Wednesday, July 25, 2012

Pertablighan (II) Para Sahabah

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
Adapun maksud dan tujuan mengemukakan berbagai peristiwa sebagaimana yang telah saya sampaikan, Pertama, adalah agar kita menjadi ingat untuk senantiasa mendoakan para pendahulu kita, yang telah menerima kebenaran Hadhrat Imam Mahdi a.s., sehingga membawa kita ke dalam golongan mereka yang memperoleh nikmat karunia Ilahi di akhir zaman ini.
Semoga Allah Taala senantiasa meningkatkan derajat maqom rohani mereka. Sebab, tanpa keberadaan beliau-beliau itu, kita pun tentu ternafi’kan dari nikmat karunia yang Allah telah berikan ini.
Kedua, agar ketaqwaan, keteguhan iman, sikap membela kemuliaan dan ghairah untuk mengkhidmati agama yang mereka perlihatkan, dapat menggugah semangat anak keturunan mereka, dan juga yang bukan, namun memiliki hubungan ruhani dengan beliau-beliau itu, lalu mewariskannya kepada anak keturunan mereka. Banyak orang yang menyurat atau mengatakan kepada saya ketika bermulaqat, bahwa mereka memiliki sesuatu hubungan dengan salah seorang sesepuh pendahulu yang saya sampaikan di dalam serial Khutbah Jumah saya tersebut. Akan tetapi, hikmah pertalian itu tentunya akan lebih mulia hanya apabila mereka dapat menapaki jejak langkah para pendahulu tersebut.
(1) Hadhrat Mian Jamaluddin sahib r.a. meriwayatkan: ‘Ada seorang Maulwi yang bernama Nawabuddin yang suka berkeliling dari satu kota ke kota lainnya – yang menurut pikirannya sendiri - untuk ‘menyadarkan ‘kaum Mirzai’. Suatu hari, aku mendapat informasi, bahwa ia sedang mengunjungi salah satu desa tetangga. Dikarenakan aku ini satu-satunya orang Ahmadi di daerah tempat tinggalku, maka warga pun mendesakku untuk menemuinya. Namun, pada saat itu Hadhrat Imam Mahdi a.s. sedang melarang jamaah beliau untuk tidak melayani tantangan perdebatan yang tidak perlu. Maka aku pun mengirim pesan kepada Maulwi tersebut, bahwa aku tak minat berdebat. Silakan saja pihak tuan mengajukan berbagai pertanyaan, yang insya Allah aku akan jawab. Tetapi, Maulwi safarin ini malah mendatangi desaku disertai 3 orang pengiringnya. Mereka berhasil mendekati seorang ahli hukum tokoh masyarakat desa kami yang beragama Hindu agar dapat menyelenggarakan suatu perdebatan dengan orang-orang ‘Mirzai’. Tetapi kemudian aku menerima pesan [tantangan perdebatan]-nya itu. Maka aku pun banyak-banyak berdoa kepada Allah Taala, memohon pertolongan-Nya. Lalu, menemui Maulwi itu. Banyak orang berdatangan, baik dari kalangan Hindu maupun Muslim. Aku membuka percakapan dengan mengatakan: ‘Tuan Maulwi, apa maksud dan tujuan tuan mengadakan kunjungan keliling ini ?

Ia menjawab: ‘Ini karena aku adalah orang yang paling istimewa di antara Ummat [Muslimin].
Aku bertanya lagi: ‘Sudah seberapa banyak ijazah, piagam dlsb yang tuan dapatkan ?
Ia menjawab: ‘Banyak, tapi aku tak dapat memperlihatkannya di sini, karena aku simpan di rumah. Adapun maksud dan tujuanku ini ialah untuk mengajak debat kaum ‘Mirzai’ yang – na’udzubillah kufur, dan mengajak orang lain kepada kekufuran. Aqidahku adalah mahzab Hanafi, aku beriman kepada Tauhid Ilahi dan kebenaran Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw, serta beriman – atas dasar 20 ayat di dalam Al Quran, bahwa Hadhrat Isa a.s. masih hidup di atas Langit ke-4; dan barangsiapa mengingkarinya, kufurlah ia. Aqidah ilmuku ini diakui oleh masyarakat (Certified). Sedangkan aqidah tuan apa ?’
Aku jawab: ‘Aku beriman kepada Tauhid Ilahi, dan Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw sebagai Khataman Nabiyyin. Berdasarkan keterangan di dalam Al Qur’an Karim dan berbagai Hadith, aku yakin, bahwa Hadhrat Isa a.s. telah wafat. Dan aku telah menerima kebenaran Al Masih Al Mahdi yang telah datang, dan mengatakan, bahwa barangsiapa yang tidak beriman kepada beliau, berarti tidak berada di dalam kebenaran. Aku tak memiliki sesuatu ijazah yang dapat diperlihatkan untuk mendukung ilmuku ini, yang aku peroleh berkat auto-didak ditambah lagi dengan berusaha untuk senantiasa berada di dalam jamaah Hadhrat Imam Mahdi a.s.. Jika ada yang dapat membuktikan berdasarkan Al Qur’an Karim dan berbagai Hadith sahih, bahwa Hadhrat Isa a.s. masih hidup di Langit ke-4, tentulah aku pun akan ‘bertobat’. Pak Maulwi meminta pernyataan lisanku itu dibuat secara tertulis dan ditanda-tangani, yang aku kabulkan.
Tetapi, ia mencoba beralih kepada topik diskusi lainnya, dengan bertanya: ‘Seberapa banyak tuan menguasai ilmu Al Qur’an dan beriman kepada semua Khulafaur-Rasyidin ? Dlsb ?
Tapi aku menyergah: ‘Aku tak akan beralih kepada sesuatu topik pembicaraan lain sebelum tuan Ketua Penyelenggara (tokoh pengacara Hindu) memerintahkan tuan Maulwi ini untuk menyajikan ayat-ayat Al Quran yang membuktikan kebenaran ucapannya, bahwa Hadhrat Isa a.s. masih hidup di atas Langit.’
Maka Maulwi itu pun meminta Al Qur’an. Ketika diberikan, ia malah berkomentar: ‘Ini Quran kaum ‘Mirzai’ yang tak dapat aku terima.’ Hadirin berusaha meyakinkannya, bahwa kitab Al Quran tersebut bukan dari kaum Ahmadi.
Ia mengambil Al Qur’an itu, kemudian memeriksa penerbitnya. Lalu berkata [na’udzubillah]: ‘Siapa ini penulisnya ?!’
Maka aku menyergah: ‘Apa tuan tidak sadar, itu adalah Firman Allah ! Mengapa tuan berkata seperti itu ?’
Ia berkata: ‘Boleh jadi aku khilaf, tetapi [Quran] ini mushaf siapa ?’ Aku katakan: ‘Sadarlah tuan Maulwi, lihat saja langsung ke ayatnya !’ Lalu ia pun membuka-buka Al Quran tersebut selama tak kurang dari 20 menit, tetapi tanpa hasil.
Aku mengingatkan: ‘Tuan bilang ada 20 ayat Al Quran yang mendukung aqidah tuan. Cobalah tunjukkan satu saja di antaranya !
Pak Maulwi berkata: ‘Aku tak dapat menemukannya, Tapi aku akan membacakannya berdasarkan ingatanku. Kemudian ia pun menilawatkan ayat ini: yang terjemahan bakunya adalah: ‘Ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan mematikan engkau secara wajar, dan akan meninggikan derajat engkau di sisi-Ku..…’ (Q.S. 3 / Al Imran : 56); Akan tetapi Maulwi itu menerjemahkannya sebagai berikut: ‘Ingatlah ketika Allah berkata: ‘Hai Isa, aku akan mengangkat ruh dan tubuh jasmani engkau ke langit…..’
Maka aku pun menyergahnya: ‘Ayat tersebut seharusnya dapat ditemukan di dalam Al Qur’an itu, dan topik pembahasan kita ini harus berdasarkan kalimat aslinya.’
Pak Maulwi membalik-balik Al Qur’an itu kembali, tetapi setelah 10 menit berlalu, ia tak juga dapat menemukan apa yang dicarinya. Maka para hadirin pun mulai bergaduh dan menertawakannya sambil mencemooh dan membubarkan diri: ‘Ilmu Al Quran apa pula yang kau kuasai. Mencari ayat yang sudah umum diketahui orang saja tak dapat ?!
(2) Hadhrat Munshi Qazi Mahbub Alam sahib r.a. meriwayatkan: ‘Aku bekerja pada seorang Hakim yang menentang Hadhrat Imam Mahdi a.s.. Suatu hari, ia mengucapkan kata penghinaan ‘dayus’ (tak bermalu) terhadap beliau a.s.. Maka malamnya aku banyak-banyak beristighfar memohon ampun dan menyeali diri telah berbicara mengenai hal itu dengan pak Hakim. Malam itu juga aku mendapat mimpi: Bertemu dengan Hadhrat Imam Mahdi a.s. yang menanyakan: Mana itu orang yang menyebut diriku ‘dayus’ ?! Maka aku pun melihat ke sekeliling, dan aku menyaksikan pak Hakim sedang berjalan menghampiri kami. Aku katakan kepada beliau a.s.: Itulah orangnya yang sedang mendekat kepada kita.’ Hadhrat Imam Mahdi a.s. berkata: ‘Katakanlah kepadanya, bahwa ia tak akan dapat menemuiku, karena ia ‘dayus’. Beberapa minggu kemudian, anak wanitanya yang lari dengan seorang pria, tertangkap oleh yang berwajib. Ketika diinterogasi, pria itu mengatakan, bahwa wanita itu istrinya. Tetapi wanita itu mengatakan, bahwa pria itu hanyalah jongosnya. Karena keterangan mereka saling berbeda, polisi pun mulai curiga, lalu menyerahkan mereka ke hadapan Pejabat yang berwewenang. Wanita itu berkata: Bapakku orang yang ‘dayus’ karena tidak mau menikahkanku. Maka aku pun sedang berusaha melakukan kawin-lari dengan seorang pria ningrat dengan bantuan jongos-ku ini. Bapak Pejabat menasehati agar ia kembali kepada keluarganya, namun ia menolak karena katanya: Boleh jadi bapakku akan membunuhku.’ Akan tetapi bapak Pejabat mengatur sedemikian rupa sehingga akhirnya ia dapat kembali kepada keluarganya sambil menegaskan kepada bapaknya bahwa ia orang yang ‘dayus’ karena tidak mempedulikan anak dan tidak mau menikahkannya. Anak wanita itu dikembalikan kepadanya dengan uang jaminan (bail-out) sebesar 5.000 Rupees. Hakim tersebut kemudian dikenal luas di seantero kota sebagai orang yang ‘dayus’. Sedangkan anak wanitanya itu tak seberapa lama menjadi Kristen.
(3) Hadhrat Amir Khan sahib r.a. meriwayatkan: ‘Ketika aku mendengar seorang karibku masuk Gerakan Ahmadiyah Lahore, aku pun mendatangi dan menyadarkannya mengenai realitas kemunculan jamaah tersebut. Akhirnya, karibku itu terkesan oleh apa yang aku katakan, lalu ia pun kembali ke pangkuan Jamaat Ahmadiyah [Qadian]. Kemudian, ketika aku ketahui ada lagi orang yang aku tablighi untuk masuk ke dalam Jamaat Ahmadiyah, tapi malah masuk ke Ahmadiyah Lahore, segera itu pula aku bersurat-menyurat dengannya, yang akhirnya ia pun keluar lagi [lalu masuk ke dalam Jamaat].
(4) Hadhrat Maulwi Muhammad Abdullah sahib r.a. meriwayatkan: ‘Suatu hari ketika aku bermulaqat dengan Hadhrat Imam Mahdi a.s., aku pun diperkenalkan dengan salah seorang sahabah beliau yang dikenal sering tampil dalam berbagai perdebatan, dan Allah Taala senantiasa memberinya keunggulan. Hadhrat Imam Mahdi a.s. bersabda: ‘Ya begitulah, kebenaran akan senantiasa unggul.’ Mendengar ucapan tersebut langsung dari mulut berberkat Hadhrat Imam Mahdi a.s., maka aku pun menjadi yakin bahwa aku akan teguh dalam kebenaran, dan Allah Taala akan memberiku keunggulan. Begitulah kenyataannya yang aku alami kemudian.
(5) Hadhrat Chaudhry Muhammad Ali sahib r.a. meriwayatkan: ‘Suatu hari ayahku menghadiri Jalsah Salanah di Sialkot. Sekembalinya, beliau mulai rajin bertabligh, yang membuahkan hasil banyak yang Bai’at secara berantai berlipat ganda.
(6) Hadhrat Shaikh Abdur Rasyid sahib r.a. meriwayatkan: ‘Ada seorang Maulwi yang dikenal sangat merdu tilawat Qur’annya dan ceramahnya banyak dihadiri oleh kaum wanita. Namun, Maulwi ini mulai menentang Hadhrat Imam Mahdi a.s. dengan menggunakan kata-kata kasar. Maka aku pun bersoal-jawab dengannya. Sementara itu, orang tuaku pun menentang aku, khususnya lagi ibuku. Orang tuaku mengancam tidak akan mengakui sebagai anak, dan diusir ke luar rumah beberapa bulan. Ayahku berkata kepada ibuku: ‘Shaikh sahib ini sebelumnya tukang tidur, tapi kini ia jadi rajin Salat dan Tahajjud. Mengapa kamu hendak mengusirnya ?’ Tetapi, atas pertimbangan duniawi, ayahku sering mengatakan agar keluar dari ‘Mirzaiyah’. Dalam hal ini, aku sudah beberapa kali bersoal-jawab dengan sang Maulwi tersebut. Suatu hari, Maulwi menerbitkan sebuah poster yang menolak konsep ‘Mahdi’ yang suka menumpahkan darah, yang sampai pula ke tangan Hadhrat Imam Mahdi a.s.. Maka beliau pun ber-Istifta, meminta kebenaran dari pihak lain. Mengirimkannya ke beberapa ulama untuk memberikan Fatwanya. Namun, sebagian besar mereka menolak.
Seorang Dokter sahib yang ikut mengedarkan Istifta tersebut bercerita kepada Hadhrat Imam Mahdi a.s., bahwa dulu ia suka membawa anggur atau buah-buahan lainnya jika meminta sesuatu Fatwa yang diinginkannya. Maka Hadhrat Imam Mahdi a.s. menutup sebagian wajah beliau dengan ujung sorban sambil senyum-senyum malu mendengar gurauan tersebut.’ [Hudhur Atba menambahkan]: ‘Praktek menerima sesuatu [pamrih imbalan] oleh kaum Maulwi ini masih terus berlangsung hingga kini. Hanya saja taripnya yang semakin meningkat !’
(7) Hadhrat Shaikh Ismail sahib r.a. meriwayatkan: ‘Suatu hari, ba’da Salat Asar, kami bermajlis irfan dengan Hadhrat Imam Mahdi a.s. di Masjid Mubarak. Ada seorang jamaah menyampaikan, bahwa: Ada seorang Maulwi berkunjung ke desa kami, mengumpulkan banyak orang, lalu berceramah dengan menggebu-gebu mengenai Hadith: ‘Laa Nabiya Ba’di’, yakni, jika Rasulullah Saw mengatakan ‘laa nabiya ba’di’, Mirza sahib Qadiani malah mendakwakan diri sebagai nabi. Bagaimana kami dapat mempercayainya ?’ Maka aku pun segera berdiri menyoal Maulwi tersebut: ‘Bagaimana tuan menafsirkan ucapan Hadhrat Rasulullah Saw, bahwa: ‘Inni aakhirul anbiya’i, wa inna Masjidii aakhirul masajid’, yakni: Aku adalah nabi akhir, dan masjid-ku (Masjid Nabawi) ini adalah masjid yang akhir ?!’
Aku akan menafsirkan hikmah sebenarnya Hadith ‘La Nabiya Ba’di’ itu jika tuan Maulwi pun menerangkan pengertian sesungguhnya Hadith ‘aakhirul masajid’ ini [sedangkan Masjid-masjid masih terus bermunculan] ! Seorang nabi yang akan membatalkan Syariah yang dibawakan oleh Hadhrat Rasulullah Saw tak mungkin disebut sebagai nabi karena Syariah beliau adalah yang terakhir.’ Maka Maulwi itu pun terkejut, lalu mulai mencerca-ku. Aku katakan’ padanya, bahwa: ‘Aku tak akan melayani cercaanmu.’ Hadhrat Imam Mahdi a.s. sangat senang mendengar penuturannya itu.’ [Hudhur Atba menambahkan]: Kini pun orang yang menentang kita dengan mengutip ide, bahwa sekarang ini tak mungkin lagi ada nabi yang akan datang, karena mereka ini menganggap Mirza sahib sebagai nabi [syariati].
(8) Mian Sharafat Ahmad sahib meriwayatkan pengalaman hidup ayahnya yang bernama Hadhrat Maulwi Jalaluddin r.a.: ‘Ayahku sangat berghairah dalam bertabligh meskipun sudah berusia senja, bahkan melebihi kaum muda. Pada suatu Khutbah Jumah di tahun 1934, Hadhrat Khalifatul Masih Tsani (II) r.a. menyebut kewafatan ayahku sebagai syahidin, dan mengakui pengkhidmatan almarhum yang melebihi kaum muda. Beliau r.a. menyaksikan ada tiga orang yang sedemikian berghairahnya dalam bertabligh, ialah: ‘Pertama, almarhum Hafiz Roshin Ali sahib. Kedua, Maulwi sahib [ayahandaku], dan yang Ketiga, Maulwi Ghulam Rasul Rajiki sahib. Ketiga orang ini bekerja keras bertabligh siang malam.’ Ayahku ini pun suka menyampaikan mimpinya yang terkait dengan kegiatan pertablighannya. Yakni, suatu hari beliau melihat Hadhrat Imam Mahdi a.s. datang ke rumah kami, lalu meminta sebuah pena.
Ketika kemudian aku berkesempatan bermulaqat dengan Hadhrat Imam Mahdi a.s. di Qadian, aku membawa hadiah sehelai kain katun putih dan dua tempat pena sebagai hadiah untuk beliau a.s.. Lalu aku pun menceritakan mimpiku itu, seraya memohon tafsirnya. Hadhrat Imam Mahdi a.s. berkata: Tuan telah menzahirkan mimpi tuan. Hal ini menyiratkan, bahwa aku akan menyampaikan syiar tablighku dengan lisan maupun tulisan.’ Sejak saat itulah Maulwi Jalaluddin sahib ayahku giat bertabligh dan membuahkan hasil.
Beberapa orang abang dan adiknya pun Bai’at, yang salah satu di antaranya adalah seorang ulama terkenal di daerahnya. Namun, ketika masyarakat mengetahuinya, mereka pun mencemoohkannya. Tetapi pertablighan Maulwi sahib ayahku menghasilkan suatu Jama’at yang mukhlis. Beliau pun tetap giat bertabligh pada periode Malkana pada tahun 1924. Beliau bertabligh kepada kaum awam, tetapi juga baik habluminan-nasnya dengan para tokoh masyarakat dan pejabat setempat. Mereka semua kagum dan memuliakan orang tua berusia 70-80 tahun dan berpakaian sederhana, bertabligh siang malam menyeru orang menjadi Muslim haqiqi. Banyak orang yang masuk Jamaat di daerah tersebut berkat pertablighan Maulwi Jalaluddin sahib.
(9) Hadhrat Hafiz Ghulam Rasul Wazirabadi sahib r.a. meriwayatkan: ‘Suatu kali Hadhrat Imam Mahdi a.s. bersabda: Aku telah mendirikan sebuah Madrasah [Aliyah] Ahmadiyah agar masyarakat dapat menuntut ilmu, kemudian bekerja duniawi sambil bertabligh. Namun sangat disayangkan, setelah selesai sekolah, mereka hanya sibuk mengurus bisnis atau pekerjaannya sehingga tujuan utama tersebut tidak tercapai. Maka dengan ini aku serukan kepada tuan-tuan sekalian yang mempunyai anak laki-laki untuk dikhidmatkan kepadaku semata-mata untuk tarbiyat agama.’ Kebetulan pada saat itu aku sedang bersama anakku almarhum Maulwi Obaidullah. Maka segera itu pula aku serahkan kepada Hudhur Aqdas a.s., yang serta merta memegangi tangannya dengan tangan beliau yang berberkat, kemudian mengantarkannya kepada Mufti Muhammad Sadiq sahib yang pada waktu itu sebagai Kepala Sekolahnya. Anakku menamatkan pendidikannya di situ hingga ia menjadi seorang maulana. Kemudian Hadhrat Khalifatul Masih Tsani (II) r.a. mengutusnya ke Mauritius sebagai mubaligh Jamaat selama hampir 7 tahun. Namun taqdir Ilahi menghendaki lain, ia wafat, maka Hadhrat Khalifatul Masih Tsani (II) r.a. memerintahkan agar ayahku memanggil pulang istri almarhum yang telah menjadi janda dan anak-anaknya. Dua tahun kemudian, jandanya ini pun meninggal dunia. Maka ketika riwayat ini ditulis, akulah yang membesarkan anak-anaknya. Kemudian, anak perempuan almarhum menikah, sedangkan yang laki-laki melanjutkan sekolah di Madrasah [Aliyah] Ahmadiyah, sesuai dengan keinginan ayahku agar cucunda beliau ini pun setelah menamatkan pendidikannya, terjun di bidang pertablighan seperti almarhum ayahnya. Dengan karunia Allah Taala, ia pun akhirnya dapat berkhidmat di Mauritius untuk waktu yang lama.’
[Menyambung riwayat No.8] Mian Sharafat Ahmad sahib lebih lanjut menulis tentang riwayat ayahandanya Hadhrat Maulwi Jalaluddin r.a., yakni: Pada suatu hari beliau bermusafar ke suatu daerah untuk mengimami Salat Jumat. Di perjalanan, beliau membeli sekantong kacang polong sekedar penahan lapar, sambil terus melanjutkan safar [berjalan kaki]-nya. Namun, tak lama kemudian beliau pingsan disebabkan serangan suhu dan angin panas, sehingga beliau pun jatuh ke jalan. Seorang pejalan kaki yang kebetulan melintas melaporkannya ke Kantor Polisi terdekat, bahwa: Ada seorang ‘Maulwi Qadiani’ yang tergeletak pingsan di jalan karena kepanasan.’
Seorang polisi yang kebetulan pengikut beliau berlari menghampiri. Namun, dikarenakan tidak berhasil menemukan sarana angkutan, ia pun memapah beliau perlahan-lahan menuju ke desa terdekat. Tetapi kemudian angin panas menerpa kembali dengan lebih kencang, sehingga Maulwi sahib yang tak sanggup lagi melangkah, berbaring di teras sebuah rumah. Masyarakat berusaha untuk membawa beliau, namun beliau menolak: ‘Tak perlu, karena aku telah berhasil mencapai tujuanku’, katanya. Maka mereka pun memberi obat, tapi tak menolong. Masyarakat menawari akan mengirim telegram mengabari anaknya. Tapi beliau menolak: ‘Anakku masih terlalu muda, sehingga hanya akan membuatnya panik.’ Akhirnya beliau wafat di tempat. Salat jenazah dan pemakamannya diurus oleh ghair-Ahmadi.
Beberapa hari kemudian ketika orang-orang Ahmadi mengetahuinya, mereka melaporkan kepadaku, lalu kepada Hadhrat Khalifatul Masih Tsani (II) r.a. yang kemudian beliau umumkan di dalam Khutbah Jumah, lalu mengimami Salat jenazah ghaib bagi beliau.’ [Hudhur Aqdas Atba menambahkan]: ‘Semoga Allah Taala senantiasa meningkatkan derajat maqoman mahmudah para pendahulu kita ini. Dan semoga pula Allah tetap menghidupkan ghairah semangat pengorbanan beliau-beliau tersebut. Amin ! Selanjutnya saya akan bacakan beberapa ikhtisar tulisan Hadhrat Imam Mahdi a.s., sebagai berikut: ‘Aku menganggap kaum Maulwi yang menentang ilmu pengetahuan modern adalah keliru. Pada kenyataannya, mereka bersikap demikian itu hanya untuk menutupi kesalahan dan kelemahan diri mereka sendiri. Ini dikarenakan di kepala mereka telah tertanam, bahwa: Menuntut ilmu pengetahuan modern dapat menjadikan seseorang menentang Islam dan sesat. Mereka memfatwakan, bahwa ilmu pengetahuan sangat bertentangan dengan Islam. Dikarenakan mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengkritik kelemahan filsafat [Barat], maka untuk menyembunyikan kelemahan mereka tersebut, mereka pun memfatwakan, bahwa: Tidak perlu menuntut ilmu pengetahuan modern. Jiwa mereka gemetar mendengar nama para filusuf, dan terjerambab di hadapan berbagai bukti riset ilmu pengetahuan yang terbaru. Ini disebabkan mereka belum menerima Filsafat [Ajaran Islam] yang sejati berdasarkan ilham Ilahi sebagaimana yang tersirat di dalam Al Quran Karim. Yakni, yang hanya diberikan kepada mereka yang sungguh-sungguh telah mengkhidmatkan dirinya kepada Allah Taala dengan penuh kerendahan hati dan akhlakul karimah; yang qalbu dan pikirannya telah bersih dari segala bentuk ketakaburan, serta senantiasa menyadari kedhoifan dirinya ketika mereka membaktikan diri kepada Allah. Jadi, sekarang ini perlu untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan sekuat tenaga, yang diperuntukan bagi pengkhidmatan kepada agama, dan untuk mengkomunikasikan Firman Ilahi.
Namun, perkara ini pun telah ada di dalam pengalamanku, dan aku telah mengemukakan hal ini sebagai peringatan, yakni ada setengah orang yang memperoleh ilmu pengetahuannya hanya dari satu sisi saja, lalu terobsesi dan tenggelam di dalamnya. Yakni, mereka tidak berusaha untuk bergaul erat dengan insan-insan rohaniah. Tidak memiliki nur hidayah Ilahi yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Orang-orang semacam itu biasanya menjadi tenggelam dan menjauh dari Islam. Alih-alih menjadikan ilmu pengetahuan sekunder [atau berkhidmat] terhadap Islam, mereka itu justru menomor-duakan Islam terhadap ilmu pengetahuan, dengan asumsi bahwa sikapnya itu sudah cukup menjadi pengkhidmat agama dan bangsa. Maka hendaknya diingat, bahwa hanya insan-insan yang telah memperoleh nur pencerahan Ilahi saja yang dapat mengkhidmati agama dengan sejati.’ (Malfuzat, Vol.I hlm.68–69). Hadhrat Imam Mahdi a.s. pun menulis: ‘Nasehatku ini bagi tuan-tuan sekalian yang telah menggalang hubungan erat denganku, yang disebabkan perhubungannya yang khas, mereka pun menjadi anggota tubuhku, yakni yang mempraktekkan berbagai nasehatku. Gunakanlah akal sehat dan Firman Ilahi agar nur ilmu pengetahuan haqiqi dan imani mengalir di dalam dirimu. Sehingga, tuan-tuan pun dapat menjadi sumber penyebab orang lain [melangkah] dari kegelapan kepada nur cahaya Ilahi. Dikarenakan sekarang ini berbagai keberatan yang mereka ajukan terkait dengan alam, pengobatan dan astronomi, maka adalah penting untuk memahami nilai-nilai kebaikan dan corak yang terdapat di dalam ilmu pengetahuan tersebut. Sehingga kita pun memperoleh pemahaman yang jernih dari berbagai keberatan mereka tersebut sebelum kita menjawabnya.’ (Malfuzat, Vol. I, hlm. 68).
[Hudhur Aqdas Atba menambahkan]: ‘Hadhrat Imam Mahdi a.s. merujuk para pengikut beliau yang sejati sebagai anggota tubuh beliau sendiri, merupakan suatu kehormatan besar bagi kita; sekaligus menuntut tanggung jawab yang besar untuk menjalankan ajaran Islam yang haqiqi.’ Beliau a.s. pun bersabda: ‘Dengarlah apa yang aku ucapkan ini, dan camkanlah dengan baik, yakni, sebelum seseorang mengucapkan sesuatu dari hati nuraninya dan ia telah mempraktekkannya, tentulah tak akan berhasil. Kebenaran yang termulia dari junjungan kita Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw adalah terbukti dari keberhasilan beliau memikat qalbu manusia, dan mereka mengakuinya; yang sungguh tiada duanya di dalam sejarah kehidupan manusia. Semua ini dapat terjadi disebabkan segala perkataan dan perbuatan beliau Saw bersesuaian dengan sempurna..’ (Malfuzat, Vol. I, hlm. 67–68). Maka adalah kewajiban kita untuk mengikuti contoh berberkat Hadhrat Rasulullah Saw, yang hanya akan berhasil apabila ucapan kita sesuai dengan perbuatannya. Semoga kita semua dapat memenuhi keinginan Hadhrat Imam Mahdi a.s. ini; yakni bertabligh demi untuk memenuhi predikat sebagai ‘kaki-tangan’ beliau; dan tidak ada kontradiksi antara ucapan dengan perbuatan.
Selanjutnya saya umumkan telah meninggalnya Sultan Agadez, di Niger (Afrika Barat-Utara) pada tanggal 21 February 2012 yang lalu, yang akan saya imami Salat jenazah ghaibnya. Yakni, Al Hajj Umar Ibrahim, Sultan Agadez yang masuk ke dalam Jamaat Ahmadiyah pada tahun 2002 ini adalah Sultan terbesar di negara Niger, sehingga menjadi anggota kehormatan Kabinet Presidential negara tersebut. Beliau menjadi Sultan sejak tahun 1960, dan sangat dihormati disebabkan usaha gigih beliau untuk menegakkan perdamaian di Agadez. Sri Sultan ini menghadiri Jalsah Salanah Benin pada tahun 2002. Sebelum pulang kembali ke Niger, beliau beserta 12 orang prima jasmani yang menyertainya baiat masuk ke dalam Jamaat. Kemudian pada tahun 2003 beliau menghadiri Jalsah Salanah UK, dan bermulaqat dengan saya untuk yang pertama kalinya. Bapak Raisutabligh kita di Niger menulis, bahwa Sri Sultan ini sangat ramah dan hangat yang senantiasa mendahulukan Jama’at dan Khalifatul Masih. Kemudian beliau datang ke Benin untuk bermulaqat dengan saya ketika saya berperjalanan dinas [ke Afrika] pada tahun 2004. Untuk itu, Sri Sultan beserta rombongan bersafari melintasi gurun lebih dari 2.000 km selama tiga hari tiga malam. Namun kemudian beliau sangat berbahagia ketika bermulaqat dengan saya.
Begitulah, sehingga ada keikhlasan yang besar di kalangan kaum Ahmadi Niger. Yakni, meskipun beliau ini seorang Sultan, namun sangat rendah hati. Semoga Allah Taala senantiasa meningkatkan maqoman-mahmudah bagi arwah almarhum. Aamiin !