sehingga sungguh-sungguh menyerahkan diri kepada-Nya, maka Dia pun akan menyediakan segala keperluan insan tersebut. Ia tidak akan bersedih lagi. Kesedihan apa pula yang dapat menimpa insan yang mendaya-gunakan segala kemampuannya untuk mengkhidmati sesama makhluk Allah dan kemanusiaan ? Pengkhidmatannya tersebut membawa dirinya ke dalam Rahimiyyat Ilahi, dan menjadi ciri khas ketaqwaan yang haqiqi. Hadhrat Imam Mahdi a.s. bersabda: ‘Untuk menjadi mukmin haqiqi, seorang insan perlu menghilangkan berbagai keburukan: Zinah, mencuri, merampas, munafik, takabbur, menistakan dan menganiaya orang lain
Hilangkanlah semua kerendahan akhlak. Sebaliknya, tingkatkanlah akhlak fadillah. Perlakukanlah orang lain dengan sopan, ramah, dan sympathy. Tanamkanlah keyakinan haqiqi terhadap Allah Taala. Dawam mencari kesempatan untuk dapat berkhidmat. Barangsiapa yang berhasil memperoleh semua kebaikan tersebut, barulah dapat disebut muttaqi. Hanya memiliki salah satu saja di antara itu, tidak dapat disebut muttaqi. Melainkan semuanya. Hanya itulah yang dimaksud dengan pernyataan ayat ini: ‘…..falaa khaufun alaihim wa laa hum yahdzanuun.’ yakni, ‘…….Tidak akan ada ketakutan menimpa mereka, tidak pula mereka akan bersedih.’ (Q.S 7 / Al Araf : 36). Maka apa lagi yang mereka perlukan ? Allah Taala telah menjadi pelindung bagi mereka , sebagaimana yang dinyatakan-Nya: ‘…..wa huwa yatawallash-shalihin’. yakni, ‘…..Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.’ (Q.S. 7 / Al Araf : 197).
Di dalam sebuah Hadith lain dikatakan, bahwa: Allah Taala telah menjadi tangan mereka ketika memegang, menjadi mata mereka ketika melihat, menjadi telinga mereka ketika mendengar, dan menjadi kaki mereka ketika berjalan. Di dalam Hadith lainnya dikatakan: Allah menyatakan, barangsiapa yang memusuhi karib-Ku, bersiaplah untuk menghadapi Diri-Ku. Satu Hadith lain mengatakan: Barangsiapa yang menyerang seorang waliullah, maka Dia pun akan menghantamnya sedemikian keras seumpama singa betina yang berusaha melindungi anaknya dari serangan musuh. [Malfuzat, Vol. IV, pp.400-401 – Essence of Islam, Vol II, pp.351-352]. Maka sungguh beruntunglah seorang insan yang telah dapat menjadi waliullah. Mereka tidak bersedih disebabkan segala perbuatan buruknya di masa lalu, karena telah mendapat maghfirah.
[Dalam kaitan ini], mereka yang tengah mengajukan permohonan ‘asylum politik’ seringkali resah menunggu-nunggu hasilnya. Hingga ada sebagian di antara mereka yang sampai kehilangan berat badan disebabkan ketakutannya. Setengah orang lainnya khawatir akan nasib usaha bisnisnya. Mahasiswa cemas menghadapi ujian mereka.
Pendek kata, tentang hal yang akan datang, membuat orang menjadi ketakutan. Begitupula mereka bersedih tentang hal-hal yang telah berlalu. Semakin besar kesedihannya, semakin besar pula ia menjadi nestapa. Banyak orang di dunia ini membiarkan kesedihan mereka sehingga berdampak serius dan menjadi gangguan jiwa. Padahal Allah taala menyatakan: ‘…..barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah, dan ia berbuat kebaikan, maka bagi dia ada ganjarannya di sisi Tuhan-nya. Dan tak akan ada ketakutan menimpa mereka, dan tidak pula mereka akan bersedih.’ Yakni, mereka tidak membiarkan kesedihan hidup di dunia ini berdampak serius kepada dirinya. Sebab, ketakutan dan kesedihan insan yang muttaqi adalah kecemasannya dalam usaha untuk memperoleh keridhaan Allah, sebagaimana yang diungkapkan oleh, Hadhrat Imam Mahdi a.s. di dalam sebaris syair [Urdu] beliau ini:
Isy fikr mein rehte Hein Roz o shab
Kei raazi wo dildaar hota hei kab
Siang dan malam kuhabiskan- hanya untuk pecarian ini Bilakah kiranya Engkau Yang tercinta ridha kepadaku !
Yakni, ketakutan dan kesedihan menjadikannya banyak berdoa dan berdzikir, sebagaimana disebutkan di dalam ayat Al Quran ini: ‘Yaitu orang-orang yang beriman, dan merasa tenteram qalbu mereka dengan mengingat Allah. Ketahuilah, dengan mengingat Allah, qalbu menjadi tenteram;’ (Q.S. 13 / Al Rad : 29). Yakni, ayat tersebut meyakinkan mereka, bahwa berbagai kesedihan mereka di masa lalu terhapuskan. Dan mereka pun yakin akan lenyapnya ketakutan tentang hal yang akan datang.
Ketakutan diri mereka yang menapaki jalan ketaqwaan adalah kecemasan akan cintanya. Yakni sikapnya yang berharap-harap cemas untuk memperoleh ridha Ilahi, sehingga ia pun terus berusaha untuk itu. Keresahannya itu justru memperteguh qalbunya, yang berlawanan dengan keresahan orang-orang duniawi yang menyebabkan terserangnya jantung hati mereka.
Kaum Ahmadi perlu meng-inqillabi haqiqi diri sendiri yang dapat membawa mereka ke jalan Taqwa dan digolongkan ke dalam muhsinin haqiqi. Kesedihan kita hendaknya hanya disebabkan kecintaan kepada Allah, sehingga akan meningkatkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita. Bila kita berhasil mencapai maqom kecintaan-Nya, tentulah Dia pun akan beserta kita. Allah akan menghujankan rahmat dan karunia-Nya manakala Dia melihat ada hamba-Nya yang berusaha untuk menjadi muhsin dan menerapkan Sifat-sifat-Nya demi untuk mencari keridhaan-Nya. Tidak hanya berbagai kecemasan kita yang akan dilenyapkan, melainkan juga rahmat dan karunia-Nya pun semakin bertambah.
Hadhrat Imam Mahdi a.s. menulis: ‘Ketaqwaan dan kejahiliyahan tak akan dapat berjalan bersama. Ketaqwaan sejati senantiasa disertai nur Ilahi, sebagaimana firman-Nya: yang artinya, ‘Hai orang-orang yang beriman, jika kamu takut kepada Allah, maka Dia pun akan mengadakan bagimu suatu pembeda, dan Dia akan menghapuskan dari kamu keburukan-keburukanmu, dan Dia akan mengampuni kamu..…’ (Q.S. 8 / Al Anfal : 30). Maksudnya, Wahai kaum mukminin, jika kalian tetap beristiqamah dalam ketaqwaan dan bepegang erat di dalamnya demi ridha Ilahi, maka Dia pun akan menyelamatkan setiap diri kamu dari para penyerang dengan suatu tanda pembeda. Yakni, engkau akan dikaruniai nur Ilahi yang senantiasa akan menyertai kemanapun engkau pergi. Yakni, nur Ilahi tersebut akan menyinari segala amalmu, perkataanmu, akhlakmu dan indera-mu. Pengetahuannya akan dicerahi, akan senantiasa ada nur Ilahi dalam setiap dambaannya. Nur pada matanya, pada telinganya, pada lidahnya, di dalam pembicaraannya, dan pada semua gerakannya. Jalan yang mereka tempuh menjadi bersinar.
Pendek kata, semua jalan, corak akhlak dan pikirannya senantiasa dipenuhi oleh nur cahaya. Mereka semua akan berjalan bersama yang diterangi nur cahaya Ilahi.’ [A’ina-e-Kamalat-e-Islam, Ruhani Khaza’in, Vol.5, pp.177-178, Essence of Islam, Vol.II, pp.348-349]. Maksudnya, bagi insan yang senantiasa berusaha untuk demikian itu, maka para penyerang pun akan menjadi sasaran hukuman Ilahi..
Semoga kita semua dapat menjadi orang yang mendatangkan faedah bagi orang lain dan juga bagi diri sendiri. Dan semoga pula perbuatan buruk para penentang berbalik menerjang diri mereka. Dikarenakan kita ini menerima kecintaan Ilahi dan menyiarkan tabligh Islam ke seluruh dunia, maka kita pun akan dapat menyaksikan nasib akhir para penentang. Semoga Allah Taala memberi taufiq kepada kita semua untuk dapat beribadah dan memperoleh maqom kemuliaan tersebut.